SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI BADRUDDIN MUHAMMAD

Senin, 19 September 2011

خلاصة
عنوان الأطروحة : الزائرون وأرآءهم في ولاية كياهي عبد الحميد الباسورواني:دراسة تحت نظرية الفينومينولوجي
كتابة : بدرالدين بن محمد رافعي
إشراف : أ.د. كياهي الحاج بشري أفندي الماجستير، و أ.د. الحاج نور شمس الماجستير
كلمات البحث : الرأي، الزائر، الولاية، والفينومينولوجي
كان ولي الله، في الإسلام، هو الذي اصطفاه الله ليكون حبيبه. ومن معتقدات الإسلام أنه من تجليات أسمآءه وصفاته. وبالتالي، فيتولد من هذا الاعتقاد الأرآء والمواقف والأنشطة في زيارة القبور. وترتكز هذه الدراسة على أنشطة الزيارة في ضريح كياهي عبد الحميد بن عبد الله اللاسمي ثم الباسورواني، الذي يعتقده الزائرون أنه ولي من أولياء الله. وأجريت هذه الدراسة باستخدام نظرية البناء الاجتماعي (social construction) من بعض رجال فينومينولوجيا، بيتر ل. بيرغر (Peter L. Berger) و توماس لاكمان (Thomas Luckmann). وهذه النظرية تفيد كثيرا في مراقبة أنشطة الزائرين على ضريح كياهي عبد الحميد الذي يزدحم بالناس دائما بل يصل الازدحام إلى ذروته في أوقات أو مناسبات معينة.
تأسيسا على النظرية الاجتماعية، فتشكلت أنشطة الزيارة في ضريح كياهي عبد الحميد الباسورواني من سلوك الأفراد المؤسس على رغباتهم المعينة ومن ثبوت النصوص الدينية أو من التعاليم المنصوصة لأسلافهم. وكانت أنشطة الزائرين الفردية تجري متكررة حتى تشكل نمطا معينا يفهمه الزائرون فهما جماعيا. وكانت نظرية البناء الاجتماعي وبوصفها الخاصة تظهر عملية الوراثة من جيل الى جيل من خلال عملية التنشئة الاجتماعية المعينة. إن هذه النظرية وجوهرها تشرح وقوع العملية الجدلية (a dialectic process)، ويعني حدوث العملية المسلسلة من الجانب الخارجي (externalization) إلى الموضوعي (objectivation) وإلي الداخلي (internalization) الموجودة في تقاليد القوم. إن الزيارة في ضريح كياهي عبد الحميد الباسورواني نشأت من أعمال الأفراد، ومن ثم تراكمت هذه الأعمال فصارت واقعا موضوعيا واحدا. وبعد، فيسحب هذا الواقع الموضوعي إلى مفهموم كل فرد من الأفراد، ثم يفسيره وفقا لمستوى المعرفة والخبرة والمصالح الخاصة لدي كل منهم.
هذه الدراسة تعطي المعلومات، ومن بينها أن عملية الزيارة يقودها اعتقاد الزائرين بأن كياهي عبد الحميد هو ولي الله وله الكرامة الخاصة. وكل من الزائرين له تعريف أو حد متباين في الولي والولاية، وفي الخبرات والتوقعات بالنسبة إلى الكرامة. ومع ذلك، اتفق الزائرون على أن كياهي عبد الحميد ولي من أولياء الرحمن وله الكرامة. ووجود اتفاقهم يظهر في حضورهم على عمل الزيارة في ضريح كياهي عبد الحميد. ويُظهر تباين الأفهام في الولي والولاية مما سبق ذكره دوافعَ ورغبات مختلفة عند الزائرين. نعم، فتكاد عملية الزيارة على الضريح يوجد على شكل موحد. المقبرة التي تكون إدارتها على يد معهد "السلفية" بمدينة باسوروان من جهة، ووجود الطابع الديني المميز عند مجتمع باسوروان من جهة أخرى، تشكلان عملية الزيارة على النمط المعين الموفق بتقليد الإسلام العظيمة (the great tradition of Islam)، وهو التقليد الذي ينشأ من القرآن الكريم والحديث الشريف. تقدم هذه الدراسة صورة أو وصفية مختلفة عن بعض نتائج البحوث السابقة التي تبرز عناصر التوفيق بين المعتقدات (sinkretisme) في تقليد الزيارة. أما طقس الزيارة في ضريح كياهي عبد الحميد يمثل الطابع الديني عند المجتمع الإسلامي الذي يختلف بالمجتمع الإسلامي الموجود في مناطق سواحلية (pesisir) أو في مناطق ماتارامان (Mataraman).

Baca Selengkapnya..

Rabu, 24 Maret 2010

KRITIK IBN AL-JAUZI TERHADAP ULAMA

Oleh:
Badruddin

A. Sekilas tentang Ibn al-Jauzi
Ibn al-Jauzi, dengan nama lengkap Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin al-Jauzi al-Qurasyi al-Baghdadi, lahir di Bagdad pada tahun 508 H./1114 M. dan meninggal di kota kelahirannya juga pada tahun 597 H./1201 M. Ibn al-jauzi merupakan salah seorang ulama di jamannya yang memiliki spesifikasi dibidang ilmu sejarah dan Hadits.
Ia seorang ulama yang produktif, tercatat sebanyak 300 judul buku yang dikarangnya. Di antara tulisan-tulisannya adalah Manaqib Umar bin Abd al-Aziz, Manaqib Umar bin Khaththab, al-Adzkiya' wa Akhbaruhum, an-Nasikh wa al-Mansukh, al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam. Yang terakhir ini, terdiri dari 6 juz dan kemudian disarikan olehnya menjadi satu buku dengan judul Mukhtashar al-Muntazham. Diantara tulisan-tulisannya yang sangat berharga adalah al-Maudhu'at fi al-Hadits dan kitab Zad al-Masir fi Ilm at-Tafsir.
B. Kitab Talbis Iblis
Kitab Talbis Iblis, juga merupakan salah satu kitab Ibn al-Jauzi yang yang dipandang oleh banyak kalangan sangat berharga, karena kitab ini mendiskusikan aspek-aspek teologis dengan logika psikologis, filosofis, dan fideism, yang membongkar kedok orang-orang yang telah melakukan kebohongan atas agama (al-muftarin) dan menyingkap cadar-cadar kesalahan dan penyimpangan kaum sufi (sufiyah) yang telah mengajarkan paham spiritual esoterik yang tidak berdasar, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Tujuan penulisan kitab ini, menurutnya, untuk melakukan purifikasi terhadap aspek-aspek agama yang dianggap telah menyimpang dengan memberikan peringatan akan terjadinya fitnah dan mihnah, menyingkap perkara yang tertutup, menelanjangi kebatilan yang sangat samar dan dapat menyerupai kebenaran. Ibn al-jauzi, membagi kitab ini ke dalam tigabelas (13) bab, yang secara keseluruhan menyingkap upaya atau serangan 'pengkaburan' (talbis) yang dilakukan Iblis terhadap umat yang telah menggunakan nalar agama dalam berbagai aspek. 13 bab yang dimaksud adalah: 1. al-Amr bi Luzum as-sunnah wa al-jamaah, 2. Dzamm al-Bida' wa al-Mubtai'in, 3. at-Tahdzir min Fitan Iblis wa Makayidih, 4. Ma'na at-Talbis wa al-Ghurur, 5. Dzikr Talbisih fi al-'Aqaid wa ad-Diyanat, 6. Dzikr Talbisih 'ala al-Ulama' fi Funun al-Ilm, 7. Dzikr Talbisih 'ala al-Wulat wa as-Salathin, 8. Dzikr Talbisih 'ala al-Ibad fi Funun al-Ibadat, 9. Dzikr Talbisih 'ala az-Zuhhad, 10. Dzikr Talbisih 'ala ash-Shufiyah, 11. Dzikr Talbisih 'ala al-Mutadayyinin bima Yusybihu al-Karamat, 12. Dzikr Talbisih 'ala al-'Awwam, 13. Dzikr Talbisih 'ala al-Kull bi Tathwil al-Amal.
C. Kritik ibnu al-Jauzi terhadap Ulama
Ibn al-jauzi, dalam melakukan kritik terhadap ulama, ia menempatkannya pada bab ke-6 dalam kitab Talbis Iblis. Menurutnya, Iblis bertamu pada manusia guna melakukan talbis melalui berbagai macam cara. Ada yang tampak dan jelas (distinct). Sekalipun manusia mengetahui hal sedemikian itu, kebanyakan dari mereka terkalahkan oleh pengaruh dorongan nafsu, maka disinilah Iblis mempengaruhi manusia agar ia memejamkan mata kebenaran, menelantarkan petunjuk ilmu yang dimilikinya dan bahkan mencampakkan ilmu pada tenpat dan tujuan yang hina. Di antara jalan yang di tempuh Iblis ada pula yang samar (indistinct), yaitu jalan yang tersembunyi dan tidak banyak diketahui oleh kebanyakan ulama. Ibn al-Jauzi, mengklasifikasi ulama dengan berbagai disiplin ilmu yang digelutinya ke dalam delapan bidang ilmu. Diantaranya: 1. Al-Qurra', 2. Ashhab al-Hadits, 3. Al-fuqaha', 4. Ahl al-Jadal bi Kalam al-Falasifah, 5. Al-Wu'azh, 6. Ahl al-Lughah, 7. Asy-Syu'ara', 8. Al-Kamilin min al-Ulama'.

1. Al-Qurra'
Menurut Ibn al-Jauzi, talbis Iblis dapat menimpa qurra' (ulama-ulama yang membidangi bacaan al-Qur'an). Sebagai contoh, diantara mereka ada yang menyibukkan diri dengan al-qira'at asy-syadzdzah (bacaan-bacaan aneh, tidak lazim), ia menghabiskan sebagian banyak dari umurnya hanya untuk mempelajari, menulis kitab tentang al-qira'at asy-syadzdzah, menjadi orang yang lebih fasih bacaannya, sehingga ia tidak punya kesempatan untuk mengetahui masalah-masalah fardhu dan yang wajib. Sering ditemukan seorang imam masjid mengalunkan suara bagai seorang yang paling fasih, sementara ia tidak mengerti perkara yang membatalkan shalat.
Seandainya mereka mau berfikir, maka mereka akan tahu bahwa tujuan yang benar adalah menjaga, meluruskan pengujaran dan memahami makna al-Qur'an, kemudian mengamalkan dan mau menerima anjuran al-Qura'n guna memperbaiki jiwa dan menyucikan ahlak, setelah itu menyibukkan diri dengan hal yang urgen, yaitu ilmu-ilmu syara'. Hasan al-Bashri mengatakan: "Al-Qur'an diturunkan untuk diamalkan, kemudian banyak orang menjadikan kegiatan 'membaca' al-Qur'an sebagai amal ibadah." Artinya mereka membatasi pada kegiatan membaca al-Qur'an dan meninggalkan mengamalkannya.
2. Al-Muhadditsun
Di antara muhadditsin atau ashhab al-Hadits, terdapat sekelompok yang menghabiskan umurnya hanya untuk mendengarkan (menerima riwayat) Hadits dan melakukan perjalanan jauh untuk itu, mengumpulkan berbagai jalan periwayatan, mencari sanad (sandaran) yang berkualitas, dan matan Hadits yang gharib (ganjil).
Secara garis besar mereka dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, pertama: Mereka yang bertujuan memelihara syara' (agama), yaitu dengan mengetahui kesahehan Hadits dari yang cacat. Kelompok ini, merupakan kelompok yang terpuji. Hanya saja, menurut Ibn al-Jauzi, Iblis masih dapat melakukan pengkaburan atas mereka dengan cara menyibukkan mereka dengan perkara Hadits, sehingga tidak memiliki kesempatan memikirkan atau melakukan; perkara fardhu ain dari apa yang semestinya menjadi kewajiban atas diri mereka, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan yang seharusnya, memperdalam pengetahuan (tafaqquh) tentang kandungan Hadits. Diantara mereka ada yang memahami Hadits seperti pemahaman orang bodoh dan ia mengamalkannya. Padahal bukan itu yang dimaksud. Misalnya hadists Nabi berikut ini:
روي عن رسول الله (ص): أنه نهى أن يسقى الرجل ماءه زرع غيره.
Artinya: Diriwayatkan dari Rasulullah saw.: Bahwasanya ia telah mencegah seseorang mengalirkan airnya pada tanaman orang lain.
Hadits ini dipahami oleh sekelompok muhadditsin sebagaimana adanya. Sehingga diantara mereka ada yang mengatakan, apabila kami memiliki kelebihan air di ladang kami, kami alirkan pada (ladang) tetangga kami, dengan tetap memohon ampun kepada Allah. Ternyata, baik yang mengatakan maupun yang mendengarkan tidak memahaminya, mereka tidak merasa bahwa yang dimaksud adalah menyetubuhi wanita yang bukan istrinya.
Diantara mereka ada yang berani memberi fatwa dengan kebodohannya, tidak hafal al-Qur'an dan tidak mengetahui rukun-rukun shalat. Mereka sibuk dengan fardhu kifayah meninggalkan fardhu ain. Mendahulukan perkara yang tidak penting atas yang penting merupakan talbis Iblis.
Kedua: Kelompok yang memprioritaskan mendengarkan (menerima riwayat dengan cara mendengarkan) Hadits dengan tujuan yang tidak benar. Mereka tidak ingin mengetahui Hadits yang saheh dari yang cacat, melainkan tujuan mereka adalah mencari kemuliaan dalam pandangan manusia dan keganjilan-keganjilan. Mereka menjelajahi berbagai negeri, supaya dapat mengatakan: "Aku telah bertemu si fulan yang menguasai berbagai sanad Hadits yang tidak terdapat pada orang lain. Dan aku memiliki bebagai Hadits yang tidak dimiliki oleh selain aku."
Diantara mereka ada yang meriwayatkan Hadits dengan menyebutkan tempat yang jauh ketika ia menerima Hadits itu. Ini dilakukan, agar semua orang beranggapan bahwa ia telah bersusah payah dalam memperoleh Hadits. Ibn al-Jauzi mengatakan, ini semua jauh dari keikhlasan. Tujuan mereka adalah berlabuh dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk pamir.
Diantara mereka ada yang suka ghibah dengan mengatakan: Kasihan si fulan...., lalu berpura-pura mendoakan kebaikan untuknya.
Talbis Iblis pada ulama Hadits, antara lain, adalah meriwayatkan Hadits palsu. Ini merupakan perbuatan kriminal atas agama. Tujuan mereka adalah memperbanyak periwayatan dan agar Hadits yang riwayatkan menjadi laku.
3. Al-Fuqaha'
Fuqaha', pada era sebelumnya, adalah orang-orang yang menguasai al-Qur'an dan Hadits Nabi. Kemudian keadaan ini semakin lama semakin merosot, sehingga belakangan banyak orang mengatakan, cukup bagi kita mengetahui ayat-ayat ahkam dari al-Qur'an dan berpegang pada kitab-kitab hadits masyhur, seperti Sunan Abu Daud dan lain sebagainya. Mereka telah meremehkan maslah ini, menggunakan ayat al-Qur'an sebagai hujjah sementara ia tidak mengerti maknanya, dan juga menggunakan hadits sementara ia tidak mengetahui apakah hadits itu saheh atau tidak, mungkin juga berpegang pada qiyas yang bertentangan dengan hadits saheh yang tidak diketahui karena tidak banyak melongok untuk mengetahi an-naql (cara pengambilan hadits sebagai hujjah). Hukum fikih itu lahir dari al-Qur'an dan Sunnah, bukan lahir dari sesuatu yang tidak diketahui sumber pengambilan hukumnya.
Talbis Iblis atas fuqaha', bahwa prioritas mereka dalam mencari ilmu adalah al-Jadal (adu argumentasi). Mereka menduga, dengan demikian itu, dapat membenarkan dalil atas hukum, mengupayakan ketentuan hukum bagi detil-detil agama dan motif-motif berbagai madzhab fikih. Seandainya pengakuan itu benar, maka mereka lalu menjadi sibuk dengan semua urusan yang teramat luas, agar dapat memperluas perbincangan, sehingga dengan itu seorang dapat melakukan adu argumentasi di hadapan orang banyak dengan tujuan persaingan.
4. Kalam al-Falasifah
Talbis Iblis pada ulama, bahwa mereka telah menggunakan perkataan para filosuf dalam perdebatannya. Mereka telah mendahulukukan qiyas (analog) dari pada Hadits yang dapat digunakan sebagai dalil. Hal ini mereka lakukan hanya untuk memperluas wilayah dan meperpanjang perdebatan. Mereka telah meninggalkan kebiasaan ulama salaf, yaitu munashahah (saling menasehati) dengan kebenaran, buka mujadalah.
Diantara talbis Iblis pada fuqaha' adalah kedekatan (mukhalathah) ulama dengan penguasa, berpura-pura, meninggalkan kemungkaran padahal ia mampu mencegahnya. Dan terkadang, talbis Iblis juga terjadi pada ulama yang menjauhkan diri dari penguasa, karena memenuhi panggilan ibadah dan agama. Karena itu Iblis menghiasi mereka dengan pergunjingan (ghibah) atas ulama yang mendatangi penguasa, sehingga mereka ditimpa dua bencana, yaitu mempergunjingkan orang dan memuji diri.
Talbis Iblis yang lain pada fuqaha' adalah sebagian dari mereka mengambil harta dari wakaf madrasah yang dibangun untuk pencari ilmu.
Diantara ulama ada yang memiliki akidah yang benar, akan tetapi mereka terkalahkan oleh hawa nafsu dan kesenangan syahwat, mereka tidak memiliki cara untuk berpaling darinya, karena nafsu melakukan mujadalah telah menggerakkan kesombongan dan kebanggaan atas dirinya.
5. Al-Wu'adh dan Qushash
Al-Wu'adh (para penasehat agama) di zaman dahulu adalah ulama dan sekaligus fuqaha'. Seorang alim dan penguasa juga suka menghadiri majlis nasehat agama. Misalnya seperti Abdullah bin umar ra., telah menghadiri majlis Abid bin Umaer, Umar bin Abdul Aziz menghadiri majlis al-Qash. Kemudian keadaannya semakin lama semakin memburuk, orang-orang bodoh mulai terlihat mengambil peran. Anehnya mereka mendapatkan tempat dihati manusia, sehingga orang awam dan wanita sangat bergantung pada mereka dan tidak mau sibuk dengan mencari ilmu.
Diantara qushash, ada sekelompok yang membuat hadits-hadits palsu tentang targhib (anjuran, berita gembira) dan tarhib (larangan, ancaman). Di sinilah Iblis melontarkan bisikan pada mereka, sehingga mereka mengatakan; Bahwa tujuan kami adalah memotivasi orang untuk berbuat baik dan mencegah berbuat berbuat keji. Mereka lupa sabda Nabi saw.:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: "Barangsiapa yang mendustakan atas diriku dengan sengaja maka ia telah mempersiapkan tempat duduknya di neraka" (HR. Ahmad)
Beginilah, Iblis melakukan talbis pada mereka dengan membisikkan tujuan mengarahkan orang pada mahabbatullah. Sebagaimana di ketahui, bahwa majlis seperni itu banyak dihadiri oleh orang-orang awam.
Diantara mereka juga ada yang memperlihatkan kecintaan kepada Allah dan kekhusyu'annya dan bahkan ada yang membiarkan diri menangis agar dikesankan khusyu'.
Terkadang nasehat itu benar adanya, hanya saja penyampainya adalah orang yang hatinya menyukai kepemimpinan di zamannya, sehingga ia harus dihormati. Tandanya seorang alim seperti ini, apabila hadir seorang penasehat lain yang dapat mengganti kedudukannya atau membantunya, ia sangat tidak menyukai. Seandainya ia memiliki niat yang benar, maka ia akan menyukai bila ada orang yang dapat membantu tugas dakwahnya.
6. Ahl al-Lughah wa al-Adab
Ahl Lughah wa al-Adab (ahli bahasa dan sastra) dapat juga terjangkit talbis Iblis, sehingga mayoritas dari mereka sibuk dengan ilmu nahwu dan bahasa dari pada perkara-perkara yang penting dan fardhu ain baginya, yaitu mengetahui urusan ibadah dan yang lebih utama lagi adalah mengetahui adab bagi jiwa dan hati. Dan yang lebih utama dari bahasa dan nahwu adalah ilmu tafsir, hadits, dan fiqh. Mereka menghabiskan hidupnya dalam ilmu (bahasa) yang sesungguhnya tidak untuk ilmu itu sendiri, melainkan untuk yang lain. Sesungguhnya manusia, apabila ia telah memahami 'kata', maka seharusnya ia meningkat pada melaksanakan (mengamalkan) kata itu.
Banyak diantara ahli bahasa yang hampir tidak paham etika, tatacara syariat (ibadah), dan jika ada jumlahnya sedikit sekali. Dengan kondisi seperti ini, mereka sangat sombong, mereka telah direkayasa Iblis bahwa dirinya adalah ulama, karena nahwu dan bahasa adalah bagian dari ilmu Islam, dan dengan bahasa, al-Qur'an dapat dipahami maknanya.
7. Asy-Syu'ara'
Iblis telah melakukan talbis atas syu'ara' (para penyair) dengan memperlihatkan pada mereka bahwa dirinya adalah budayawan yang memiliki kecerdasan lebih sehingga mereka beranggapan bahwa dirinya berada pada kelas yang berbeda dengan kebanyakan orang. Mereka seperti orang yang haus memasuki lembah kedustaan, melemparkan tuduhan, mengejek, mengoyak kehormatan, melegitimasi kemaksiatan. Karena seorang penyair dapat memberikan pujian pada orang lain, ia ditakuti akan berbuat sebaliknya, yaitu melemparkan ejekan. Atau ketika ia melemparkan pujian pada seseorang, sesungguhnya ia telah mempermalukan di depan orang banyak, lebih-lebih ketika pujian itu dusta dan melampaui batas. Banyak ditemukan, bahwa berkumpulnya mereka hanya untuk kemaksiatan dan minum khamer. Kebanyakan dari mereka apabila mengalami kesulitan hidup, mereka mengumpat, berbuat kufur dan menyalahkan takdir Tuhan, misalnya sair dibawah ini:
لئن سمت همـتي في الفضل عالـية  فإن حظي ببطن الأرض ملتـصق
كم يفعـل الدهر بي ما لا أسر به  وكم يسيء زمـان جائـر حنق
Artinya:
Kalau lah cita-citaku untuk menggapai kemuliaan begitu tinggi,
Sesungguhnya nasibku tramat lengket dengan perut bumi
Berapa banyak waktu telah berbuat yang tidak menyenangkan bagiku...
Berapa banyak zaman berbuat jelek, kejam dan mencekik...
Mereka lupa bahwa yang menjadikan kehidupannya dalam serba kesulitan adalah kemaksiatan yang mereka lakukan.
8. Al-Kamilin min al-Ulama'
Adalah orang-orang yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Mereka menguasai ilmu-ilmu agama, seperti al-Qur'an, Hadits, fikih, sastra dan lain sebagainya. Iblis datang pada mereka dan melakukan taslbis dengan samar, sehingga ulama itu melihat dirinya dengan mata keagungan terhadap apa yang selama ini diperoleh dan mereka berikan pada orang banyak. Iblis telah menghiasinya dengan kelezatan berlama-lama dalam mencari ilmu dan melupakan bahwa keutamaan ulama adalah karena mengamalkan ilmunya. Seandainya ilmu itu tidak diamalkan maka sesungguhnya ia tidak memiliki arti apa-apa.
Di sisi lain, Iblis melakukan tipu daya bagi orang-orang yang kukuh keilmuan dan amal, sehingga mereka merasa benar perbuatan menyombongkan ilmu, iri pada rekan dan pamer untuk mencari riyasah (kepemimpinan).
Diantara mereka, ada yang selalu terjaga di waktu malam dan menghabiskan siang harinya hanya untuk menulis. Iblis membisikkan bahwa tujuan mereka adalah menyebarkan agama, sementara maksud mereka adalah supaya disebut-sebut namanya, memperoleh ketenaran. Ada juga yang begitu bangga dengan jumlah murid yang banyak, bangga dengan popularitas. Talbis Iblis pada mereka itu mudah dikenali, misalnya ketika ada muridnya yang pindah pada guru lain, ia meresa berat dan tidak terima atas kepindahannya. Wallahu A'lam bi ash-Shawab.

Baca Selengkapnya..

TASAWUF SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF DALAM MENGATASI KRISIS MODERNISME: STUDI KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN TRADISIONALISME ISLAM SEYYED HOSSEIN NASR

Oleh:
Badruddin Muhammad

PENDAHULUAN
Ken Wilber, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang bertitel Psikologi Agama, ketika membicarakan situasi hubungan sains dan agama, di antaranya menyebutkan bahwa sains telah melakukan penolakan terhadap agama. Inilah pendekatan baku dari kaum positivis dan empiris yang menjadi aliran utama modernitas. Dalam pandangan tokoh-tokoh, seperti Auguste Comte, Sigmun Freud, Karl Marx, Bertrand Russel, agama hanyalah sisa-sisa dari pengalaman masa kecil manusia yang terus dibawa setelah dewasa. Pada kepribadian yang dewasa, kesetiaan pada agama adalah tanda patologi, kemampuan berpikir logis yang rendah dan inautentisitas eksistensional. Tuhan tidak ada karena tidak bisa diamati baik oleh mikroskop maupun teleskop.
Paparan dalam alinea di atas, merupakan akibat logis dari proses modernisasi yang dilakukan oleh dunia Barat sejak abad pertengahan, tepatnya sejak Renaissans, telah mampu merubah paradigma dunia dari teosentris yang menghegemuni mistisisme dan wahyu sebagai ciri utama pra-modern, menuju antroposentris yang merupakan karakter dasar zaman modern. Modernisme menghendaki pembedaan (differentiation) yang tegas antara agama dengan masalah kehidupan duniawi, seperti ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan lainnya, di mana pada gilirannya modernisme melahirkan paham sekuler yang menghendaki adanya pemisahan atau tidak melibatkan urusan-urusan agama ke dalam masalah kehidupan seperti di atas. Hal ini, tentunya, disamping membawa dampak positif juga telah melahirkan dampak negatif. Dampak positifnya, modernisasi telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan manusia. Sedangkan dampak negatifnya, modernisasi telah melahirkan multikrisis yang belum pernah dialami pada abad-abad sebelumnya. Krisis makna hidup, kehampaan spiritual, dan tersingkirnya agama dari kehidupan manusia hampir menghinggapi seluruh manusia di muka bumi ini. Capra mengatakan bahwa pada awal dua dasa warsa terakhir dari abad ke-20 manusia berada dalam sebuah krisis global yang akut, yaitu krisis krisis kompleks dan multi-dimensional yang sendi-sendinya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan, ekonomi, kualitas lingkungan dan relasi sosial dan politik. Krisis ini, masih menurut Capra, juga menyangkut dimensi-dimensi intelektual moral dan spiritual.
Kenyataan seperti di atas, menjadi tantangan bagi para pemikir Islam untuk senantiasa berupaya mencari dan menemukan jalan keluar. Sebagian dari mereka mencari jalan keluar dengan menggunakan cara-cara dan semangat kemodernan yang lahir dari Barat sendiri, sedangkan sebagian yang lain dengan berusaha mernahami realitas dalam perspektif nilai-nilai tradisional yang ada dalam Islam. Yang kedua ini bukanlah suatu upaya untuk kembali pada tradisi pra-modernisme yaitu sakralisasi, melainkan desekularisasi yang merujuk pada cita-cita prinsip keseimbangan (equiliblrium) antara kebenaran transcendental dan kebenaran obyektif bumi.
Nas}r, sebagai seorang pemikir muslim kontemporer yang sebagian besar kehidupan intelektualnya banyak dihabiskan di Barat, menyaksikan secara langsung berbagai ekses negatif modernisasi saat ini. Barat yang menjadi sumber penyebab krisis modern kini merasakan krisis multi-dimensional. Untuk keluar dari krisis ini, Nas}r menyerukan kepada mereka kembali kepada hikmah spiritual agama dan membatasi diri dalam mengejar kesenangan duniawi, mengendalikan nafsu, menjadi humanis-rasional dan memperhatikan tetangga mereka, baik manusia maupun bukan manusia; lingkungan, binatang dan alam. Seruan-seruan tersebut mungkin terlaksana, bila mereka menyadarinya, dan jika ada kekuatan spiritual yang mengekang kecenderungan buruk di dalam jiwa mereka. Sementara tragedi yang berlangsung di Timur (baca: masyarakat Islam), ialah sedang mengulang atau justru sedang menuju kepada kesalahan yang dibuat oleh Barat, yaitu menciptakan masyarakat dengan peradaban modern yang sejujurnya justru menjadi penyebab krisis. Untuk di Timur, Nas}r menyarankan agar pembaharuan pemikiran Islam dilakukan dengan menggali dan mengkaji kembali khazanah warisan pemikiran Islam klasik dan tidak mengambil konsep-konsep modernisme Barat sebagai model.
TRADISI DAN SPIRITUALITAS ISLAM DALAM PANDANGAN NAS}R
Yang dimaksud dengan tradisi, sebagaimana digunakan dalam pengertian tekniknya dalam tulisan Nas}r yang berjudul Knowledge and the Secred dan sudah diindonesiakan oleh Suharsono, adalah kebenaran-kebenaran atau prinsi-prinsip tentang Ilahi, yang semula dinampakkan atau dinyatakan untuk kemanusiaan dan, kenyataannya, meliputi semua sektor kosmik, melalui sejumlah tokoh yang dianggap sebagai utusan, nabi, avata>ra, logos, atau agen-agen penerus lainnya, sepanjang dengan pencabangan dan aplikasi prinsip-prinsip tersebut dalam bidang yang berbeda, termasuk hukum dan struktur sosial, seni simbolisme, sains dan cabang-cabang pembahasan Pengetahuan Tertinggi, sepanjang dengan makna pencapaiannya. Dengan demikian, terma tradisi menyiratkan sesuatu yang sakral, seperti disampaikan kepada manusia melalui wahyu (divine revelation, vision from God to man) ... Tradisi bisa berarti al-di>n dal;am pengertian seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan pencabangannya; bisa pula disebuat al-sunnah, yaitu apa saja yang – didasarkan pada model-model sakral – sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga siartikan al-silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber, seperti tampak demikian gamlang di dalam sufisme. Karenanya, tradisi mirip sebuah pohon , akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat Ilahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Kitab suci al-Qur'an dan Hadits sebagaimana halnya merupakan instruksi lisan bagi penerimanya, Nabi Yang diberkati, merupakan akar dan batang bagi pohon tradisi Islam.
Dari paparan di atas tampak jelas bahwa yang dimaksud dengan tradisi oleh Nas}r adalah ekternalisasi nilai-nilai agama sehingga menjadi cara pandang (world view), sikap (attitude) dan tindakan (action). Hal ini berbeda dengan apa yang di katakan oleh al-Jabiri, menurutnya tradisi adalah budaya manusia yang diterima oleh satu generasi dari generasi sebelumnya, sehingga generasi yang sekarang bukan hanya belajar kebenaran dari generasi sebelumnya, malainkan juga ia telaj belajar kesalahan dari generasi sebelumnya secara turun-temurun. Demikian, menurut al-Jabiri, jelas sekali ketika ia memaparkan bagaimana formasi nalar Arab (Islam) terbentuk – salah satunya melalui bahasa – yang kemudian melahirkan tradisi dan budaya, ia mengatakan:
"Jika demikian halnya, ketika karakteristik bahasa berhubungan erat dengan karakteristik masayarakt penuturnya, maka masyarakat akan mendapatkan pengalaman tentang benar dan salah di dalam bahasa dan mereka meneruskannya pada generasi-generasi berikutnya. Artinya kesalahan yang menjadi bagian dari masa lalu yang ditransmisikan melalui bahasa pada generasi berikutnya ikut membatasi cara pandang masyarakat penuturnya terhadap alam, kebenaran, kebaikan dan keindahan."

Dengan pengertian tradisi menurut Nas}r, yang berbeda jauh dengan apa yang disampaikan oleh al-Ja>biri, maka tidak sulit untuk memperoleh pemahaman tentang adanya relasi yang kuat antara apa yang dimaksud dengan taradisi dan spiritual. Tradisi yang mirip sebuah pohon, maka di jantung pohon itu berdiam agama dan nilai-nilai spiritual.
Pada bagian pendahuluan dari buku Islamic Spirituality, Nas}r menyatakan bahwa spiritualitas dalam Islam tidak terpisahkan dari kesadaran terhadap Dzat Yang Maha Esa, yaitu Allah dan kehidupan yang dijalani menurut keinginan-Nya. Doktrin tauhid menjadi pusat dari segala praktik yang dilakukan manusia. Allahbakhsh K. Brohi menyebutnya sebagai sikap siapa saja dari setiap muslim yang memandang atau merefleksikan Tuhan sebagai sesatu yang vital yang menentukan norma atau prinsip hidup. Al-Qur'an dipandang sebagai norma atau prinsip hidup bagi orang-orang yang beriman, jika mereka ingin selamat.
Dari sini, spiritualitas Islam merupakan kesadaran yang mengajak manusia untuk menjadikan Tuhan dengan segala representasinya; keesaan, sifat-sifat dan nama-nama-Nya yang agung (al-asma>' al-husna>), dan Kalam Suci-Nya sebagai model pokok dari segala bentuk ekspresi kemakhlukan manusia. Itu sebabnya, segala bentuk tata kehidupan umat Islam mempunyai spiritualitas, sejauh didasarkan pada kesadaran keesaan Tuhan, sebagaimana diujarkan oleh Al-Quran dan berdasarkan teladan Nabi. Tujuannya adalah memperoleh sifat-sifat ketuhanan (ila>hiyyah) dengan jalan meraih kebaikan-kebaikan yang dimiliki-Nya dalam kadar sempurna.
Ini artinya, kehidupan spiritual dalam Islam didasarkan pada rasa takut disertai rasa pengharapan (al-khauf wa al-raja>'), kepatuhan (at}-t}a'ah), dan cinta (al-h}ubb) kepada-Nya. Dengan demikian, semua tindakan manusia timbul dari kesadaran batiniahnya sebagai makhluk teomorfis. Bentuk-bentuk seni Islam, seperti kaligrafi, dalam sejarahnya telah diarahkan sebagai salah satu cerminan prinsip keesaan Ilahi itu. Praktik-praktik ibadah formal, seperti shalat, puasa, menunaikan zakat, haji dan yang lain, juga merupakan akar spiritualitas Islam.
Karena itu, Nasr menegaskan bahwa spiritualitas Islam merupakan realitas yang senantiasa hidup dan harus dikemukakan sebagaimana adanya dan bukan sebagai sosok bangkai yang dipotong-potong menurut pandangan dunia yang asing baginya. Sumber dan dasar spiritualitas Islam, yaitu Al-Qur'an dan al-Hadits sebagai instruksi lisan, Nabi, kehidupan, dan ucapannya, juga ritus-ritus yang menjadi pilar keimanan Islam, seperti puasa, haji, jihad (bersungguh-sungguh dalam berjuang di jalan Allah). Dalam konteks ini, rahasia-rahasia ibadah (asra>r al-ibada>t) akan dirasakan secara spiritual oleh setiap orang yang beriman (believer) ketika menjalankan ritus-ritus agama dan pada saat yang bersamaan akan ditemukan makna batiniahnya.
SEKULERISME BARAT DAN KEHAMPAAN SPIRITUAL
Pada era yang sering disebut modern ini, obsesi keduniaan manusia tampak lebih dominan mewarnai ketimbang spiritual. Kemajuan teknologi, sains dan segala hal yang bersifat duniawi, jarang disertai dengan nilai spiritual. Akibatnya, jiwa pun menjadi kering, hampa dan membutuhkan siraman ruhani yang dapat menyejukkannya. Kehampaan jiwa sebagai dampak peradaban modern, menurut Nas}r, bersumber dari penegasian terhadap hal-hal yang bersifat spiritual (ru>h}iyyah) dan penyingkiran terhadap nilai-nilai (ma'na>wiyyah) secara gradual dalam kehidupan manusia. Manusia Barat modern mencoba hidup dengan alam yang kasat mata. Mereka bahkan mencoba membunuh Tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat. Akibatnya kekuatan dan daya manusia mengalami eksternalisasi. Selanjutnya dengan eksternalisasi ini manusia Barat menaklukkan dan mengeksploitasi dunia dengan semena-mena tanpa batas. Manusia Barat modern membuat hubungan baru dengan alam melalui proses desakralisasi alam. Alam dipandang tak Iebih dari sekedar objek dan sumber daya yang perlu dimanfaatkan dan dieksploitasi seoptimal mungkin.
Menurut Nas}r, manusia Barat modern memperlakukan alam seperti pelacur. Mereka menikmati dan mengeksploitasi alam demi kepuasan dirinya tanpa rasa kewajiban dan tanggungjawab apa pun. Sikap inilah yang kemudian melahirkan berbagai krisis dunia modern yang menjalar tidak hanya dalam kehidupan spirtitual, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulanya, demikian Nas}r, terma modern berarti sesuatu yang terpisah dari Yang Transenden, dari prinsip-prinsip langgeng yang dalan realitas mengatur materi dan yang diberikan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertiannya yang paling universal.
Dalam kata pengantar bukunya Man and Nature, sebagaimana juga dikutip oleh Ali Maksum, Nas}r menegaskan, satu dekade telah lewat... Sepanjang masa itu kesadaran akan krisis lingkungan yang serius yang telah diprediksi sebelumnya tiba-tiba muncul dalam benak manusia Barat modern. Hari-hari khusus telah ditetapkan sebagai hari penyelamat bumi (hari lingkungan hidup) di Amerika, sebagian di Eropa dan Jepang. Hutan-hutan dibabat habis untuk memproduksi kertas yang nantinya digunakan untuk menuliskan berrbagai aspek krisis lingkungan. Puncaknya, diselenggarakan konferensi intemasional di Stockholm pada tahun 1972, yang khusus membahas bagaimana menanggulangi dampak krisis lingkungan tetsebut.
Dalam menganalisa krisis lingkungan, Nas}r bertolak dari pemahaman s}u>fiyyah (kaum sufi) terhadap doktrin al-Qur’an yang menegaskan bahwa alam merupakan teofani (tajalliy) Tuhan yang menyelimuti dan sekaligus mengungkap kebesaran Tuhan. Lingkungan alam adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan yang tampak (al-syuhu>d). Dalam hal ini Nas}r membagi wahyu Tuhan ke dalam dua kategori, wahyu tertulis (recorded Qur’an, al-Qur’an al-tadwini) yakni al-Qur’an dalam bentuk Kitab Suci; dan wahyu yang terhampar (the Qur’an of creation, al-Qur’an al-takwini) yakni alam semesta (cosmos) ini. Dalam ungkapan lain, Tuhan itu adalah “Lingkungan” tertinggi yang mengelilingi dan mengatasi manusia. Al-Qur’an sendiri menyebutnya Tuhan itu sebagai Al-Muhith (Yang Serba Mencakup). Al-Muhith itu sendiri juga berarti lingkungan.
Kesadaran akan ke-ih}a>t}ah-an Allah, merupakan sebuah upaya untuk menjembatani jurang yang memisahkan manusia dari Tuhannya. Dengan melaksanakan segala kewajiban syariat dan memperbanyak dzikir untuk mengingat-Nya, berusaha memperkecil perbedaan antara Tuhan yang Mahasuci dan ruh manusia yang kotor karena pengaruh hawa nafsu, pada hakikatnya, manusia melakukan pembersihan jiwa dari segala bentuk kotoran pengaruh nafsu dan pembersihannya harus kembali mengingat (zikir) kepada Tuhan. Mengingat Tuhan berarti melihat-Nya di mana-mana dan mengalami realitas-Nya sebagai Al-Muhith itu. Mengingat Tuhan sebagai al-Muh}i>t} berarti menyadari terus menerus kualitas kesakralan alam, fenomena alam sebagai ayat-ayat Tuhan. Dan kehadiran lingkungan alam dapat dirasakan sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan, manakala nilai-nilai ila>hiyyah senantiasa hadir dalam dirinya. Artinya seorang yang memiliki spiritualitas agama atau mukmin sejati, senantiasa merasakan ada hubungan dengan Tuhan (Genuine believers in God often feel the they "have dealings with God"), dan ini melahirkan sebuah tanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan.
Jadi, krisis lingkungan tak lain disebabkan oleh penolakan manusia terhadap Tuhan sebagai “al-Muh}i>t}” yang sesungguhnya, yang mengelilingi sekaligus memelihara kehidupan mereka. Perusakan lingkungan bermula dari sikap manusia modern yang memandang alam sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari “Lingkungan” Ilahi. Konsep lingkungan ini sangat terkait erat dengan konsep manusia, karena itu harus mendapat perhatian serius.
Islam memandang manusia difungsikan sebagai khali>fatulla>h di muka bumi, dimana segala perbuatannya harus menjadi sebuah pengabdian (ibadah) kepada-Nya karena dalam hakikat penciptaannya ia sebagai 'abdulla>h (hamba Allah). Sebagai hamba Allah, manusia harus pasif di hadapan Tuhan dan menerima apa pun rahmat yang diturunkan dari¬Nya. Sementara sebagai khalifah Allah, manusia harus aktif di dunia, memelihara keharmonisan alam, dan menyebarluaskan rahmatTuhan yang diturunkan kepadanya sebagai pusat ciptaan. Hal ini bisa dicapai oleh manusia manakala ia berusaha memperoleh titik keseimbangan antara iman dan ilmu. Ilmu – dalam pandangan positivisme – yang dicapai dengan akal dan pengamatan rasional dengan ukuran kuantitatif, dapat membentuk manusia sebagai penguasa dunia. Sedangkan iman yang dicapai dengan rasa melalui pengamatan irfa>nie dan karena itu bersifat kualitatif, dibentuk oleh agama, membentuk manusia menjadi hamba Allah.
Praktek kekhalifahan manusia yang tidak lagi menerima posisi asalnya sebagai hamba Allah dan tidak mau menunaikan amanah serta kewajibannya, telah menjadi ancaman paling serius bagi lingkungan. Inilah yang dilakukan oleh manusia modern Barat yang sejak abad ke 17 M. mengembangkan sains dan teknologi yang dilandasi dominasi dan penjajahan atas alam, memandang alam sebagai musuh manusia dan terus menerus mengeksploitasi dan menghancurkan lingkungan. Semua ini dilakukan atas dasar hak manusia yang dianggap absolut atas dirinya.
Barat mengembangkan peradaban modernnya sejak abad renaisans merupakan eksperimen yang gagal dan sedemikian parah, sehingga umat manusia menjadi ragu apakah ada cara lain di masa mendatang. Hal ini terjadi karena manusia modern Barat telah memberontak Tuhan dan menciptakan sains dan teknologi yang tidak berlandaskan cahaya intelek, tetapi hanya berdasarkan kekuatan akal semata-mata untuk mendapat data melalui panca indera. Peradaban modern Barat dibangun hanya di atas landasan konsep manusia yang tidak menyertakan hal yang paling esensial dari manusia sendiri. Manusia modern, kata Nas}r, telah membakar tangannya ke dalam api yang mereka nyalakan sendiri. Mereka mengalami keterpurukan dibawah peradaban yang mereka bangun sendiri. Mereka lupa siapa diri mereka yang sebenarnya. Akibatnya, masyarakat Barat, yang sering digolongkan the post indus¬trial society. suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran material sedemikan rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis, gagal memperoleh kebahagiaan hidup, melainkan malah dihinggapi kegelisahan dan kecemasan yang diakibatkan oleh kemewahan hidup yang mereka raih. Mereka telah menjadi pemuja sains dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaan mereka terreduksi lalu terperangkap ke dalam jaringan system rasionalitas teknologi yang tidak manusiawi. Nas}r menggunakan dua istilah pokok, yaitu axis atau centre (pusat) dan rim atau periphery (pinggir) untuk membedakan dua kategori orientasi hidup manusia. Kehidupan di dunia ini tampaknya, dalam pandangan barat, tidak memiliki horizon spiri¬tual. Hal ini bukan berarti horizon spiritual tidak ada, tetapi karena yang menyaksiakan panorama kehidupan kontemporer ini seringkali adalah manusia yang hidup di pinggir (penphenj, rim) lingkaran eksistensi, sehingga ia hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Ia senantiasa tidak peduli dengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengan sumbu atau pusat (axis atau centre) lingkaran eksistensi yang dapat dicapainya dengan jari-jari tersebut. Masyarak Barat modern sedang berada di wilayah pinggiran, sedangkan eksistensinya sendiri bergerak menjauh dari pusat, baik yang menyangkut dirinya sendiri maupun dalam lingkungan kosmisnya. Mereka merasa cukup dengan perangkat ilmu dan teknologi, sebagai buah dari gerakan renaisans, sementara pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber dari wahyu kian mereka tinggalkan. Dengan ungkapan yang lebih popular, masyarakat Barat telah memasuki the post Chistian era kemudian berkembang paham sekularisme.
Proses sekularisasi menyebabkan manusia modern kehilangan kesadaran atau kendali diri (self control) sehingga mudah dihinggapi penyakit rohaniah, ia lupa siapa dirinya, untuk apa hidup ini dan mau ke mana sesudahnya. Dalam hal ini Nas}r menjelaskan, masalah penghancuran lingkungan oleh teknologi, krisis ekologi dan semacamnya, semuanya bersumber dari penyakit amnesis atau pelupa yang diidap oleh manusia modern. Mereka telah lupa siapa dirinya dan hidup di pinggiran lingkaran eksistensi. Penghargaan manusia modern terhadap rasio, hanya mampu mengantarkan mereka memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dan pengetahuan yang bersifat eksternal itu mereka berupaya merekontruksi citra diri mereka. Dengan demikian manusia modern semakin jauh dari pusat eksistensi dan sernakin terperosok ke dalam jeratan pinggir eksistensi.
Akibat dari terlalu mengagungkan rasio, manusia modern Barat mudah dijangkiti penyakit kehampaan spiritual. Kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibangun di atas fondasi filsafat rasionalisme dan empirisme abad ke 17-18, tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek-aspek transenden, yang merupakan suatu kebutuhan vital dan hanya bisa digali dari sumber wahyu ilahi. Karena itu, jika mereka ingin mengakhiri kesesatan yang dibuatnya, maka mereka harus mengembalikan pandangan serta sikap hidup keagamaan senantiasa hadir dalam kehidupan mereka.
Dalam hal ini Nas}r menegaskan,
“Hajat untuk menangkap kembali pandangan tentang pusat (centre) bagi manusia modern lebih mendesak. Hal ini tampak pada dunia khayal yang mereka ciptakan di sekitar mereka sendiri, sehingga melupakan hilangnya nilai transendental dalam kehidupan mereka”. Pada kesempatan lain Nas}r juga menandaskan, “Adalah lebih benar dunia modern, tempat kehidupan manusia berada dalam situasi yang profan — terlepas dari nilai-nilai dasar — tempat aspek psikis manusia dipisahkan dari jiwanya yang berperan sebagai sumber kehidupan manusia itu sendiri; dan pengalaman ruang dan waktu - telah berubah selurunya, dan tempat rawa keterikatan dengan Yang Maha Mutlakpelan-pelan telah menghilang”.

Kenyataan seperti ini sangat jauh berbeda dengan manusia tradisional. Kalau manusia tradisional berusaha menjangkau realitas transenden, sebaliknya manusia modern dan kontemporer justru berusaha memutuskannya. Pandangan seperti ini sejalan dengan J. Henlihy yang menyatakan, “Manusia tradisional berusaha mengawinkan hati dan pikirannya dan membentuk persepsi ke dalam, yang kemudian memaksa keterbatasan dirinya untuk menerima realitas yang lebih tinggi. Sementara manusia kontemporer malah menceraikan pikiran dari hatinya, hanya untuk melahirkan ego formal yang lalu dikembangkan untuk bisa berhubungan dengan dinamika dunia modern”.’
Untuk membedakan pandangan hidup manusia tradisional dan manusia modernJ. Herlihy menggunakan istilah khas, hijab dan ilusi:
“Hijab dan ilusi adalah duo hal yang bertentangan dalam kebijaksanaan manusia; hi jab melindungi kebenaran, sementara ilusi mengaburkannya. Allah menciptakan hijab, misalnya antara materi dan ruh, anfara dunia yang terlihat dan dunia yang tak terlihat.... Manusia tradisionall berusaha untuk men yingkap atau niengangkat hijab itu, tetapi manusia modern berusaha untuk menghilangkan atau menghapusnya.”
Manusia modern yang telah menciptakan ilusi memandang dunia ini sebagai realitas kehidupan yang sebenarnya. Karena itu, mereka memahami hidup di dunia ini sebagai suatu kehidupan yang final, dan setelah itu tidak ada lagi kehidupan. Sebaliknya manusia tradisional memandang dunia ini bersifat sementara, dan setelah itu ada kehidupan lain yang abadi yang merupakan kehidupan yang sesungguhnya.
Nas}r melihat, kondisi manusia modern sekarang, karena mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar dan bersifat spiri¬tual, mereka gagal menemukan ketentraman batin, yang berarti tidak ada keseimbangan dalam diri. Hal ini akan semakin parah terlebih apabila tekanannya pada kebutuhan materi semakin meningkat sehingga keseimbangan akan semakin rusak.
Menurut Nas}r, agar manusia modern dapat menemukan kembali integritas dirinya dan alam secara utuh, ia harus berada pada titik pusat (ummatan wasat}an) dan mampu mengambil jarak dari kenyataan yang senantiasa berubah dan serba profan. Artinya, manusia modern harus mempertimbangkan kembali akan kehadiran Tuhan yang menjadi dasar (landasan) kebijakan. Manusia modern membutuhkan agama untuk mengobati krisis yang dideritanya.
TASAWUF SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF DALAM MENGATASI KRISIS MODERNISME
Tawaran Nas}r untuk mengatasi krisis multi-deminsional akibat modernisasi dengan tasawuf, merupakan solusi tepat dan bukanlah suatu hal yang berlebihan. Karena tasawuf – dalam tradisi Islam dan mistik dalam Kristen – merupakan suatu aspek ajaran yang dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan religius manusia , utamanya untuk melepaskan dahaga dan memperoleh kesegaran dalam mencari Tuhan, menyirami batin dan menghilangkan kehampaan spiritual. Nas}r cukup serius memperkenalkan tasawuf kepada masyarakat Barat modern berdasarkan pengamatannya bahwa secara perlahan kekayaan Islam yang paling dalam berupa tasawuf mulai menarik perhatian sejumlah besar pria dan wanita di Barat, walaupun dalam waktu yang bersamaan proses westernisasi terus mengancam benteng peradaban Islam itu sendiri.
Menurut Nas}r, hampir seluruh ajaran Islam tentang hal-hal yang bersifat metafisis dan ma’rifah (gnostic) terutama yang terdapat dalam tasawuf dapat memberikan jawaban terhadap berbagai kebutuhan intelektual dewasa ini. Dimensi spiritual dan tasawuf agaknya mempunyai tempat bagi, setidaknya kajian intelektual, masyarakat Barat modern setelah mereka ditimpa – salah satunya – patologi sosial dengan gejalanya yang merebak adalah kemewahan hidup di tengah perkembangan pesatnya teknologi, dehumanisasi yang dialaminya, antar-manusia saling memandang sebagai objek yang dapat memenuhi ambisinya. Kondisi inilah yang dikritik Nasr sebagai sebuah krisis. Barat dan peradabannya sebenarnya sudah banyak dikritik, termasuk dari kalangan mereka sendiri. Modernitas dinilai telah melakukan distorsi terhadap esensi hidup dan melakukan marginalisasi terhadap spiritualitas yang seharusnya menjadi sesuatu yang inheren, pokok dan utama dalam kehidupan manusia.
Karena itu, mereka mulai mencoba menengok ke dunia Timur, mencari-cari spiritualitas dalam Kristen maupun Budha atau sekedar berpetualang kembali kepada alam sebagai pelarian dari kebosanan dan kejenuhan akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam suasana seperti itu sudah saatnya dimensi batin Islam dalam tasawuf diperkenalkan kepada mereka sebagai alternatif. Karena selama berabad-abad mereka memandang Islam hanya dan sisi legal-for¬mal yang tidak memiliki kekayaan essoteris.
Nas}r memutuskan bahwa tasawuf perlu diperkenalkan dan disosialisasikan kepada masyarakat Barat dengan beberapa tujuan antara lain: Pertama, untuk menyelamatkan kemanusiaan dari kebingungan dan kegelisahan yang mereka rasakan sebagai akibat dari hilanganya nilai-nlai spiritual. Kedua, untuk memperkenalkan lit¬erature atau ajaran essoteris Islam, baik terhadap masyarakat Islam sendiri yang mulai melupakannya maupun terhadap masyarakat non muslim (dalam hal ini masyarakat Barat modern). Ketiga, untuk menegaskan kembali bahwa aspek essoteris Islam (tasawuf) adalah jantung ajaran Islam. Tarikat atau jalan rohani (path of soul) yang dikenal dalam tasawuf merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (essoteris) dalam Islam sebagaimana syari’at bersumber dari al-Quran dan Sunnah. Tasawuf menjadi jiwa risalah Islam, laksana hati dalam tubuh, yang tersembunyi dari pandangan luar (external view). Menurutnya, tarikat atau jalan spiritual (spiritual path) yang mana biasanya diketahui sebagai tasawuf atau sufisme merupakan sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam Islam.
Masyarakat Barat modern yang hanya mengakui keabsahan kaca mata ilmiah dan telah kehilangan penglihatan mata hati (intellectus) akan sulit mengembalikan kesadaran ketuhanannya apalagi untuk berdialog dengan-Nya. Mereka telah kehilangan “benang merah” yang menghubungkan manusia dengan titik pusat yang dipakai untuk melakukan pendakian spiritual menuju ma’rifah. Kesulitan mencapai titik pusat ini karena masyarakat Barat modern hidup mengandalkan kekuatan rasio (nalar) dan bergelimang dengan kemewahan materi. Untuk mengembalikan kesadaran ilahiah ini mereka harus melatih kekuatan intellectus dengan cara melaksanakan ajaran tasawuf. Dengan demikian akan tercapai keseimbangan (equilibrium) antara kekutan rasio yang berpusat di otak dan ketajaman mata hati (intellectus) yang berpusat di dada.
PENUTUP
Menurut Nas}r, Sumber dimensi batiniah Islam yang paling mudah dijangkau, yaitu tasawuf. Praktik dimensi batin ini muncul tidak saja dalam dunia Sunni, tapi juga dalam mazhab Syi'ah Dua Belas Imam dan Ismailiyah. Nasr mengklaim, dalam sejarahnya tasawuf telah menjadi obat yang mampu melepaskan simpul keburukan yang menjerat kebeningan jiwa. Ilmu ini, menurutnya, menjadi psikoterapi sejati yang lebih unggul dari psikoterapi modern. Sebab, guru sufi menyembuhkan muridnya dengan sarana Ruh, mampu menenangkan dan sekaligus menyenangkan jiwa, serta memberinya cahaya yang terpancar dari-Nya sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh psikoterapi modern.
Sebagian pengamat menilai gagasan Nas}r bahwa tasawuf sebagai alternatif untuk mengatasi krisis umat manusia tersebut dalam banyak hal hanya cocok dan relevan untuk masyarakat pasca modernisme, yakni masyarakat Barat, sebaliknya kurang cocok dan relevan untuk masyarakat Islam yang tingkat budayanya sangat beragam.
Kita patut menghargai usaha-usaha serius dan gigih yang dilakukan Nasr. Sejauh ini, seperti ditunjukkan dalam berbagai karyanya, dialah intelektual muslim yang serius mengkaji tema spiritualitas Islam dengan berbagai dimensinya. Namun demikian, menurut penulis, Nas}r sebagai orang yang menyaksikan langsung kehidupan modern di Barat, mestinya tidak hanya menggunakan ukuran-ukuran mikro-subyektif semata, tapi harus melihat realitas makro-obyektif bahwa di Barat spiritualitas dan religiusitas masih dipegangi – sebagaimana juga di dunia Timur – oleh sebagaian mereka. Realitanya – sebagaimana dapat diakses melalui berbagai media cetak maupun visual – bahwa kehidupan spiritual dan religi di Barat masih diminati. Ini terbukti banyaknya tempat-tempat ibadah di kampus dan perkantoran, termasuk juga di White House (Gedung Putih) ada semacam mushalla yang disebut dengan chaple, rumah sakit – dan ini sudah merupakan bagian dari sistem pelayanan – memberikan pelayanan doa bagi pasennya, terutama bagi pasen yang akan menjalani bedah (oprasi), Mike – Petinju si Leher Beton – Tyson masuk Islam di penjara karena pelayanan doa dari seorang muslim yang dengan suka rela mau mengunjunginya, di mall-mall terdapat biro-biro pelayanan doa dan konsultasi agama bagi yang membutuhkan, sementara di dunia Timur fenomena semacam ini tak pernah kita temukan. Walla>hu A'lam bis}s}awa>b.

DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Ade Muzaini. Upaya Transformasi Etika Esoteris ke Dalam Agenda Sosial, http://ikmas.iwebland.com/wacana.htm#_edn1
Al-Bagdadi, al-Junaid. “Rasa’il al-Junaid”, No. 6, dalam Ali Hasan Abdel Kader, The Life, Personality and Writings of al-Junaid. London: Luzac & Company Ltd.
Al-Jabiri, Muhammad Abed. 1989. Takwin al-‘aql al-‘arabi. Bairut, Markaz Dirasat al-Wihdah.
Al-Syirbasi, Ahmad. Al-Gazali wat-Tasawuf al-Islami. Kairo: Dar al-hilal.
Azra, Azumardi. 1994. Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi, dalam Ulumul Qur'an, Vol. IV, No. 1, th. 1994.
Brohi, Allahbakhsh K. "The Spiritual Significance of the Quran", dalam Seyyed H{ossein Nas}r (ed.). 1991. Islamic spitituality. New York: Crossroad.
Capra, Frithjof. "Science, Society and the Rising Culture", diterjemahkan oleh Thoyyibi. 1997. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Budaya. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Evans, C. Stephen. Philosophiy of Religion: Thingking about Faith. USA: Inter Nas}r, Seyyed H{ossein. 1991. Islamic spitituality. New York: Crossroad.
Ma'lo>f, Lois. 1986. Al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar el-Machreq.
Maksum, Ali. 2003. Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep Sayyed H{ossein Nas}r. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Versity.
Nas}r, Seyyed H{ossein. 1991. "The Quran as the Foundation of Islamic Spirituality", dalam Seyyed H{ossein Nas}r. Islamic Spirituality. New York: Crossroad.
__________________. "Knowledge and the Secred", diterjemahkan oleh Suharsono (et. Al.). 1997. Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
__________________. "Traditional Islam in the Modern World", diterjemahkan oleh Lukman Hakim. 1994. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. Bandung: Pustaka.
__________________. 1967. Man and Nature: the Spiritual Crisis of Modern Man. London: Allen and Unwin.
__________________. 1987. Islam: Life and Thought. USA: State University of New York Press.
__________________. 1984. Islam and the Plight of Modrn Man. Bandung: pustaka.
__________________. 1994. Ideals and Realitaes of Islam. San Francisco: Aquarian.
Naim, Ngainun. Tragedi Kemanusiaan di Era Globalisasi, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/1/12/op2.htm///////////
Rahmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan.
Subekti, Sukma. 1986. Equilibrium Kehidupan: Titik Keseimbangan Ilmu dan Iman. Jakarta: PT Intermasa.

Baca Selengkapnya..

Kamis, 08 Oktober 2009

التصوف: المواد المدروسة في كلية الشريعة بجامعة مولانا مالك إبراهيم الحكومية مالانج

المبحث الأول:
أهمية دراسة التصوف

قد يتساءل بعض الناس ما دام التصوف يشتمل في كثير من الأحيان على البدع والضلال والإنحراف فما هي أهمية هذه الدراسة ولماذا ندرسه؟ فأقول : إن لدراسة التصوف أهمية خاصة، وأسباباً لها وجاهة ومن ذلك :
1- إن التصوف يمثل جزءاً كبيراً في تراث المسلمين وفي تاريخهم فالدارس للحضارة الإسلامية وللتاريخ الإسلامي سوف يواجه بمساحة واسعة لهذا الجانب البارز في حياة المسلمين باختلاف الأزمنة والأمكنة لذا لا بد من دراسته والتعرف عليه والوقوف على سليمه من سقيمه.
2- كان التصوف ولا يزال أسلوباً ومنهجاً يدين به الكثير من الناس على مستوى الأفراد والجماعات ويتمثل ذلك بالطرق الصوفية المنتشرة في كثير من بلاد المسلمين، فلا بد من دراسة ذلك لبيان النافع من الضار والهدى من الضلال، ولإصلاح ما يمكن إصلاحه من ذلك ورفض ما لا سبيل لقبوله، ولدراسة النظرات الصوفية المختلفة ونقدها نقداً بناءً.
3- يرى كثير من الناس أن التصوف يمثل الجانب الروحي عند المسلمين ويزعم بعضهم أنه السبيل لتحقيق سعادة الإنسان ولقبوله حلول ذات الله تعالى فيه أو اتحاده به أو ليصبح الإنسان الكامل الذي دعا إليه الجيلي في كتابه الإنسان الكامل.
وهو السبيل إلى صحة الإنسان النفسية وعلاجه من أمراض القلوب، كما أنه يقود إلى معرفة أسرار الوجود وخفايا النفوس.
4- إن كثيراً من الناس في المجتمعات الغربية والإسلامية يجدون في التصوف أياً كان طريقاً للهرب من الحياة المادية المتخمة بالشهوات إلى الزهد والبعد عن الماديات، وقد جعل ذلك جاذبية خاصة للمتمردين على الحياة المادية والبعد عن الرذائل طمعاً فيما عند الله عز وجل.
وإن كان السبيل القويم في ذلك هو طريقة الموازنة بين متطلبات الجسد وتطلعات الروح وليس الانغماس في الترف أو تركه بالكلية، قال صلى الله عليه وسلم : " صم وأفطر وقم ونم فإنَّ لجسدك عليك حقاً، وإن لعينك عليك حقاً وإن لزوجك عليك حقاً، وإن لزورك عليك حقاً " .
5- للناس توجهات مختلفة فبعضهم مالوا إلى النظرية العقلية وهم الفلاسفة والمتكلمون وبعضهم الآخر مالوا إلى النظرية المادية التجريبية وهم التجريبيون والدهريون، واهتم الفقهاء بالأحكام الشرعية والصوفية ومالوا إلى النظرية الوجدانية القلبية أو الباطنية، فاستكمالاً لدراسة النظريات المختلفة لا بد من دراسة التصوف.
6- يرى كثير من الناس في التصوف طريقاً للهرب من أعباء الحياة ومشكلات العمل، وعزلة عن الناس نتيجة الفشل الاجتماعي، وتكاليف الحياة الأسرية، وطريقاً أسهل للكسب وخاصة صوفية الأرزاق.
7- يجد كثير ممن يسعى إلى التقديس وإلى جمع الأتباع والخدم في التصوف طريقاً سهلاً، وذلك لما يعمقه كثير من مشايخ الصوفية في المريدين من ضرورة الطاعة المطلقة للشيخ وخدمته وتقديمه على كل شيء.
10- تشتمل كتب الصوفية على كثير من الغرائب سواءً في الألفاظ أو القصص أو الأخبار وهذا يستهوي كثيراً من الناس، فلا بد من دراسة التصوف للتخلص من ذلك كله إلى إحقاق الحق وإبطال الباطل.
11- إذا رأى بعضهم أن التصوف حق لا باطل فيه ولا بد منه، فنحن ندرسه لاقتفاء حقه، وإذا رأى بعضهم أن التصوف باطل لا حق فيه فنحن ندرسه لتجنب باطله والتحذير منه ورضي الله عن حذيفة بن اليمان الذي كان يقول : " كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني " .
لذا يجب علينا أن نبحث في التصوف وأن نبين ذلك للناس وخاصة للمتخصصين وأن ننصح من اختاره طريقاً وأن نبين له ما ينبغي أن يكون عليه من الحق وما يجب أن يبتعد عنه من الباطل.

1- موضوعه وثمرته
إن غاية التصوف أن يرتقي بالإنسان إلى تهذيب السلوك الإنساني، وكيفية السمو والإرتقاء بالنفس البشرية بالتزكية والتصفية، عن طريق علاج أمراض القلوب، وتصحيح المفاهيم والتصورات، وتقويم الجوارح وفق ضوابط الشريعة، والسمو الأخلاقي عن ملذات الدنيا وشهواتها للفوز برضى الله تعالى، ونيل سعادة الدارين.
ويسعى المتصوف إلى الوصول إلى مرتبة المراقبة وإلى مرتبة الإحسان حتى يكون رقيبه منه ورقيبه فيه ورقيبه عليه وأن يعبد الله كأنه يراه فإن لم يكن يراه فإن الله يراه.

2- فضله
للتصوف فضل عظيم فهو "من أشرف العلوم لتعلقه بمعرفة الله تعالى" ، وليس ذلك فحسب ، بل هو يتصل بصحة عبادة الإنسان ربه عن طريق متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم قال تعالى : ( قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ ، وعن طريق إخلاص العبادة لله تعالى حيث يقول ( فَمَنْ كَانَ
يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا .
وكذلك لأنه يقوم على أصول خمس ، وهي :
1- تقوى الله في السر والعلن.
2- اتباع السنة في الأقوال والأفعال.
3- الإعراض عن الخلق.
4- الرضا بما قسم الله تعالى.
5- الرجوع إلى الله في السر والعلن.




المبحث الثاني:
التعريف بالتصوف

1- تعريف التصوف في اللغة :
- ورد في الصحاح أن الصوف للشاة ، ويقال كبش صاف أي كثير الصوف.
- وصاف السهم عن الهدف مال وعدل ، والمضارع منه يصوف ويصيف .
- ويرى صاحب المصباح المنير أن كلمة صوفية كلمة مولدة لا يشهد لها قياس ولا اشتقاق في اللغة العربية .

2- أصل كلمة صوفية واشتقاقها
إن الذين تحدثوا عن التصوف والصوفية اختلفوا في أصل الكلمة واشتقاقها وكذلك اختلفوا في نسبة الصوفية اختلافاً كبيراً ، وإن المؤيدين والمعارضين للتصوف لم يتفقوا على نسبة للتصوف، كما أن الصوفيين أنفسهم لم يتفقوا على شيءٍ من ذلك ، وأحاول جاهداً ذكر أقوالهم في ذلك وأدلتهم والاعتراضات على ذلك.
1 - ذهب الكلاباذي إلى أن أصل الصوفية ينتسبون إلى الصفاء وأنهم سموا صوفية لصفاء أسرارهم وشرح صدورهم وضياء قلوبهم .
والذي ذهب إلى ذلك نظر إلى حال الصوفية الأوائل، ولم ينظر إلى الاشتقاق اللغوي، بأنهم بذلوا جهدهم في مراقبة النفس لمعرفة التي تعد من سليمها وسقيمها، وبعد، أن صفاء القلوب ونقائها من أهم الأمور.
2 - وقال آخرون إن الصوفية نسبة إلى أهل الصفة وهم جماعة من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم كانوا ينزلون في مكان خلف الحجرات في المسجد النبوي، وكانوا متفرغين للعبادة والصلاة في المسجد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وللمجاورة وهم فقراء المهاجرين الذين ليس لهم مأوى. وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يرسل إليهم بما يكون عنده من طعام. وهذا الكلام لا يستقيم بالنظر إلى الاشتقاق اللغوي لأن النسبة إلى أهل الصُفَّة صُفي وليس صوفي .
3 - وقيل إن التصوف نسبة إلى الاتصاف بالصفات الحميدة وترك الصفات الذميمة والنسبة إلى الصفات ليس صوفي بل صفاتي، والصفاتية ، المراد بها مثبتةُ الصفات فالبعض يطلقها على المشبهة ويطلقها المؤولة والنفاة على كل من أثبت الصفات بما فيهم السلف الصالح.
4 - نسبة الصوفية إلى " سوفيا " اليونانية ومعناها الحكمة، والقائلين بذلك حجتهم أن القوم كانوا طالبين للحكمة حريصين عليها فأطلقت عليهم الكلمة وعربت أو حرفت فأصبحت صوفية وصوفي .
وأكد البيروني هذه النسبة لأن فكرة القول بالوحدة ظهرت فيهم، وأكد محمود عبد الرؤوف القاسم على هذه النسبة بالنظر إلى المعتقدات الفلسفية التي يعتقدها الصوفية. ومن حيث ظهورها في زمن الترجمة في نهاية القرن الثاني والقرن الثالث الهجريين. وإنها نشأت في العراق بلد الترجمة وفي زمنها وهو الزمن الذي تفشت فيه الكلمات اليونانية واستعملت في مختلف الفنون .
ولكن الصوفية أنفسهم لا يقبلون أن ينسبوا إلى اليونان لما يجعل للخصوم عليهم سبيلاً حيث ينسبونهم إلى الفكر اليوناني القديم بما فيه من ضلالات وانحرافات.
ولأن الكلمة اليونانية " سوفيا " قصد بها فلاسفة اليونان المنهج الذي قوامه البحث النظري المجرد في الوجود للوقوف على حقائقه ومهيته مما لا يتصل بالسلوك العملي إلا قليل، أما التصوف الإسلامي فإنه ذو طابع عملي .
5 - وقال بعض الباحثين أنه نسبة إلى الصوفانة وهي نبات أي بقلة زغباء قصيرة صحراوية وذلك لاكتفائهم بالقليل من الطعام ولو من نبات الصحراء وهذا غير سليم بمقتضى اللغة لأنه لو نسب إليها لقيل صوفاني وليس صوفي .
ولو سألت الصوفية عن هذه النسبة فلن يقر بها أحد، هـذا إذا علم معنى الصوفانة فإن عامتهم يجهلونها.
6 - وقيل أنهم ينتسبون إلى الصفوة باعتبارهم صفوة الله من خلقه وأنهم النخبة المصطفاة من الأمة. وهذا القول مردود بالنسبة إلى اشتقاق اللغة لأنهم لو نسبوا إلى الصفوة لقيل في اشتقاق اللغة صفوي .
7 - قيل أيضاً أنهم منسوبون إلى الصف الأول المقدم في الصلاة والمقدم بين يدي الله عز وجل وهذا غير مستقيم لغة، فلو نسبوا إلى الصف لقيل صَفِّي .
8 – وقال بعض الباحثين إنه نسبة إلى رجل جاهلي يقال له صوفة ـ وهو الغوث بن مر بن آد بن طنجة ابن إلياس بن مضر، وذلك أن أم الغوث نذرت لئن عاش لتعلقن برأسه صوفة وتجعلنه ربيط الكعبة فكان أول من انفرد لخدمة الكعبة وتبعه أناس في الجاهلية فمن تشبه به فهم الصوفية .
- وهذه النسبة مستبعدة لأن الصوفية لا يقبلون أن ينتسبوا إلى رجل جاهلي أو قبيلة جاهلية.
- ولو صحت هذه النسبة لكان الانتساب إلى الإسلام أولى من الانتساب إلى الجاهلية والشرك.
- ولو صحت هذه النسبة لكانت معروفة في عهد الصحابة والتابعين رضي الله عنهم.
- كما أن هذه القبيلة وهؤلاء القوم غير مشهورين ولا معروفين لا عند المسلمين ولا عند متصوفيهم وإن كان ابن الجوزي رحمه الله يميل إلى صحة ذلك إلا أن ابن تيمية رحمه الله ضعف هذه النسبة .
9- وذهب قوم إلى أن الصوفية نسبة إلى الصوف وذلك لأن النسبة إلى الصوف صوفي وممن رجح هذا القول شيخ الإسلام بن تيمية رحمه الله في الفتاوي والسهروردي وابن خلدون وحجتهم على صحة هذه النسبة :
إن الصوف لباس الأنبياء وخاصة سيدنا محمد وعيسى عليهما السلام وهو لباس الصحابة رضي الله عنهم والتابعين والصوفية المتقدمين رحمهم الله تعالى.
وإن لبس الصوف هو أقرب إلى التواضع والخمول والذل يقول ابو فراس الحمداني مخاطباً سيف الدولة.
يا واسع الدار كيف توسعها ونحن في صخرة نزلزلها
يا ناعـم الثوب كيف تبدله ثيابنا الصوف ما نبدلها

وإن الصوفية كانوا يعرفون هذه النسبة فقد دخل أبو محمد بن أخي معروف الكرخي على أبي الحسن بن بشار وعليه جبة صوف فقال له أبو الحسن : يا أبا محمد صوف قلبك أو جسمك وقال النضر بن شميل لبعض الصوفية تبيع جبتك الصوف ؟ فقال إذا باع الصياد شبكته فبأي شيء يصطاد.
" وإن نسبتهم إلى لبس الصوف تنبئ عن تقللهم من الدنيا وزهدهم فيما تدعوا إليه النفس بالهوى من الملبوس الناعم، ويكون اللابس خشناً مثل الملبوس في خشونته.
وإن لبس الصوف أمر ظاهر والحكم بالظاهر أسلم وأولى في نسبتهم إلى حال أو مقام لأنه أمر باطن ، وأيضاً لأن القول بأنهم صوفية للبسهم الصوف أبعد عن الرياء وأقرب للتواضع.
وإن هذا الرأي قد سلم مما توجه إلى غيره من الآراء فإنه يوافق قواعد اللغة من حيث النسبة والاشتقاق لأنه يقال تقمص لمن لبس القميص وتصوف إذا لبس الصوف.
ويرى الإمام القشيري في الرسالة القشيرية أن التصوف اسم عَلَم على طائفة الصوفية بغض النظر عن اشتقاق الكلمة والأصل الذي أخذت عنه. والحق أن التصوف نشأ نشأةً إسلامية مستقاة من النصوص الشرعية في الزهد وترك الدنيا وملذاتها، ثم لا ينكر مع مر الأيام تأثر بعض الصوفية وأصحاب الطرق بالفكر الغريب المستقى من الفلسفة اليونانية والأديان القديمة وذاك ما سنبينه عند الحديث عن نشأة التصوف وتأثره بالفكر الغريب.
والراجح في هذه الأقوال هو نسبتهم إلى الصوف لأنه حكم بالظاهر وتصح لغة ،أو قول الإمام القشيري وهو من أوائل الصوفية فهو أعلم بشؤونهم.

3- معنى التصوف اصطلاحاً
إذا أردنا أن نعرف التصوف في الاصطلاح فلا بد من الرجوع إلى أقوال الصوفية في ماهية التصوف وكذلك أقوال أصحاب الطرق.
ومنذ نشأة الصوفية إلى يومنا هذا كثرت أقوالهم في حقيقة التصوف إلى ما يزيد على ألف قول، وكل قول من هذه الأقوال يشير إلى أهم جانب في التصوف عند قائله سواءً بالنظر إلى الطريقة أو الخلق أو الغاية، أو بالنظر إلى حاجة الصوفي أو من حوله وبالنظر إلى حاله، ولا تخلو أقوالهم من جانب في الجوانب التالية :

1- التصوف بمعنى الزهد :
قال سمنون : التصوف أن لا تملك شيئاً ولا يملكك شيء.
وقال معروف الكرخي : التصوف الأخذ بالحقائق واليأس مما في أيدي الخلائق.
وقال النوري : التصوف من لا يتعلق بشيءٍ ولا يتعلق به شيء.
وقال ذو النون المصري : الصوفي من لا يتعبه طلب ولا يزعجه سلب.

2- التصوف بمعنى الأخلاق :
قال أبو محمد الجريري : التصوف الدخول في كل خلق سني والخروج من كل خلق دنى.
وقال الكتاني : التصوف خُلق فمن زاد عليك في الخُلق زاد عليك في الصفاء.

3- التصوف بمعنى الصفاء :
قال سهل بن عبد الله : الصوفي من صفا من الكدر ، وامتلأ من الفكر ، وانقطع إلى الله عن البشر واستوى عنده الذهب والمدر.
وقال بشر الحافي : الصوفي من صفا لله قلبه.
وقال الشبلي : التصوف الجلوس مع الله بلا هم.

4- التصوف بمعنى المجاهدة :
قال الجنيد : التصوف عنوة لا صلح فيها. والمراد بالعنوة الجد والتعب والمراغمة.
وقال عمرو بن عثمان المكي : التصوف أن يكون العبد في كل وقت بما هو أولى به في الوقت.

5- التصوف التزام بالشريعة :
قال أبو حفص : حسن آداب الظاهر عنوان حسن آداب الباطن لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال "لو خشع قلبه لخشعت جوارحه".
وقال الجنيد : التصوف بيت والشريعة بابه.
وقال محمد بن أحمد المقرئ : التصوف استقامة الأحوال مع الله.
وقال أبو عمر بن الجنيد : التصوف الصبر تحت الأمر والنهي.

6- التصوف بمعنى التسليم الكامل لله :
قال الأستاذ أبو سهل الصعلوكي : التصوف الإعراض عن الاعتراض.
وقال رويم : التصوف استرسال النفس مع الله تعالى على ما يريده.
وقال أبو يعقوب المزايلي عن التصوف : حال تضمحل فيه معالم الإنسانية.

7- التصوف بمعنى الإخلاص " الغاية وجه الله " :
قال الجنيد : التصوف أن تكون مع الله تعالى بلا علاقة.
وقال ذو النون المصري : أهل التصوف هم قوم آثروا الله عز وجل على كل شيء ، فآثرهم الله على كل شيء.
وقال أبو الحسين النوري : التصوف ترك نصيب النفس جملة ليكون الحق نصيبها.
8- التصوف بمعنى الارتباط الروحي بالله :
قال أبو نصر الحصري : الصوفي الذي لا تقله أرض ولا تظله سماء.
وقال أبو الحسن الخرقاني : ليس الصوفي بمرقعته وسجادته ، ولا برسومه وعاداته بل الصوفي من لا وجود له.
ونُسب إلى الجنيد قوله : التصوف هو أن يميتك الحق عنك ويحييك به.

9- التصوف ترك التكلف والشكليات :
قال الجنيد : إذا رأيت الصوفي يعنى بظاهره فاعلم أن باطنه خراب.
وقال حماد الدينوري : التصوف أن تظهر الغنى وأن تؤثر أن تكون مجهولاً حتى لا يعرفك الخلق وأن تكف عن كل ما لا خير فيه.

10- التصوف بمعنى الطريق المخصوص للسالكين :
قال الجنيد : الصوفية هم أهل بيت واحد ، لا يدخل فيهم غيرهم.
وقال أبو سليمان الداراني : التصوف أن تجري على الصوفي أعمال لا يعلمها إلا الحق وأن يكون دائماً مع الحق على حال لا يعلمها إلا هو.

وبالنظر في الأقوال المتقدمة نجد أن كل تعريف من تعريفات أئمة التصوف والمنتسبين إليه يشير إلى جانب من الجوانب، وهذه الجوانب مجتمعة تشير إلى جوانب عظيمة من جوانب هذا الدين فالتصوف السني ينبغي أن يتوفر فيه جميع ما ذكر من زهد وإخلاص ومجاهدة وخلق كريم وتسليم لرب العالمين والتزام بشرعه وترك للتكلف، وأن يلتزم المنتسب إلى الله تعالى بالعبادة الدائمة لله عز وجل كما أمر، والبعد عن كل ما نهى الشارع عنه، وعن البدع المضلة وعن الفكر الغريب والفلسفات الباطلة.
ويترجح لدينا بعد عرض تلك التعريفات تعريف ابن خلدون للتصوف لأنه يدل دلالة واضحة على معاني التصوف المتعددة وعلى أحوال الصوفية واهتماماتهم وهو " العكوف على العبادة والانقطاع إلى الله تعالى والإعراض عن زخرف الدنيا والزهد فيما يقبل عليه الجمهور من لذة ومال وجاه، والإنفراد عن الخلق في الخلوة للعبادة ".
والصحيح، أن كلمة التصوف وهي كلمة معروفة منذ أواخر القرن الثاني وشاعت في القرن الثالث للهجرة إلى يومنا هذا وقد ملئت بها الكتب والمكتبات ولا يملك أحد إلغاءها ولا يستطيع ذلك إن أراده. وقد استعمل كلمة التصوف شيخ الإسلام ابن تيمية وامتدح بعضاً من أئمة التصوف، وتكلم في ألفاظهم المستعملة ، ورد على المنحرفين منهم ، وقال نقبل ما عندهم من حق ونحثهم عليه ونرد باطلهم ونزجرهم عنه.
وكل اسم تسمى به جماعة ما لم يكن يدل على الباطل ومرتبط به منذ نشأته، وما لم يكن مرتبطاً بفكر غريب فلا عبرة بالاسم ويهمني المسمى فإذا كان المسمى برمته باطلاً وجب نبذه وإلا نقبل الاسم ونقوِّم المسمى. فكان التصوف في عصر الأوائل مقبولا و ليس باطلاً.

Baca Selengkapnya..
Template by - Abdul Munir - 2008