SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI BADRUDDIN MUHAMMAD

Senin, 29 Juni 2009

TASAWUF: DISIPLIN ILMU YANG SUDAH TUNTAS

oleh: Badruddin
Para sufi tidak identik dengan orang-orang yang selalu mengembara, meninggalkan kampungnya, memilih hidup di tempat yang sepi seperti di gua-gua di lereng bukit yang menghadap ke pantai, berpindah-pindah dari kuburan ke kuburan. Tasawuf bukanlah mengenakan pakaian lusuh dan compang-camping, sekalipun ada juga orang yang beranggapan bahwa hal ini merupakan fenomina dari tarikat tertentu. Tasawuf yang sebenarnya adalah bengkel ruhani, ilmu yang dapat menjaga kesucian jiwa, ilmu yang dapat menjaga kebersihan hati, ilmu yang dapat menghidarkan seseorang dari hal-hal yang tidak terpuji dan tidak memiliki nilai ibadah di sisi Allah SWT. Tasawuf adalah institusi ruhani yang sempurna dan tidak memiliki hubungan dengan paham-paham yang keliru dan menyimpang dari syari’at. Referensi tasawuf adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Tasawuf adalah muraqabatullah, yaitu adanya suatu kesadaran yang tinggi bahwa telah terjadi jalinan yang tidak pernah putus antara diri seorang hamba dan Allah. Hal ini dibenarkan Nabi SAW., sebagaimana sabdanya:
الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
Karena itu, ilmu tasawuf sangatlah berbeda dengan ilmu kalam, ilmu fikih, ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya, akan tetapi tasawuf memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu itu. Tasawuf adalah disiplin ilmu yang sudah tuntas, dari sumber yang jelas dan memiliki kaidah-kaidah yang sempurna. Adalah bukan sikap ulama dan intelek jika masih menanyakan atau mengatakan bahwa: “Kami tidak pernah mendengar kata tasawuf digunakan oleh Rasulullah semasa hidupnya untuk memberikan penamaan atau penyebutan terhadap sebagian dari ajaran Islam.” Sehingga dengan pernyataan seperti itu, lalu keberadaan tasawuf diingkari. Tidak demikian halnya, karena di masa Rasulullah bukan hanya tasawuf, tapi semua dari ajaran Islam belum terbagi-bagi kepada beberapa disiplin ilmu seperti yang dikenal kemudian.
Tasawuf dinamakan demikian, karena memang beberapa zahid telah menggunakan shuf (wool) karena mereka ingin memberikan kritik social terhadap fenomena dari sikap dan penampilan para pengusa yang lebih menyukai kesenangan dunia. Jadi dengan demikian sesungguhnya apa yang terkandung di dalam tasawuf tidak begitu memiliki hubungan yang erat dengan penamaan atau penyebutannya yang diidentifikasikan kepada pakaian yang terbuat dari bulu domba (wool).
Ketika fikih mengajarkan tentang hukum-hukum sayar’, seperti bagaimana kita melakukan shalat, berapa rakaat, bagaimana kita bersesuci untuk shalat, bagaimana kita berpuasa, supaya semua itu dapat dikatakan sah karena telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka tasawuf memperhatihan aspek batin dari ibadah itu, ialah kekhusyu’annya, bagaimana menjalankan ibadah dengan hati yang tulus.
Dengan demikian maka tasawuf adalah melatih dan menempa jiwa, memperbaiki yang telah rusak, mengobati luka yang timbulkan oleh berbagai penyakit ruhani dan melindungi ruhani ibarat raja dalam istana. Wallahu ‘alam bishawab.

Baca Selengkapnya..

TASAWUF dan IHSAN

oleh: Badruddin Muhammad
Sebelum memasuki perbincangan tasawuf lebih jauh pada persoalan dalil-dalil syar‘i, derivasi kata dan sumbernya, di sini penulis terlebih dahulu akan menggunakan difinisi social sebagai pendekatan. Artinya apa yang dirasakan, dimengerti, yang dinamakan adalah lebih penting dari sekedar nama atau sebutan tasawuf yang didasarkan pada persoalan asal-usul kata. Dari sini sesungguhnya tasawuf merupakan ungkapan dari maqam (kedudukan) Ihsan yang merupakan bagian ketiga dari the prophet mission (risalah kenabian) dimana dua bagian lainnya adalah Iman dan Islam.Hadits nabi tentang Ihsan, merupakan hadits yang sangat terkenal sebagaimana berikut ini:
عن عمر (رض) قال: بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب، شديد سواد الشعر، لا يرى عليه أثر السفر ولا يعرفه منا أحد، حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأسند ركبتيه إلى ركبتيه ووضع كفيه على فخذيه وقال: يا محمد! أخبرني عن الإسلام؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، وتقيم الصلاة, وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان، وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا. قال: صدقت. فعجبنا له يسأله ويصدقه، قال: فأخبرني عن الإيمان. قال: أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره. قال: صدقت. قال: فأخبرني عن الإحسان. قال: أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك. قال: فأخبرني عن الساعة. قال: ما المسؤول عنها بأعلم من السائل. قال: فأخبرني عن أماراتها. قال: أن تلد الأمة ربتها، وأن ترى الحفاة العراة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان. ثم انطلق. فلبث مليا، ثم قال: يا عمر أتدري من السائل؟ قلت: الله ورسوله أعلم. قال: فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم" (رواه مسلم).
Dari Sayyidina Umar, r.a., ia berkata: Pada suatu hari, ketika kami (beserta sahabat lainnya) sedang duduk bersama Rasulullah SAW., tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami seorang laki-laki berbaju putih bersih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas perjalanan, dan tidak satupun di antara kami yang mengenalinya. Sehingga ia duduk di hadapan Nabi SAW., lalu ia menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi SAW., dan ia bertanya: “Hai Muhammad!, Beritakan kepadaku tentang Islam!” Rasulullah SAW., menjawab: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allahdan sesungguhnya Muhammad adalah Utusan Allah. Engkau melaksanakan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah, jika engkau mampu.” Ia menjawab: “Engkau benar” (Kata Umar) Kami kagum atas orang itu, ia bertanya sekaligus membenarkan. Ia bertanya: “Beritakan kepadaku tentang Iman!” Beliau menjawab: “Engkau beriman kepada Allah SWT., para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, beriman pada Hari Akhir dan beriman pada ketentuan baik (yang disukai) dan buruk (yang tidak disukai) datangnya dari Allah.” Ia berkata: “Engkau benar” Lalu, beritakan kepadaku tentang IHSAN!” Beliau menjawab: “Engkau mengabdi kepada Allah seakan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat, maka ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu.” ….. (Umar brkata) Kemudian orang itu pergi menghilang, meninggalkan tempat tanpa diketahui. Nabi berkata; “Wahai Umar! Tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu? Aku menjawab: “Allah dan Rasulnya yang lebih mengetahui” Beliau menjawab: “Sesungguhnya itu tadi adalah jibril, datang pada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim)
Jadi, tasawuf adalah pilar ketiga dari dari bangun Islam. Artinya Ihsan adalah suatu peringkat atau posisi di mana keimanan itu telah menjadi iman yang nyata di mana sebelumnya masih merupakan iman yang misteri (gaib) dan sulit dirasakan. Yang Mesteri yang diimani ketika sudah sampai pada tataran kesaksian yang nyata, maka inilah yang dimaksud dengan “seakan engkau melihat-Nya), ialah iman yang mencapai pada tingkat Ihsan.
Ketika Islam adalah kesatuan dari tiga pilar (Islam, Iman dan Ihsan), hanya saja pilar ketiga ini merupakan puncak kesempurnaan ketika seseorang mengupayakan terwujudnya Iman dan Islam dari yang semula berupa prasangka yang mesteri menuju kepada yakin yang nyata dan hadir.
Fenomena Ihsan ini sangat nyata dalam kehidupan Rasulullah SAW., dan para sahabatnya. Bagaimana rahasia maqam ini ditransfer Rasulullah kepada para sahabatnya secara ruhani. Hal ini tampak dari ikatan batin dan mahabbah (cinta) antara mereka dan pribadi Rasul.
Seperti halnya Islam yang menuntut kepatuhan terhadap hukum Allah, ditransfer melalui pengajaran, mendengarkan khatbah Rasul mengenai ketentuan-ketentuan adan konsep-konsep seperti, al-haqq dan al-bathil, al-halal dan al-haram, al-wajib, al-mandub, al-makruh dan al-mubah.
Dan, Iman ditransfer melalui gerakan keimanan dan kegiatan spiritual demonstrative yang terlihat dalam gambaran sikap dan prilaku. Ini bisa dilihat, bagamana Bilal bin Rabah, sikulit hitam itu, baru beberapa hari saja ia masuk Islam sedah berani menentang majikannya yang musyrik. Begitu jua Ihsan ditransfer dari hati ke hati, melalui kecintaan dan keterikatan pribadi Rasulullah dengan mereka.
Jadi kalau kemudian keberlangsungan Ihsan sebagai sebuah tradisi dalam pribadi umat Islam secara umum dirasa hilang, maka hal ini tak lain dikarenakan terputusnya kanal relasi antar mereka, ialah cinta. Ketika beberapa orang mengupayakan membuka kembali kanal-kanal relasi yang dapat mengantarkan mereka mencapai derajat Ihsan, maka mereka kemudian menyebutnya dengan Tasawuf. Sesungguhnya hakikat tasawuf yang disingkap oleh al-‘arifun billah hanyalah merupakan uraian-uraian dari yang terindah, dari nuansa makna yang sangat halus dari dalam syari’at itu sendiri. Tasawuf adalah jantung yang berdenyut, darah yang mengalir, hati yang bercahaya. Bagaimana seseorang bisa mencapai maqam “Ihsan, seakan engkau melihat-Nya. Dan jika tidak demikian, maka yakinlah bahwa Dia melukatmu” bila tanpa cinta? Jadi jika ibadah dilaksanakan tanpa cinta dan mengenal-Nya dengan baik, maka ibadah itu tak lebih dari sebuah upacara keagamaan yang hampa.Wallahu ‘alam bishawab.

Baca Selengkapnya..

Jumat, 26 Juni 2009

HASIL DARI RUMAH KONTRAKAN: PERSPEKTIF FIKIH ZAKAT KONVENSIONAL DAN FIKIH ZAKAT KONTEMPORER

Oleh: Badruddin Muhammad
Firman Allah swt.:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ: الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (المؤمنون: 1- 4)
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat". (QS. Al-Mu'minun: 1-4)
A. Mukadimah

Firman Allah SWT di atas, sekalipun berbentuk kalimat berita namun hakikatnya mengandung arti perintah. Bahwa siapa saja dari setiap orang yang beriman yang ingin mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya, maka disamping ia harus menjaga hubungan vertikal antara dirinya dengan Allah shalat yang khusyu', meninggalkan hal-hal yang tidak bernilai ibadah, juga ia harus menperhatikan relasi horisontal antara dirinya dengan sesama melalui zakat. Jadi, zakat merupakan salah satu bentuk ajaran Islam yang memberikan atensi dan empati terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Zakat dan segala derivasinya, dapat menciptakan harmoni sosial, menekan terjadinya kesenjangan ekonomi dan bahkan menjadikan orang miskin merasa kaya, tidak merasa sendirian menanggung beban hidup dari himpitan ekonomi karena di sisinya masih ada orang yang mau mengulurkan tangannya, memberi sedekah, menyerahkan zakat dan berinfaq.
Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam – dengan segala hikmah yang dikandungnya – menjadi perhatian para ulama baik di masa silam (salaf) maupun di masa sekarang (khalaf), utamanya mengenai ketentuan jenis kekayaan yang harus dikeluarkan zakatnya, kuantitas dan waktu pembayarannya. Mengingat semakin berkembangnya sektor perekonomian, tentu wacana tentang zakat ini mengalami perkembangan pula di kalangan ulama.
Dalam sistem ekonomi klasik, pendapatan yang dianggap bisa mendatangkan kekayaan hanya terdiri dari beberapa sektor atau sumber kekayaan dan perekonomian saja, meliputi sebagian pertanian (zira'ah), peternakan (Masyiah), perdagangan (tijarah), barang temuan/terpendam dari peninggalan purba (rikaz) dan pertambangan (ma'dan). Selain dari aspek-aspek ini tidak dianggap sebagai sumber kekayaan jelas dan tetap. Namun dengan berjalannya waktu, sekarang ini semakin disadari bahwa semakin banyak manusia yang menjadi penghuni di permukaan bumi ini maka semakin banyak pula lapangan pekerjaan yang menuntuk kerja profesional, utamanya di bidang jasa. Dahulu misalnya, pangkas rambut bukanlah profesi kerena ini dapat dikerjakan secara bergantian, pijat di kampung-kampung cukup dibayar dengan satu kilogram beras, dan seterusnya. Namun sekarang bukan hanya itu, memungut sampah dan mendaur ulang bias jadi profesi yang juga menjanjikan kekayaan, karena itu hal-hal yang dulunya tidak tersentuh oleh fikih zakat, sekarang ini menjadi bagian yang diperbincangkan. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran dan fikih zakat dari klasik konvensional menuju kentemporer kiranya paparan di bawah ini sedikit dapat memberikan gambaran bagi peserta diskusi yang berbahagia siang ini.

B. Jenis-jenis Zakat dalam Wacana Fikih Klasik
Zakat al-Masyiyah (zakat peternakan), yang dimaksud dengan binatang ternak di sini adalah al-na'am (jawa: rojokoyo) dan hanya meliputi unta, sapi dan kambing. Sehingga untuk bianatang yang lain, seperti kuda, ayam dan binatang air tidak termasuk harus dikeluarkan zakatnya sebagai keberadaannya binatang ternak. Karena yang menjadi illat hukum zakat di sini adalat wujudnya sebagai binatang ternak, maka zakat yang dikeluarkan bila sudah mencapai ketentuan (nisab) adalah juga wujud dari jenis binatang ternak itu sendiri dan tidak boleh diganti dengan binatang atau barang lain, juga tidak boleh dikeluarkan berupa harga (dirupakan uang tunai) karena hal ini bukan zakat mal atau dzahab.
Zakat al-Zira'ah ( zakat pertanian) dikenakan pada hasil pertanian yang dapat digolongkan sebagai qutul-balad atau ma yuqtatu bihi ahlul-balad (makanan pokok atau hasil pertanian/makan yang dijadikan sebagai sumber energi penduduk setempat). Karena yang menjadi illat dari Zakat al-Zira'ah ini adalah qutul-balad, maka zakat yang harus dikeluarkan juga berupa jenis dari yang dizakati, tidak diganti dengan harganya atau dikeluarkan zakatnya berupa uang tunai. Manakala hasil pertanian itu adalah padi (beras) maka harus dikeluarkan berupa padi (beras), tidak diganti dengan krus nominal mata uang. Inilah yang menjadi penghalang bagi jenis-jenis hasil pertanian lainnya, seperti buah kelapa, semangka, ikan dan lain sebagainya.
Sedangkan rupa zakat yang harus dikeluarkan dari rikaz, ma'dan dan tijarah adalah berupa harga atau uang tunai (naqdan) dengan besaran prosentase tertentu. Dalam perekonomian klasik emas (dzahab) dan perak (fidhdhah), seperti yang disebut-sebiut di dalam al-Qur'an, hadits Nabi maupun fikih tidak lain adalah uang tunai (naqd).
Sekarang, mengapa zakat yang harus dikeluarkan dari rikaz, ma'dan dan tijarah adalah berupa harga atau uang tunai (naqdan)?, karena harta ini untuk pengeluaran zakatnya tidak memiliki illat sebagaimana illat yang dimiliki oleh hasil pertanian dan peternakan. Kerenanya besaran zakat yang harus dikeluarkan harus dikruskan dengan mata uang baik yang berbentuk kertas (waraq) karena nilai nominalnya atau berupa emas dan perak (dzahab wa fidhdhah) karena nilai intrinsiknya.

C. Zakat Rumah Kontrakan atau Rumah Kos
Mengenai zakat yang harus dikeluarkan dari hasil rumah kontrakan atau rumah kos, hal ini merupakan permasalahan baru yang diwacanakan ke dalam fikih zakat. Sebagian orang melihat bahwa jumlah nominal yang didapat dari rumah kontrakan cukup besar dan bahkan ada beberapa orang yang menggantungkan perekonomiannya kepada sektor ini, sekalipun sebagian yang lain tidak demikian halnya. Ada yang mengontrakkan rumahnya karena tidak punya pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, sehingga ia rela tidur berdesakan dengan anak dan istrinya dalam satu kamar, sementara kamar untuk anaknya dekontrakkan untuk tambahan opendapatan.
Karena hasilnya yang lebih dari cukup ini, maka seharusnya zakat dari rumah kontrakan ini juga harus dibayarkan. Namun kemanakah hasil rumah kontrakan ini diidentifikasikan zakatnya? Bila disamakan atau diilhaqkan dengan zira'ah atau dengan masyiyah, maka rumah kontrakan tidak memiliki kesamaan illat dengan keduanya. Zira'ah, dikeluarkan zakatnya karena sebagai qutul-balad dan zakat yang dikeluarkan juga berupa hasil pertanian atau hasil panin. Begitu juga masyiyah, dikeluarkan zakatnya karena sebagai al-na'am (binatang ternak) dan zakat yang dikeluarkan juga berupa binatang ternak bukan harga dari binatang ternak.
Pendapat Yusuf al-Qardhawi, masih ambigu dalam ketentuan zakat atas harta yang diperoleh dari kontrakan, ia lebih cenderung mengilhaqkan kepada zira'ah. Artinya begitu harta itu didapat, maka saat itu pula harus dikeluarkan zakatnya. Ini berdasarkan firman Allah: "Fa'tu haqqahu yauma hashadih" (Keluarkanlah hak (zakat)nya pada hari di mana harta itu dituai). Tapi dalam besaran zakat yang harus dikreluarkan dari hasil kontrakan itu, al-Qardhawi menggunakan ketentuan 2.5 %. Padahal ketentuan 2.5 % selama ini diberlakukan pada harta yang telah mencapai minimal satu nisab (ukuran tertentu dalam besaran) dan haul (siklus, satu tahun perputaaran waktu). Ketika, oleh al-Qardhawi, hasil kontrakan disamakan dengan zira'ah berarti ia mengabaikan haul dan nisab harta, ia hanya mengambil besarnya zakat 2.5 % yang harus dikeluarkan.
Penghasilan dari rumah kontrakan yang tidak sama dengan zira'ah dan masyiyah ini, harus mendapatkan penyelesaian guna mendapatkan kepastian hukum dalam hal zakat. Menurut penulis, ada dua alternatif dalam memberikan kepastian hukum zakat atas harta yang dihasilkan dari rumah kontrakan. Pertama: diilhaqkan kepada zakat mal (dzahab dan tijarah). Yang dimaksud dengan dzahab di sini adalah emas lantak sebagai cadangan devisa atau emas sebagai standar nilai nominal mata uang logam atau uang kertas yang diaktifkan atau diinvestasikan. Jika zakat hasil rumah kontrakan diilhaqkan kepada emas (dzahab)dan hasil perdagangan (tijarah), maka ketentuan nisab dan haul yang melekat pada keduanya juga diberlakukan pada kekayaan yang diperoleh dari hasil kontralkan.
Kedua: Menyadari bahwa fikih merupakan produk pemikiran hukum Islam. Artinya fikih bisa saja berubah dari waktu ke waktu, karena wataknya sebagai produk pemikiran yang bersifat mutaghayyirah (berubah) dan ghair tsabitah (tidak tetap). Berangkat dari sinilah, menurut penulis, bahwa ada semacam konvergensi antara zakat zira'ah dan tijarah/dzahab yang dapat diberlakukan pada harta yang dihasilkan dari kontrakan. Kalau al-Qardhawi mengilhaqkan dengan zira'ah dan mengambil besarnya zakat yang harus dikeluarkan 2.5%, tapi ia tidak berani menentukan besarnya nisab. Maka, menurut penulis, tetap memperhatikan nisab dan mengabaikan haul. Artinya setiap harta yang dihasilkan dari rumah kontrakan atau rumah kosan, harus dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan: (1) Bila mencapai minimal satu nisab yang besarnya sama dengan 20 mitsqal atau 93.60 gram emas. (2) Zakat dikeluarkan pada saat terima uang seperti pertanian pada saat selesai panen, bukan setelah satu tahun dari pembayaran. (3) Pendapatan itu dipotong biaya rehab atau perbaikan rumah karena hal ini sama dengan biaya produksi dan (4) Besarnya zakat yang harus dikeluarkan adalah 2.5%.
Wallahu A'lam bishshawab.

Baca Selengkapnya..

Rabu, 17 Juni 2009

PUSARAN ARUS SYARIAT DAN TASAWUF DALAM KEBERAGAMAAN AL-HALLAJ

Oleh: Badruddin

Abstract
Al-Hallaj is wellknown as a controversial figure in Sufi world. Due to his high achievement of inner consciosness, he has successfully met God (al-Haq) and claimed when in Sakr (extacy) that he was the Truth (ana al-Haq). Seen from his statement, we may infer that al-Hallaj had no fear to any but God. This situation made government worry since the number of followers experienced a gradual increase, atracting several members of opposition groups from repressed and marginalized people. Al-Hallaj’s involvement in socio-political arena in the form of anti-authoritarian government had a significant contribution in social change. Government, therefore, tended to kill him but they lacked sufficient reasons. Then, it tried to persuade Islamic Law scholars (ulama fiqh), who supported government, to issue a statement of justification that Al-hallaj deliberately practiced and spread misleading tenets. Consequently, he was caught and sent to jail. Then, he was executed in crusade pole and guillotined. His body was burn and the ash was thrown to Tigris river.
Keywords: inner consciosness, the Truth, extacy, anti-authoritarian.
PENDAHULUAN
Sy
ari‘at merupakan terma yang sangat menarik bagi kalangan peminat studi Islam, karena dalam perjalannya istilah ini pernah mengalami perluasan dan penyempitan makna. Secara etimologi asy-Syar‘u merupakan masdar dari syara‘a. Sedangkan at-Tasyri‘ masdar dari syarra‘a. Syariat, masih dalam pengertian bahasa, adalah sumber air yang menjadi tujuan manusia untuk mendapatkan air minum. Kemudian orang Arab menggunakannya untuk setiap jalan lurus yang dapat memberikan petunjuk bagi manusia menuju kebaikan yang dapat mengantarkan mereka menemukan jati diri, fungsi akal dan kehidupannya. Sesuai dengan keluasan arti syariat dalam pengertian bahasa, Islam mendifinisikan syariat – yang kemudian disebut syariat Islam – sebagai jalan atau cara yang memiliki nilai-nilai ketuhanan, yang karenanya Rasulullah saw., diutus bagi seluruh manusia agar mereka dapat merealisir kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Atau dengan kata lain syariat mencakup segala aturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik yang menyangkut keyakinan (aqidah) maupun aspek hukum, dan bahkan aspek budi pekerti (ahlak, tasawuf). Dalam perkembangan berikutnya, para ahli hukum Islam telah menggunakan terma syariat ke dalam pengertian yang sempit. Sebagai contoh, Mahmud Syaltut dalam bukunya Al-Islam ‘Aqidah wa Syari‘ah menempatkan syariat sebagai imbangan dari akidah.
Ketika terma syariat dipahami sebagai ketentuan hukum-hukum amaliyah yang pada akhirnya memberikan keputusan seperti wajib, haram, sunnah, makruh, mubah, sah dan batalnya praktik ibadah amaliyah, dan ketika akidah memperbincangkan masalah-masalah keyakinan yang memberikan keputusan mukmin, kafir, musyrik, murtad dan lain sebagainya, maka yang memyangkut budi pekerti dalam berinteraksi sosial dengan sesama, binatang dan alam disebut ahlak. Sedangkan permasalahan yang tidak dibicarakan dalam tiga keranjang di atas, yaitu bagaimana manusia harus menjalin hubungan dengan Tuhan yang sedekat-dekatnya, dikemas dalam bentuk ajaran mistik, khusus dalam Islam dikenal dengan sebutan tasawuf. Jadi inti dari ajaran tasawuf berupa penekanan pada aspek spiritual yang berfokus pada kedekatan dan cinta kepada Allah yang diungkapkan oleh beberapa ayat al-Qur'an. Pesan yang disampaikan oleh ayat-ayat al-Qur'an mengenai kedekatan dan cinta ini sudah barang tentu menjadi acuan bagi Rasulullah dalam pengalaman keberagamaannya. Maka, menurut para ahli tasawuf, Nabi Muhammad saw., adalah seorang guru sufi, kendatipun oleh sebagian orang yang menekankan keberagamaan formal menafikan kenyataan ini.
Dengan demikian, tasawuf merupakan satu sisi dari berbagai sisi ajaran Islam yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan lainnya. Menjalankan ketentuan syariat secara konsisten dan tetap berdasar pada al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dasar dari segala ajaran tasawuf. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, para sufi senantiasa taat menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi apa saja yang dilarang-Nya. Seorang sufi sejati adalah yang menjalani tradisi suluk atau merambah jalan spiritual, sembari tetap mempertahankan bentuk-bentuk keberagamaan formal, seperti menjalankan syariat shalat, puasa, sedekah, ataupun berhaji. Kenyataan seperti ini, tampaknya sedikit berbeda dengan kesan umum yang sering muncul dalam wacana tasawuf, yakni bahwa seorang sufi selalu tenggelam dalam mabuk cintanya kepada Allah dan pada saat yang sama melupakan kewajiban-kewajiban syariat, seperti shalat lima waktu.
Terdorong sebuah keinginan untuk memberikan informasi yang benar tentang tasawuf, maka tulisan ini menampilkan seorang tokoh tasawuf yang hidup di abad ke 3-4 Hijriyah atau ke 9 -10 Masehi. Dialah al-Husain bin Manshur.
SILSILAH AL-HALLAJ
Ia adalah Abu al-Mugits al-Husain bin Manshur bin Mahma al-Hallaj al-Baidhawi yang kemudian dikenal dengan Al-Hallaj. Lahir pada tahun 244 H. (866 M.) di Thur, sebuah perkampungan yang terletak di sebelah tenggara kota al-Baidha’, kawasan selatan Persia (Iran).
Massignon menemukan, ada dua riwayat yang berbeda mengenai asal-usul al-Hallaj. Pertama menyebutkan bahwa silsilah nasabnya sampai pada Abu Ayyub al-Anshari, salah seorang sahabat Nabi yang terkemuka. Sedang riwayat lain mengemukakan, bahwa ia berkebangsaan Persia dan kakeknya bernama Mahma (محمى) seorang Zoroaster (Majusi) yang cukup terkenal di al-Baidha’. Namun demikian, banyak penulis, seperti al-Baghdadi. Ibnu Katsir , Ibnu al-Atsir , dan juga Massignon sendiri mengatakan bahwa ia asli keturunan Persia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan bangsa Arab.
PENDIDIKAN AL-HALLAJ
Di masa kecilnya, ia sering berpidah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti kepindahan ayah, ibunya, dan saudara-saudaranya. Dari tanah kelahirannya al-Hallaj kecil dibawa menuju kota Ahwaz dan akhirnya sampai di kota Wasith, yang terkenal sebagai kota pendidikan al-Qur’an. Di kota inilah al-Hallaj dibesarkan. Di samping itu, Wasith merupakan pusat pembusaran kapas, pemintalan benang, sampai kerajinan tekstil pada masa itu. Dua kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini. Kepindahan al-Hallaj dan keluarganya telah mencabut akar budaya al-Hallaj. Di Wasith inilah, ayahnya bekerja sebagai pembusar kapas, dan berkat ketekunannya ia dapat mendirikan pabrik pembusaran kapas. Selanjutnya al-Hallaj dimasukkan ke sekolah khusus al-Qur’an. Dua tahun kemudian ia telah hafal al-Qur’an tiga puluh juz dengan baik.
Sejak usia kanak-kanak, kecerdasannya dalam menyerap pelajaran sudah kelihatan. Kemampuan dan kecerdasannya pada usia sedini itu telah mengundang kekaguman gurunya. Di usianya yang relatif muda (12 tahun), ia sudah menjadi seorang penghafal al-Qur’an terkenal di kotanya, baik lafal, makna dan tafsirnya.
Tahun 260 H./882 M., Ketika itu masih berumur 16 tahun, ia telah menguasai al-Qur’an, ilmu gramatika Arab dan teologi. Kemudian berdasarkan petunjuk pamannya, ia meninggalkan Wasith menuju desa Tustar untuk berguru pada Sahl bin Abdullah at-Tustari (w. 283 H.), sufi besar yang terkenal berani, independen, penyebar ruh hakiki Islam, mempunyai kedudukan spiritual tinggi di kota itu, terkenal karena tafsir Al-Qur'annya, dan perintis tarikat as-Salimiyah. Dari gurunya ini, ia mulai mengenal ajaran tasawuf pada tahap awal, yaitu mengamalkan secara ketat tradisi Nabi saw. dan praktek-praktek kezuhudan keras, semisal puasa dan shalat sunat.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 262 H. / 884 M., ia meninggalkan Tustar menuju Basrah untuk berguru pada seorang sufi paling berpengaruh saat itu, murid kesayangan al-Junaid yang bernama ‘Amer bin ‘Usman al-Makki (w. 297 H). Intelektualitasnya yang cemerlang telah menyebabkan sang guru sangat menyayanginya, sehingga semua ilmu yang dimiliki diajarkan kepadanya. Syekh inilah yang sangat berperan dalam membimbing al-Hallaj menuju dunia sufisme. Ia juga yang memberinya jubah khusus yang lazim dipakai para sufi. Peristiwa ini merupakan titik awal atas penobatan dirinya sebagai sufi. Al-Hallaj menghabiskan waktunya bersama al-Makki selama delapan belas bulan.
PERKAWINANNYA
Pada akhir tahun 263 H., Abu Ya’kub al-Aqtha’ al-Bashri, teman seperguruan ‘Amr al-Makki ketika belajar pada al-Junaid, rupanya mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj, karena itu ia menyarankan agar al-Hallaj menikahi saudara perempuannya. Perkawinannya dengan Umm al-Husain, yang melahirkan tiga orang putra dan seorang putri, berlangsung sampai akhir hayatnya. Di sisi lain, peristiwa pernikahannya itu menyebabkan persahabatan antara al-Aqtha’ dan gurunya menjadi renggang, dikarenakan al-Makki tidak diajak berunding dalam masalah ini. Al-Hallaj sangat sedih mengetahui keretakan pergaulan kedua sufi itu. Kemudian ia pergi ke Bagdad menemui al-Junaid (w. 298 H.) untuk minta nasihat mengenai problematika yang dihadapinya. Sufi besar ini menyarankan agar tetap bersabar menghadapinya dan menyarankan agar al-Hallaj memilih tinggal di lingkungan kerabat istrinya, yaitu keluarga al-Karnaba’i, maula Bani Majasyi. Ketika itu, keluarga ini memberikan atensi dan pembelaan terhadap orang-orang Zanji yang kemudian memberontak melawan pemerintahan Abbasiyah.
PERJALANAN KE LUAR NEGERI
Ia pergi ke kota Mekkah, menunaikan ibadah haji sebanyak tiga kali. Hajinya yang pertama pada tahun 892 M. Setelah selesai dari ibadah haji yang dilaksanakan, ia memilih tinggal di Tanah Suci selama setahun penuh. Kesempatan ini digunakan untuk beribadah, i’tikaf di Masjid al-Haram, dan berpuasa, yang semua itu dimaksudkan untuk penyucian hati dan menundukkannya kepada Kehendak Allah swt., agar dirinya benar-benar diliputi cahaya ilahiyah. Setelah ibadah haji yang pertama selesai, ia tinggal di Tanah Suci dan memilih bagian tengah dari Masjid al-Haram, di suatu sudut Ka’bah, sebagai tempat duduk bagi dirinya selama satu tahun. Dalam rentangan waktu sepanjang itu, tidak beranjak dari tempat duduknya kecuali untuk bersuci atau untuk thawaf, ia tidak peduli dengan panas sengatan matahari maupun guyuran hujan. Setiap pagi hari, ia hanya makan sedikit roti dan minum sedikit air yang dibawakan untuknya. Pada kesempatan lain, ia naik ke puncak bukit Abi Qubais dan duduk di atas pasir di tengah teriknya sinar matahari. Keringatnya bercucuran dalam udara yang sangat panas itu. Namun ia tetap bertahan di tempatnya dengan berdzikir menyebut asma Allah.
Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, ia membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik mengenai inspirasi Ilahiyah. Ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya, di antaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid, di samping juga ia tidak lupa menanyakan keadaan masyarakat yang ditinggalkan. Sejak awal ‘Amr sudah menunjukkan ketidaksukaannya pada al-Hallaj. ‘Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan membawa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal ihwal yang seharusnya bagi kaum sufi untuk memperbaiki masyarakat. Al-Hallaj berpandangan keterlibatan kaum sufi dalam memberikan perlindungan dan pencerahan pada masyarakat, terutama yang lemah, merupakan suatu keharusan, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini. Akibat perbedaan-perbedaan pendapat itu, al-Junaid beranggapan, bahwa al-Hallaj telah banyak menentang nasehat-nasehatnya dan terlalu berlebihan dalam setiap perkataannya. Sehingga al-Junaid pernah mengatakan padanya: “Saya kira perkataanmu itu terlalu berlebihan. (Citra) Kayu (Salib) manakah yang hendak kau rusak?” Sejak peristiwa itu, ia sering tidak mau menjawab pertanyaan muridnya. Perlakuan ini semakin membuat jarak antara keduanya semakin jauh dan berujung dengan perpisahan. Selanjutnya, apa yang dikatakan al-Junaid dipahami oleh banyak kalangan, termasuk al-Hallaj sendiri, bahwa ini merupakan ramalan tentang nasib Al-Hallaj yang akan mati di tiang kayu salib.
Setelah berpisah dengan al-Junaid, ia memutuskan meninggalkan Baghdad dan kembali ke Bashrah. Di kota ini, ia memulai mengajar, memberikan ceramah, dan dalam waktu yang sangat singkat, ia sudah memiliki sejumlah murid yang sangat besar. Setelah menancapkan pengaruhnya di Bashrah, ia melanjutkan dakwahnya ke Tustar dan memilih tinggal di kota itu, dengan membawa istri dan adik iparnya yang setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya, ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu dan al-Hallaj berarti pembusar. Jadi al-Hallaj adalah sang pembusar atau pembuka segenap rahasia atau Kalbu). Ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar mengkhawatirkan sejumlah ulama fikih tertentu, dan ia pun dituduh sebagai dukun. Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik yang terjadi sebelumnya, memberikan dukungan kepada para ulama fikih, mengirimkan surat kepada penguasa di kota Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan reputasi al-Hallaj. Pengaduan ‘Amr al-Makki mendapatkan respon dari penguasa, terutama dari perdana mentri, Hamid bin Abbas, yang sudah lama memusuhi al-Hallaj dan menunggu kesempatan untuk menagkapnya kerena keterlibatannya memberikan pembelaan terhadap kaum Zanji dan Qaramithah. Kemudian, perdana mentri inilah yang menyusun skenario untuk menyelipkan beberapa hukum (ajaran) sesat ke dalam tulisan-tulisan al-Hallaj. Karena semua itu, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya, ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal. Ia bersahabat dengan dua di antaranya mereka, an-Nuri dan asy-Syibli.
Selain itu, ia pernah melakukan beberapa pengembaraan apostolic (kerasulan) ke tempat-tempat yang jauh dari Bagdad. Pada 899 M, ia pergi menuju timur laut, dan selama lebih kurang lima tahun ia menjelajahi Khurasan, Transaxonia, Sijistan, dan Kirman. Kemudian pada kesempatan lain ia menuju ke selatan pergi ke India, Khurasan, Transaxonia, Turkistan, dan dilanjutkan ke Ma Sin di negeri Cina, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M.
Dalam beberapa perjalanannya, ia seringkali berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi, di antaranya Zorastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya yang terakhir. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah.
Pada 906 M., ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi ke perbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
TITIK BALIK PERJALANAN SPIRITUAL
Sekitar tahun 290-291 H./912 M., ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya sekaligus yang terakhir, berlangsung selama dua tahun, dan berujung dengan diraihnya kesadaran tentang al-Haqq (Kebenaran). Di penutup tahun 913 M. inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan Sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadikan dirinya sebagai hewan kurban yang rela menerima kematian.
Di jalan-jalan kota Baghdad, di pasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Kata-kata al-Hallaj di atas, di samping Ucapan Ana al-Haqq, mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Orang seperti al-Hallaj yang berani mengutarakan perkataan-perkataan sedemikian itu berarti ia tidak takut pada siapapun, termasuk pada penguasa, kecuali ia hanya takut pada Allah. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Akibatnya dapat dipastikan, jumlah orang yang simpati kepada al-Hallaj semakin hari semakin bertambah dan mereka semakin menunjukkan keberaniannya. Namun, orang-orang yang memusuhinya di dalam maupun di luar istana khalifah juga tak berkurang jumlahnya. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Mereka memanfaatkan pengaruhnya pada masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan keresahan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Di atas segalanya, berbagai gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir secara dramatis. Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918 M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Sang penasehat khalifah, termasuk di antara sahabat al-Hallaj, untuk sementara berhasil mencegah upaya pembunuhan atas dirinya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu, ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, Hamid bin Abbas, musuh bebuyutan al-Hallaj, berada di atas angin. Sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya, ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.

PANDANGAN AL-HALLAJ TENTANG AJARAN FORMAL AGAMA
a. Tauhid
Pandangan al-Hallaj tentang Keesaan Allah, sama halnya dengan kaum salaf dan kebanyakan umat Islam. Bahwa Allah adalah Ahad bidzatih (Esa dengan Dzat-Nya), Wahid bi Asmaihi wa Sifatih (Yang Esa dengan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya), Quds menjadi kekhususan-Nya, Fard (tunggal) yang membedakan dengan yang lain-Nya, hakikat Dzat-Nya tak terjangkau oleh prasangka para hamba-Nya, hanya Ilahiyyah dan Rububiyyah-Nya yang membedakan antara Diri-Nya dan mahluk-Nya termasuk diri al-Hallaj. Menurutnya tidak ada satu makhluk pun dari ciptaannya yang menyerupai-Nya.
Dalam thawasin at-Tauhid ia mengatakan:
والحق واحد، أحد، وحيد، موحَّد. والواحد والتوحيد (في ... ) و (عن ... )
“Allah al-Haqq adalah Yang Esa, Tunggal, Yang Sendirian, Yang Diesakan. Allah Yang Esa dan Keesaan-Nya (dalam: … (Dzat, Sifat dan Perbuatan)) dan (jauh dari: ... (sekutu dan keserupaan dengan mahluk-Nya)).”
Masih dalam thawasin at-tauhid, ia mengatakan bahwa tauhid adalah Sifat yang dimiliki al-Muwahhad (Tuhan Yang Esa), bukan sifat bagi al-Muwahhid (manusia; yang mengesakan-Nya), artinya Tuhan itu Esa dan tetap Esa sekalipun tidak diesakan oleh mahluk-Nya. Ia menyatakan sebagai berikut:
التوحيد صفة الموحَّد، لاصفة الموحِّد
“Tauhid adalah Sifat bagi (Tuhan) Yang diesakan, bukan sifat (bagi) mengesakan.”
Dari pernyataan-pernyataannya di atas, dapat dipahami, bahwa menurutnya Allah itu memiliki Sifat-sifat. Dan Sifat-sifat itu adalah hakiki. Dengan Sifat-sifat itulah Dia disifati. Hanya saja al-Hallaj tidak merinci sedemikian rupa, sehingga jenis-jenis dan jumlah Sifat yang dimiliki Allah dapat diketahui dengan pasti sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli Ilmu Kalam di mana mereka membagi Sifat Allah ke dalam dua kelompok yaitu Sifatudz-Dzat (Sifat-sifat bagi Dzat Allah) dan Sifatul-Af‘al (Sifat-sifat bagi Perbuatan Allah), selain itu kalangan Asy‘ariyah dan Maturidiyah memetakan Sifat Allah menjadi tiga, yaitu Sifat wajib, mustahil, dan jaiz.
Menurut al-Hallaj, Sifat-sifat Allah itu bukan jisim dan bukan pula jauhar. Allah memiliki Pendengaran, Penglihatan, Wajah, dan Tangan, tapi tidak seperti pendengaran, penglihatan, wajah, dan tangan mahluk. Pengertian semacam ini disampaikan oleh al-Hallaj sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Nashr, bahwa ia mendengar al-Hallaj berkata: “Segala sesuatu maka tetaplah merupakan hal yang baru (yang diwujudkan Allah), karena Qidam (terdahulu tanpa permulaan) adalah untuk-Nya. Sesuatu (mahluk) yang penampakannya melalui jisim, maka gejala akan selalu menyertainya.” Jadi menurutnya Sifat-sifat Allah itu tidak membutuhkan bagian atau anggota tubuh seperti mahluk-Nya. Sifat Allah itu bukan Dia dan bukan selain Dia, sebagaimana ia mengatakan:
“Jika aku mengatakan bahwa al-Ism (Nama) dan al-Musamma (yang dinamai) adalah satu, lalu apa makna tauhid?”
Arti dari Itsbatus-Shifat (menetapkan Sifat-sifat) pada Allah swt., menurutnya, bukan Allah itu membutuhkan sifat dan Dia baru bisa melakukan atau berbuat sesuatu setelah memilikinya, melainkan yang dimaksud adalah meniadakan negasinya dan sekaligus menetapkan (sifat) itu sendiri pada-Nya, serta sifat tersebut terlaksana dengan-Nya. Dengan demikian maka makna dari pada Ilmul-lah (pengetahuan Allah ) bukan untuk menafikan jahl, melainkan menetapkan Ilm itu sendiri pada-Nya. Begitu juga Qudrah (kuasa) bukan untuk menafikan ‘Ajz (tidak berdaya) dari-Nya, akan tetapi untuk menetapkan Qudrah itu sendiri pada-Nya. Berbeda dengan manusia, Ilm yang ada pada manusia berfungsi menafikan jahl yang ada pada dirinya. Sedangkan jahl bagi Allah merupakan sesuatu yang mustahil. Jadi Sifat-sifat (misalnya: ilm dan jahl) yang ada pada manusia merupakan lisan al-hujjah (bahasa argumentasi) atas tetapnya Sifat-sifat Allah swt. Artinya, manusia juga mengetahui melalui ketidaktahuannya. Padahal ketidaktahuan (jahl) merupakan hijab atau tabir pengetahuan, sedangkan ilm atau ma‘rifah berada di balik hijab tadi.
b. Syari’at, Hukum Fiqh, dan Persoalan Ibadah Praktis
Dalam tataran syariat dan ibadah praktis, al-Hallaj adalah orang yang sejak dini telah hafal al-Qur’an dan mengerti akan kandungannya, menguasai masalah-masalah fiqih, memahami Hadis, khabar dan sunnah, menjaga ibadah shalatnya termasuk yang sunnah di waktu malam dan puasa di siang harinya. Ini yang pernah dikatakan Ibnu Suraij ketika ia ditanya oleh al-Wasithi sebagaimana berikut:
Al-wasithi berkata: Saya bertanya kepada Ibnu Suraij: “Apa pendapatmu mengenai al-Hallaj?” Ia menjawab: “Kalau saya mengetahui bahwa al-Hallaj adalah orang yang hafal al-Qur’an, mengerti kandungannya, piawai dalam bidang fiqh (hukum Islam), menguasai Hadis-hadis Nabi, akhbar (berita dari atau tentang) sahabat, dan as-Sunnah. Ia selalu berpuasa sepanjang tahun, menghidupkan waktu malam dengan shalat...”
Dari Khaurawizad bin Fairuz al-Baidhawi -- tetangga dan yang paling dekat dengan al-Hallaj--berkata, bahwa Al-Hallaj berniat (melaksanakan) puasa sejak awal Ramadhan dan mengakhiri puasanya pada saat hari Raya tiba, setiap malam dari malam-malam Ramadhan itu, ia mengkhatamkan al-Qur’an dalam dua rakaat, di mana setiap harinya ia melakukan shalat sunnat sebanyak dua ratus rakaat. Ketika hari Raya tiba, ia mengenakan pakaian berwarna hitam dan mengatakan kepada orang banyak: “Inilah pakaian orang yang tidak diterima amal ibadahnya.”
Dalam kehidupan sehari-hari al-Hallaj menjalani ajaran sufisme dengan ketat. Kadang-kadang cara hidup dan ibadah yang dilaksanakan tampak terlalu berat dan tidak mungkin dikerjakan orang lain. Al-Makki menyatakan bahwa ia tidak sanggup melakukan seperti yang dikerjakan murid-murid al-Hallaj, apalagi guru mereka. Ahmad bin Kawkab bin ‘Ar al-Wasithi, salah seorang muridnya sebagai berikut:
“Saya berguru pada al-Hallaj selama tujuh tahun. Dalam waktu sepanjang itu, saya tidak pernah makan dengan lauk kecuali garam dan cuka. Tidak ada sesuatu di atas kepalanya kecuali selembar kain kerudung. Ia tidak pernah tidur di waktu malam karena sibuk mengerjakan ibadah shalat dan dzikir, kecuali sebentar pada siang hari.”
Sulit untuk dikatakan bahwa al-Hallaj adalah mufarrith (orang yang sembrono) dalam hal ibadah, karena ia memahami fikih dan selalu menjalankan syariat. Kalau dalam menjalankan praktik ibadah, pada dirinya terkesan sangat berat sehingga sulit diikuti dan ditiru orang lain, bukan berarti ia telah keluar dari syariat, melainkan hal itu merupakan pilihan dirinya. Ia adalah tipe orang yang sangat keras mendidik dirinya. Dalam hal ini, ia pernah mengungkapkan kepada Abu Ishaq al-Halwani dalam sela-sela nasihatnya sebagai berikut:
“Adapun yang dimaksud dengan Bathin al-Haqq, maka zhahir-nya adalah syariat. Barangsiapa mencari hakikat melalui zhahir syariat, maka akan tersingkap baginya bathin syariat dan bathinnya adalah Ma‘rifat Billah (makrifat kepada Allah)…. (kemudian al-Hallaj melanjutkan nasihatnya) “Wahai anakku! Aku akan memberitahukan kepadamu, bagaimana aku telah mencari hakikat melalui zhahir syariat. Aku tidak pernah bermadzhab pada madzhab seorang imam dari kalangan imam mujtahid secara utuh, melainkan secara selektif aku mengambil yang terberat dari setiap ajaran madzhab-madzhab yang ada dan sampai sekarang aku masih tetap seperti itu. Anakku! Sama sekali aku tidak pernah melakukan shalat fardhu kecuali sebelumnya aku betul-betul sudah mandi, kemudian berwudhu….
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa melaksanakan ibadah, seperti shalat, dzikir, puasa, haji, dan ibadah-ibadah yang lain, merupakan suatu keniscayaan praktis yang tidak pernah ditinggalkan oleh kaum sufi, termasuk al-Hallaj, karena hal itu merupakan sarana menuju kepada Allah swt. Ketika ibadah praktis diartikan sebagai sebuah sarana, maka di balik itu ada sesuatu yang ingin dicapai sebagai sebuah tujuan, yaitu Allah yang menjadi tujuan dari setiap ibadah.
Dalam tataran ideologis, pemaknaan terhadap “sarana” dan “tujuan”, seringkali mendatangkan pemahaman yang rancu ketika salah satu dari keduanya harus ditetapkan sebagai fokus, sehingga para ahli hukum Islam lebih memperhatikan yang pertama daripada yang kedua, karena yang pertama lebih mudah diukur dengan ukuran-ukuran formal seperti syarat, rukun, sah, dan batal sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariat. Sedangkan yang kedua, merupakan aspek internal yang bersifat spiritual, tidak dapat diukur dengan ukuran-ukuran formal, karena hal ini erat sekali hubungannya dengan cita rasa batin, seperti kesejukan hati (qurratul-‘ain), cinta, rindu, ketenteraman, kedamaian dengan Sang Kekasih, rasa tidak ingin berpisah, dan bahkan ingin selalalu tetap dengan-Nya. Terkait dengan ibadah sebagai sarana dan bukan tujuan, mengingatkan pada sabda Nabi saw., sebagai berikut:
عن أنس (ض) قال، قال رسول الله (ص): حبب إلي من الدنيا النساء والطيب، وجعلت قرة عيني في الصلاة. (رواه أحمد)
“Dari Anas, r.a., ia berkata, Rasulullah saw. Bersabda: Dijadikan sebagai kesenangan bagiku dari dunia; para wanita, minyak wangi, dan dijadikan kesejukan hatiku ada di dalam shalat.”
Melalui Hadis di atas, Nabi saw. menjelaskan apa yang dirasakan ketika ia berada dalam shalatnya, bahwa shalat itu bukanlah qurratul-‘ain (kesejukan hati), karena Nabi tidak mengatakan وجعلت الصلاةُ قرةَ عيني , (dan shalat itu dijadikan sebagai kesejukan hatiku), akan tetapi ia mengatakan وجعلت قرة عيني في الصلاة (dan dijadikan kesejukan hatiku ada di dalam shalat). Dengan demikian, ibadah shalat merupakan sarana untuk memperoleh kesejukan hati. Atau dengan kata lain bahwa qurratul-‘ain adalah sesuatu yang ingin dicapai dari sebuah interrelasi yang dilakukan oleh setiap orang yang shalat ketika sedang shalat.
Ketika orang yang sedang melaksanakan ibadah, misalnya shalat, secara tiba-tiba ia dikuasai oleh rasa sejuknya hati dalam beraudiensi, cinta, rindu, tentram, damai dalam kasih-Nya, tidak ingin berpisah, dan bahkan ingin selalalu tetap dengan-Nya, maka ia tidak lagi memiliki kemampuan untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan formal ibadah yang dilakukan. Nabi saw., juga pernah beberapa kali mengalami kondisi seperti ini. Suatu ketika dia melaksanakan shalat Dhuhur hanya dua rakaat. Salah seorang sahabat yang biasa dipanggil dengan nama Dzal-Yadain menanyakan kepadanya: “Apakah Tuan lupa atau Tuan Meng-qashar-nya?” Dia menjawab: “Aku tidak lupa dan juga tidak meng-qashar-nya.” Lalu ia mengatakan: “Ya, Tuan lupa.” Maka Nabi berdiri dan shalat dua rakaat kemudian mengakhirinya dengan salam. Kondisi yang dialami Nabi seperti itu, bukan karena dia sibuk memikirkan urusan dunia dan membawanya ke dalam shalat, melainkan kesejukan hati yang dirasakan ketika bersama Allah melenyapkan perhatiannya pada hal-hal yang bersifat ekstrinsik dan formal. Demikian pula yang terjadi pada kaum sufi ketika mereka ta‘asysyuq (tertambat hatinya) kepada Allah swt. di tengah-tengah ibadah yang dilaksanakannya.
AKHIR KEHIDUPAN YANG TRAGIS
Pada tahun 309 H, al-Hallaj diajukan ke pengadilan untuk yang kedua kalinya dengan alasan bahwa ia mengajarkan syariat yang bertentangan dengan ajaran Islam dan dianggap mengaku sebagai Tuhan. Mengenai materi tuduhan, sebagaimana diriwayatkan bahwa seseorang telah datang kepada Abu Bakar Mumsyad dengan membawa sebuah tas yang tidak pernah ditinggalkannya. Ketika diperiksa, di antara isinya terdapat sebuah surat dari al-Hallaj yang diawali dengan kalimat sebagai berikut; “Dari ar-Rahman ar-Rahim kepada fulan ( من الرحمن الرحيم إلى فلان)”. Hal ini kemudian dilaporkan ke Bagdad, dan ketika ditunjukkan padanya, sufi itu mengakui bahwa itu merupakan tulisan tangan dirinya. Namun ia menolak kalau dikatakan, bahwa ia mengaku sebagai Tuhan. Sebab yang sebenarnya mengerjakan tulisan itu adalah Tuhan yang memakai diri dan tangannya sebagai alat, sedang ia sendiri ketika itu tidak menyadarinya, karena sedang berada dalam keadaan tidak sadar (sakr). Keadaan demikian ini disebutnya dengan istilah khusus yaitu ‘Ayn al-Jam’ (عين الجمع).
Dalam persidangan itu diputuskan bahwa al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ada empat hal yang dituduhkan padanya sebagai dasar dari alasan untuk menetapkan vonis tersebut. Pertama ialah bahwa ia mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah yang memberontak. Kedua ia dinyatakan bahwa sebagian pengikut menganggapnya memiliki sifat ketuhanan. Ketiga adalah ucapannya Ana al-Haqq (أنا الحق). Keempat ia dianggap telah mengajarkan bahwa ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima itu tidak wajib (tidak penting).
Keterlibatan al-Hallaj dalam gerakan Qaramitah berawal dari kecenderungannya pada kaum Zanji yang menentang kezaliman. Setelah pemberontakan mereka dapat ditindas oleh pemerintah Abbasiyah, mereka bergabung dengan sekte tersebut. Selanjutnya,ia menjalin hubungan dengan salah seorang propagandis terkemuka dari golongan itu, dan inilah yang dituduhkan padanya ketika ditangkap pada tahu 301 H. Pemerintah yang berkuasa telah menganggap bahwa kekacauan yang ditimbulkan kelompok ini sangat serius dan dapat membahayakan stabilitas maupun kelanjutan kekuasaannya. Mereka dengan segala upaya berusaha untuk menumpasnya. Karena itu, siapa pun yang dianggap terlibat atau memiliki hubungan erat dengan gerakan tersebut, tak ayal lagi mesti akan dihukum dengan berat. Pada diri al-Hallaj, mereka menemukan hal-hal yang dapat dikategorikan dalam masalah subversif tersebut.
Mengenai tuduhan kedua, bahwa sebagian pengikutnya telah menganggapnya memiliki sifat ketuhanan, tampaknya hal ini tidak tepat kalau kesalahannya dibebankan pada sufi ini. Jalal asy-Syaraf mengatakan, kalaupun memang ada di antara muridnya yang beranggapan demikian, kesalahan itu bukan menjadi tanggung jawabnya. Al-Hallaj sendiri dengan tegas menolak keyakinan yang demikian. Diriwayatkan bahwa suatu saat Hamid al-Abbas mendapatkan sekelompok orang yang mengaku sebagai pengikut sufi tersebut. Mereka mengatakan bahwa syekh mereka (al-Hallaj) memiliki sifat-sifat ketuhanan dan dapat menghidupkan orang mati. Ketika hal ini dikemukakan padanya, ia membantah keras dan berkata: “Saya berlindung kepada Tuhan dari pengakuan ketuhanan atas kenabian. Saya hanyalah manusia yang menyembah Allah dan memperbanyak puasa, shalat serta perbuatan baik. Tidak kuketahui selain itu”.
Masalah ketiga, ungkapan Ana al-Haqq (أنا الحق) yang dianggap sebagai indikasi bahwa ia seolah-olah mengaku sebagai Tuhan, memang pernah diucapkannya. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa kalimat itu dikatakannya ketika ia dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya (sakr). Dalam suasana demikian, apa yang diperbuat atau diucapkan berada di luar pengetahuannya. Semua itu adalah Tuhan yang mengerjakan atau mengatakan memakai jasmani dan lidahnya sebagai sarana. Menurut al-Gazali, sufi yang sedang mengalami sakr hanya Tuhan saja yang diingat, dituju dan disadarinya. Ia sepenuhnya dikuasai Tuhan dan apa yang dilakukan atau diucapkannya merupakan manifestasi dari keadaan yang dialami ketika itu. Oleh karena itu, perkataannya harus dirahasiakan dan tidak dikemukakan.
Dengan demikian, apa yang dikatakannya, yang terjadi di luar kesadarannya, tidak dapat dijadikan petunjuk bahwa ia dengan sadar telah mengaku sebagai Tuhan. Kalaupun ini dianggap sebagai suatu kesalahan, hanyalah karena ia mengungkapkannya di depan orang. Padahal, seperti kata al-Gazali, kalimat-kalimat seperti itu hendaknya dirahasiakan dan tidak dikemukakan kepada orang lain.
Sedangkan yang keempat, ibadah haji tidak wajib, hal ini sebenarnya berkaitan dengan tafsiran batin yang dicapainya. Penafsiran dengan corak yang seperti ini merupakan hal yang biasa di kalangan para sufi. Selain al-Hallaj, banyak syekh yang lain yang juga memberikan makna seperti itu. Misalnya al-Junaid (w. 298 H.) yang juga dikenal sebagai ahli fikih dan ahli Hadis, memiliki tafsiran batin tersendiri dari ibadah haji. Baginya hal terpenting dari rukun Islam yang kelima itu adalah makna spiritual dan bukannya aktivitas fisik yang dilakukan mereka yang menunaikannya. Tanpa arti itu, ibadah yang dikerjakannya menjadi tidak bermakna sama sekali. Demikian juga Abu Sa’id al-Kharraj yang telah memberikan atribut berbeda dari keadaan lahir pelaksanaan shalat. Sehubungan dengan hal itu ia mengatakan: “Bila kamu mengangkat kedua tanganmu ketika takbir, maka janganlah tersirat sesuatu dalam hatimu kecuali keagungan Tuhan, dan jangan pula kamu menganggap sesuatu lebih besar dari-Nya, sehingga engkau melupakan dunia dan akhirat dalam keagungan-Nya”. Menurut as-Sarraj maksud dari ungkapan itu adalah bahwa bila seseorang telah mengucapkan Allahu Akbar, sedang dalam hatinya ada sesuatu selain Tuhan, maka ia tidak benar dalam perkataannya tersebut.
Ibadah secara fisik itu tetap wajib dikerjakan, karena semuanya ini merupakan perintah Tuhan. Namun, bagi para sufi, pelaksanaannya tidak sekadar itu. Mereka cenderung bersikap bahwa penghayatan ibadah itu dengan batin akan lebih sempurna ketimbang hanya secara fisik saja. Inilah sebenarnya yang dimaksud al-Hallaj dan para sufi lain dengan ajaran-ajaran yang kelihatannya agak berbeda.
Memperhatikan hal-hal di atas, tampaknya tuduhan pertama merupakan alasan yang paling kuat yang mendasari penetapan hukum bagi al-Hallaj. Sedangkan yang lainnya hanya merupakan tuduhan tambahan yang bagi para penguasa itu dianggap tidak begitu berpengaruh terhadap kekuasaan mereka. Dzun-Nun al-Mishri (w.245 H.) juga pernah dituduh mengajarkan hal-hal yang menyeleweng. Berdasarkan laporan para ulama, ia dipanggil ke istana. Setelah diadakan tanya jawab, maka ia dianggap tidak bersalah dan kemudian dibebaskan. Walaupun demikian, keberatan-keberatan para ulama fikih atas ajaran dan ucapan al-Hallaj, sebagaimana yang dituduhkan itu, tetap juga menjadi pendukung yang menguatkan vonisnya.
Pada hari Selasa tanggal 2 Dzul-Qa’dah 309 H., hukuman bagi al-Hallaj dilaksanakan. Pertama, ia harus menjalani hukuman cambuk sebanyak seribu kali. Kemudian tangan dan kakinya dipotong , dan selanjutnya ia disalib dan dipancangkan di tempat pelaksanaan hukuman. Keesokan harinya ia diturunkan dari tiang salib dan kepalanya dipenggal, badannya dibakar dan abunya dibuang di sungai Tigris. Sedangkan kepalanya dipancangkan di pagar penjara, tangan dan kakinya digantungkan di sebelahnya.
Beberapa ulama berpandangan, bahwa keputusan ekskusi yang diambil penguasa atas al-Hallaj tidak dapat dibenarkan menurut syariat Islam. Ibrahim bin Syaiban, berkata: Saya menemui ibnu Suraij pada hari pelaksanaan ekskusi al-Hallaj, dan bertanya kepadanya: “Wahai abu al-Abbas! Apa komentarmu terhadap fatwa para ulama tentang ekskusi yang dijatuhkan kepada orang ini?” Ia menjawab: “Barang kali mereka itu lupa akan firman Allah swt.:
أَتَقْتُلُونَ رَجُلاً أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ )غافر: 28(
“Apakah kalian akan membunuh seseorang yang mengatakan: Tuhanku adalah Allah” (Q.s. Ghafir: 28)
PENUTUP
Mengahiri tulisan ini, ada baiknya bila dikenang pernyataan al-Hallaj tentang tasawuf. Abu bakar asy-Syibli, berkata: Ketika kedua tangan dan kaki al-hallaj sudah terpotong dan ia masih berada di atas tiang salib, saya datang dan menghampirinya, lalu saya bertanya kepadanya: “Apakah tasawuf itu?” Ia menjawab: “Tingkatan tasawuf yang paling rendah (ringan) adalah sebagaimana yang kamu lihat pada hari ini.” Saya bertanya lagi: “Seperti apa tingkatan tasauf yang paling tinggi?” Ia menjawab: “Tidak ada jalan bagimu menuju ke sana, akan tetapi kamu dapat melihatnya esok pagi, karena apa yang telah aku lihat dalam rahasia Tuhan, tidak terlihat olehmu.”
Ketabahan al-Hallaj dalam menghadapi para ekskutor tampak dalam munajatnya sebagai berikut: “ Ya Allah! Sesungguhnya Engkaulah Al-Mutajalli (Tuhan Yang Telah menampakkan Diri) melalui segala arah, Al-Mutakhalli (Tuhan Yang Telah menyepikan Diri) dari segala arah. Demi kebenaran pelaksanaan-Mu atas kebenaranku dan demi pelaksanaanku atas kebenaran-Mu, sesungguhnya pelaksanaanku atas kebenaran-Mu adalah berbeda dengan pelaksanaan-Mu atas kebenaranku. Sesungguhnya pelaksanaanku atas kebenaran-Mu adalah bersifat nasutiyyah, sedangkan pelaksanaan-Mu atas kebenaranku adalah bersifat lahutiyyah, sebagaimana nasutiyyahku tenggelam dalam lahutiyyah-Mu tanpa menyatu, begitu juga lahutiyah-Mu telah menguasai nasutiyahku tanpa menyentuh. Demi kebenaran Qidam-Mu atas hadatsku, demi hadatsku yang berada di bawah jubah qidam-Mu. Berilah aku kemampuan menyukuri nikmat ini, nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku, nikmat yang dapat melenyapkan segala kecemburuanku terhadap apa yang telah Engkau singkap (perlihatkan) kepadaku melalui tempat-tempat munculnya wajah-Mu. Engkau telah mengharamkan bagi selain diriku apa yang telah Engkau perbolehkan bagiku untuk melihat rahasia-rahasia-Mu yang tersimpan. Ya Allah! Mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, sedang berkumpul untuk membunuhku, mereka melakukannya karena fanatik atas agama-Mu dan karena ingin dekat dengan-Mu, karena itu ampunilah mereka, seandainya Engkau buka tabir penghalang bagi mereka sebagaimana Engkau telah membukanya bagi diriku, niscaya mereka tidak akan melakukan apa yang mereka lakukan, dan begitu juga seandainya Engkau tutupi diriku sebagaimana Engkau menutupi mereka, niscaya aku tidak akan menerima ujian sebagaimana yang aku hadapi. Bagi-Mu segala puji atas apa yang telah Engkau perbuat, dan bagi-Mu pula segala pujian atas apa yang Engkau kehendaki.
Demikianlah perjalanan hidup al-Hallaj yang berakhir tragis, brutal, dan penuh kekejaman. Ia menjalani semua hukuman itu tanpa mengeluh sedikit pun. Kematiannya yang sangat menyedihkan itu telah menjadikannya sebagai martir yang tercatat dalam sejarah. Wallahu A‘lam bish-Shawab.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

A-Atsir, Ibnu, al-Kamil fi al-Tarikh, jilid ke-11, Beirut: Dar ash-Shadir, 1965.
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, Lisan al-Mizan, Beirut: Mu’assah al-‘Alami li al-Mathbuat, 1971.
Al-Baghdadi, al-Khatib, Tarikh al-Baghdad wa Madinah as-Salam, Kairo: Maktabah al-Khanaji, 1960.
‘Abdul Qader, Ali Hasan, The Life, Personality, and Writings of al-Junayd, London: Luzac & Company Ltd. 1982.
Al-Gazali, Misykat al-Anwar, Kairo: ad-Dar al-Qaumiyyah li at-Tiba’ah wa an-Nasyr, 1964.
Al-Hallaj, Akhbar al-Hallaj, diedit oleh Abd al-Hafid Muhammad al-Madani, Mesir: Maktabah al-Jundiy, 1970.
Al-Hallaj, Thawasin, diedit oleh Abd al-Hafid Muhammad al-Madani, Mesir: Maktabah al-Jundiy, 1970.
Al-Kahlani, As-Sayyid al-Imam Muhammad bin Ismail, Subulus Salam fi Syarh bulughul Maram, Bandung: Dahlan, tth.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, T.M., Pengantar Hukum Islam I, Bulan Bintang, Jakarta, 1980.
Asy-Syaraf, Muhammad Jalal, al-Hallaj, al-Sair al-Ruhi fi al-Islam, Iskandariyah: Mu”assasah ats-Tsaqafah al-Jami'iyah, 1970.
A-Syibi, Amil Mustafa, Syarh Diwan al-Hallaj, Beirut: Maktabah an-Nahdah, 1974.
Badawi, Abdur Rahman, Syakhsiyat Qaliqah fi al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1946.
Bakuyah, Ibnu,"Bidayah hal al-Husain bin Manshur al-Hallaj wa Nihayatuh, dalam Quatre Textes, Paris: Librairie Paul Geuthner, 1914.
Galib, Mustafa, al-Hallaj, al-Husain bin Manshur, Beirut: Muassasah 'Izzuddin, 1986.
Hambali, Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, Mesir: Mu'assasah Quthubah, tth., Juz 3.
Hasyim, Abdul Hafidh bin Muhammad Madani, Muqaddima ath-Tab’ah al-Ula fi Ahbar al-Hallaj, Mesir: Maktabah al-Jundiy, tth.
Katsir, Ibnu, al-Bidayah wa an-Nihayah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987.
Mahmud, ‘Abd al-Halim, Zu an-Nun al-Mishri, Kairo: dar asy-Sya’b, tth.
Massignon, Louis, and Paul Kraus, Akhbar al-Hallaj, Paris: Librairie Philosophique, 1957.
_______, (editor), Akhbar al-Hallaj, Paris: Librairie Paul Geuther, 1912.
_______, The Passion of al-Hallaj, Mystic and martyr of Islam, terjemah ke dalam bahasa Inggris oleh Herbert Mason New Jersey: Princeton University Press, 1982.
_______, Al-Hallaj, dalam First Encyclopaedia of Islam, diedit oleh M. T. Hautsma vol. 3, Liden: E.J. Brill 1987.
¬¬_______, Arba'at an-Nusus, Quatre Textes inedits Relatfs a la Biographie d'al-Husyan bin Mansur al-Hallaj, Paris: Libaririe Paul Geuther, 1914.
Makarim, Sami, al-Hallaj, fi Ma Wara'a al-Ma'na wa al-Khatt wa al-Lawn, London: Riad el-Rayyes Books, 1989.
Miskawayh, Abu Ali Ahmad bin Muhammad, Tajarib al-Umam, Kairo: Matba’ah Syikah at-Tamaddun ash-Shina'iyyah, 1914.
Qaththan, Manna‘, Khashaish at-Tasyri‘ al-Islamie dalam majalah Nadwah al-Muhadharat, Rabithah al- ‘Alam al-Islamie, 1966.
Surur, Taha 'Abdul Baqi, al-Husyn bin Manshur al-Hallaj, Syahid al-Tasawuf al-Islami, Kairo: al-Maktabah al-'Ilmiyyah wa Matbu'atuha, 1961.

Baca Selengkapnya..

MAULANA MALIK IBRAHIM: PERSPEKTIF KALANGAN HABAIB

oleh: Badruddin Muhammad
I.Pendahuluan
Melacak sejarah para Wali Songo di Jawa, utamanya Maulana> Malik Ibra>hi>m, memerlukan kehati-hatian yang serius dan bukan merupakan suatu hal yang mudah dilakukan. Ini dikarenakan data-data deskriptif dalam bentuk tulisan atau daftar pustaka yang dapat dipertanggung-jawabkan jumlahnya sangat sedikit dan tidak lengkap. Sementara data verbal teramat sulit dipilah-pilah antara realitas sejarah dan yang berbau legenda.Sekalipun demikian, masih ada situs-situs yang terdapat di kota Gresik, sekitar makam dan museum benda purbakala dapat dijadikan petunjuk untuk menguak tentang hal ihwal penyiar Islam ini, disamping dari kalangan haba>ib ada juga yang dapat dijadikan informan dalam tulisan ini. Pemilihan kalangan ‘Alawiyyin sebagai informan cukup beralasan dikarenakan antara mereka masih ada yang secara kuat memegangi tradisi alu al-Bait, yang dalam hal ini memiliki alur keturunan yang sama dengan Maulana> Malik Ibra>hi>m.
Haba>ib, jama’ dari Habi>b, sebutan akrab atau gelar dalam status social bagi kalangan ‘a>lawiyyin. Mereka adalah keturunan Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW,. Identifikasi ‘Alawiyyin, ditemukan dari jalur Ahmad al-Muha>jir bin Isa> bin Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far al-Sha>diq bin Muhammad al-Ba>qir bin Ali bin al-Husain al-Syahi>d fi Karbala. Al-Imam Al-Muhajir meninggalkan Basrah tahun 317 H., menuju Madinah dan tinggal di sana selama satu tahun. Bersamaan dengan musim haji, kemudian melanjutkan perjalanannya ke selatan dan tiba di Yaman pada tahun 319 H. Keturunannya tersebar ke seluruh penjuru dunia termasuk juga ke Indonesia.
Sunan Maulana> Malik Ibra>hi>m adalah seorang wali Allah, merupakan pendahulu para wali lainnya yang tergabung dalam gerakan penyiaran Islam secara terorganisir dan disebut dengan Wali Songo. Silsilah Maulana> Malik Ibra>hi>m menggambarkan bahwa dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW., Ia adalah Maulana> Malik Ibra>hi>m bin al-Husain Jama>luddin bin Abd al-Malik al-Alawi al-Masyhu>r bi al-Faqi>h bin Ahmad al-Muha>jir bin Isa bin Zain al-‘ATulisan di bawah ini ingin memberikan gambaran tentang perjuangan dakwa, pendidikan dan kewalian Maulana> Malik Ibra>hi>m dalam pandangan beberapa Haba>ib di Jawa Timur.

II. Malik Ibrahi>m: Al-Da>’i ila> Allah; Perdagangan Media Dakwah Penuh Berkah
Menurut Ketua Yayasan Maulana> Malik Ibra>hi>m Gresik, Habib Hasan Shiha>b, Maulana> Malik Ibra>hi>m sebagai waliyullah tampak sekali dari cara-cara mengisi kehidupannya dengan berdakwah. Ia singgah di beberapa daerah atau tempat di mana antara yang satu dan lainnya saling berjauhan dan bahkan harus mengarungi beberapa pulau dengan armada perahu yang mengkin pada waktu itu dapat dikatakan cukup canggih. Namun bila melihat beberapa situs peninggalan masyarakat maritim pada tahun yang sama dan dibandingkan dengan kendaraan laut sekarang sesungguhnya perahu Kanjeng Sunan cukup sederhana, karena rintangan ombak, dan angin, badai beratnya sama dari dulu sampai sekarang, bahkan rintangan navigasi jaman dulu tentunya lebih sulit karena hanya mengandalkan petunjuk bintang dan buruj (rasi)nya, lebih sulit dari itu adalah rintangan prompak laut. Menurut beberapa cerita dan dibuktikan dengan situs-situs sejarah, sesungguhnya Maulana> Malik Ibra>hi>m bukan hanya berdakwah di pulau Jawa saja, akan tetapi ia juga telah mengunjungi beberapa pulau lainnya di Nusantara ini, antara lain Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sedangkan Sumatera dan semenanjung Malaka sudah barang tentu disinggahi karena itu merupakan rute perjalanan laut menuju pulau Jawa.
Tidak benar, bila menurut sementara orang bahwa Islam datang ke Indonesia ini hanyalah agama yang disebarluaskan dan diajarkan secara sambil lalu oleh para pedagang yang tadang dari Gujarat dengan niat murni berdagang. Mengapa demikian? Karena kalau kita memperhatikan kelas sosial orang seperti Maulana> Malik Ibra>hi>m, beliau adalah termasuk keturunan bangsawan. Dimana kaum bangsawan dari dulu sampai sekarang tidak lazim memjalankan perniagaannya sendiri, tetapi ia memiliki para pekerja atau pegawai dan karyawan yang piawai menjalankan usaha perekonomian, termasuk perniagaan antar pulau. Oleh sebab itu menurut hemat saya (Habib Hasan. Red), kesediaan Maulana> Malik Ibra>hi>m meninggalkan tanah kelahirannya, menyeberangi lautan, kemudian menetap di desa Leran Gresik merupakan suatu bukti bahwa hidupnya hanya untuk berdakwah, mengajak orang lain kepada kebenaran Islam, memperkenalkan sistem ketuahan yang benar, yaitu meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah SWT., Allah Tuhan yang Esa, meyakini kerasulan Muhammad SAW., dengan segala Wahyu yang disampaikannya. Tugas dakwah inilah yang sesungguhnya mengisi kehidupan Maulana dalam kesehariannya. Atau dengan kata lain bahwa segala tindakan, perbuatan dan ucapan Maulana> Malik Ibra>hi>m sebagai waliyullah hanyalah; tindakan, perbuatan dan ucapan dakwah, tidak untuk kepentingan lainnya. Dengan demikian maka berdagang bagi Maulana merupakan bentuk kamuflase atas dakwah yang merupakan misi utama dalam hidupnya.
Diperkuat dengan pernyataan Prof. Dr. Habib Muhammad Baharun, SH., MA., Mengapa berdagang digunakan sebagai kamoflase dakwah? Karena di perniagaan itu terdapat berkah yang banyak, antara lain berdagang merupakan media interaksi sosial yang sangat efektif. Melalui perdagangan komunikasi sosial lebih mudah bila dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Setidaknya pada saat yang bersamaan kedua belah pihak – antara penjual dan pembeli – kelihatan harmonis karena saling membutuhkan. Ada kemesraan di antara keduanya pada saat terjadi tawar menawar dan transaksi. Inilah yang disebut berkah karena berdagang bagi Maulana> Malik Ibra>hi>m merupakan media yang paling efektif untuk misi dakwahnya. Di samping itu, Rasulullah SAW., menyatakan bahwa pertolongan Allah SWT., dapat diperoleh seseorang melalui perniagaan. Sebagaimana sabda Beliau SAW.,:
وَابْتَغِ عَلَى نَفْسِكَ وَعِيَالِكَ حَلالا، فَإِنَّ ذَلِكَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ عَوْنَ اللَّهِ فِي صَالِحِ التِّجَارَةِ". الحديث
Artinya: Carilah rizki yang halal untuk dirimu dan keluargamu, karena itu merupaka jihad di jalan Allah SWT,. Dan ketahuilah bahwa pertolongan Allah itu terdapat pada perdagangan yang baik (benar). (al-Hadits)
Jadi, statemen yang menyatakan bahwa Maulana malik Ibrahim berprofesi sebagai pedagang dan sambil lalu berdakwah adalah jauh dari kebenaran. Beliau adalah keluarga ‘Alawi yang kakeknya adalah al-faqi>h al-Muqaddam, Sha>hib al-Mirba>th di kota Tarim Yaman, meninggal di sana dan sampai sekarang makamnya banyak di ziyarahi orang. Melihat cara berdagang keturunannya atau Haba>ib yang ada di Yaman umumnya, sampai sekarang, mereka tidak serius dalam berdagang. Toko-toko yang ada di kota Tarim, jam bukanya tidak pernah pasti, sebentar buka sebentar tutup, bahkan lebih banyak tutup dari pada bukanya. Jadi berdagang bagi mereka bukan tujuan utama dalam hidup, mereka tidak mempersepsikan harta sebagai mata>’ (sarana memperoleh kesenangan) hidup, tapi sarana hidup sebagai balagh (bekal) ibadah kepada Allah SWT.

III. Ikhlas Mudal Utama dalam Berdakwah
Habib Zaenal Abidin bin Hasan Baharun, Pengasuh Pesantren Darul Lughah wad Da’wah Bangil mengatakan, kalau Maulana> Malik Ibra>hi>m, menjalankan dakwahnya mudah diterima oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, baik dari kalangan penguasa Majapahit maupun rakyatnya, hal itu dikarenakan keikhlasannya dalam berdakwah. Keikhlasan inilah merupakan kunci utama bagi terbukanya pertolongan- pertolongan Allah. Pertolongan Allah bermacam-macam bentuknya, antara lain; pertama, kesabaran. Sabar itu separuh dari iman. Banyak orang yang diangkat derajatnya oleh Allah sampai pada kedudukan Waliyullah, dikarenakan kesabarannya yang tercermin dalam kemuliaan ahlak, santun tehadap sesama manusia. Begitu juga semulia apapun rencana dan pekerjaan itu, kalau tidak disertai dengan kesabaran pasti akan berujung dengan kegagalan. Kalau dinyatakan berhasil, maka hasilnya tidak akan maksimal atau mengecewakan. Kedua, ikhlas menjalankan perintah Allah – sebagaimana hal itu sudah menjadi kehasan para kekasihNya, seperti Maulana> Malik Ibra>hi>m – akan menghadirkan ulum (kecerdasan) ilahiyah. Ilmu itu ada dua macam, ilmu kasbi yaitu ilmu yang diperoleh melalui proses belajar) dan ilmu wahbi atau ilmu ladunni yaitu ilmu yang diajarkan Allah secara langsung kepada hamba pilihanNya. Dengan ilmu kasbi, seseorang dapat mengetahui syariat Islam. Kerena ia telah menggunakan kemampuan daya pikirnya secara maksimal, sehingga ia dapat membedakan antara yang halal dan yang haram, antara perintah dan larangan. Sementara ilmu wahbi, ada kalanya berupa wahyu dan ini hanya khusus untuk para Nabi, juga ada kalaanya berupa ilham yang diberikan pada para Nabi dan Para waliyullah. Mengenai kebenaran dari keberadaan ilmu yang kedua ini, dinyatakan Allah dalam Q.S.: al-Baqarah: 31, Yusuf: 6 dan Yusuf: 37 dan masih banya ayat-ayat lain dalam al-Qur’an yang menunjukkan keberadaan ilmu ladunni ini. Maulana> Malik Ibra>hi>m, tentu memiliki dua ilmu ini.

IV. Kesadaran Hiterogenitas Kunci Keberhasilan Dakwah
Muhammad Baharun lebih jauh menjelaskan, bahwa kearifan Maulana> Malik Ibra>hi>m, dalam menyiarkan Islam di Nusantara (Indonesia) pada waktu itu adalah dilandaskan pada pemahaman bahwa manusia di muka bumi ini diciptakan Allah dalam berbangsa-bangsa, bersuku-suku, waja‘alna>kum syu‘u>ban wa qaba>ila lita‘a>rafu>, yang kemudian saling mengenal dan berbagi kebahagiaan dan keselamatan. Orang Jawa sudah merupakan takdir Allah bahwa dirinya lahir sebagai orang Jawa, dari rahim seorang ibu Jawa, dengan munakh al-balad (iklim dan letak giografis) yang berbeda dengan tempat lainnya. Karena itu Maulana> Malik Ibra>hi>m dan para wali songo lainnya, dalam mengajak masyarakat Jawa ke dalam Islam senantiasa mempertimbangkan kultur, adat istiadat dan tradisi orang Jawa. Kemudian secara perlahan mereka merubah masyarakat sendiri tradisi itu setelah mengetahui mana yang sesuai dengan akidah dan syariat Islam dan mana yang tidak sejalan dan yang harus ditinggalkan. Jadi tidak ada pemaksaan atau keterpaksaan dalam roses islamisasi ini. Sehingga dengan cara seperti itu dan pada saat yang bersamaan terjadi konversi (masuk Islam) secara besar-besaran, “wa raaita al-nasa jadkhuluna fi dinillahi afwaja”, Engkau telah menyaksikan orang-orang itu masuk Islam secara berbondong-bondong. Sesungguhnya sebelum – kedatangan Maulana> Malik Ibra>hi>m – itu, masyarakat Jawa sudah mengenal Islam, utamanya masyarakat yang berada di daerah-daerah atau sekitar bandar tempat singgahnya kapal dan perahu dagang yang datang dari seberang. Karena menurut catatan bahwa Islam jauh lebih dahulu telah dikenal masyarakat Jawa dari pada Islamnya mereka secara besar-besaran. Mereka mengenal Islam dari para pedagang muslim yang kesehariannya memperlihatkan bagaimana mereka memperaktikkan ajaran Islam secara kaffah, baik ketika berhubungan langsung dengan Allah atau berhubungan dengan sesama.

V. Akulturasi: Ahlak Menghargai Sasaran Dakwah
Habib Zen, panggilan akrab Habib Zaenal Abidin bin Hasan Baharun, yang setiap hari Ahad berkantor di Dar as-Shafwah Malang, sebuah kontor bagi para alumni ribath (pesantren) Syeikh Maliki di Malang menyatakan, bahwa keberhasilan Maulana> Malik Ibra>hi>m dalam menjalankan dakwahnya baik di kalangan rakyat biasa maupun bangsawan Majapahit, pada waktu itu, dikarenakan ahlaknya. Maulana> Malik Ibra>hi>m adalah dzurriyah (keturunan) Rasulullah, pada dirinya ada dam (darah) Rasulullah. Sebagaimana para dzurriyah yang ada sampai sekarang, dalam menjalankan dakwahnya masih tetap menggunakan cara-cara kakeknya, Rasulullah SAW., yaitu dengan ahlak. Ahlak adalah mudal utama dalam berdakwah. Ahlak adalah sikap dan prilaku seseorang yang tercermin ketika ia berinteraksi dengan dengan sesama dan dari status sosial yang berbeda, ketika memperlakukan alam sekitar, termasuk juga ketika berhubungan dengan Allah SWT., membutuhkan ahlak yang santun dan mulia.
Akulturasi adalah pencapaiian ahlak yang terdapat dalam metode interaksi dan dakwah para wali. Di kalangan ahl al-bait ada dua mutiara hikmah Arab yang cukup efektif dijadikan pijakan dakwah. Pertama, Ardhihim ma> kunta fi> ardhihim, artinya “Jadikanlah mereka ridha selama engkau berada di tanah air mereka.” Kata mutiara ini cukup efektif menghasilkan simpati orang lain ketika dijalankan dengan baik oleh seorang da’i. Apapun yang disampaikan seorang da’i akan diterima dengan baik karena dalam menyampaikan materi dakwahnya senantiasa mengikuti kelok-keloh liku kehidupan masayarakat sasaran dakwah tersebut tanpa harus hanyut dalam arus, akan tetapi mengukuti dan memehami arus kehidupan mereka dengan tetap memperlihatkan yang lebih baik, lebih mulia, dan tetap menunjukkan kepada kebenaran, tanpa harus memaksakan kebenaran pada saat mereka belum siap menerimanya. Artinya tidak ada paksaan dalam dakwah walisongo yang dipelopori oleh Maulana> Malik Ibra>hi>m di negeri ini. Dan, karena itu masyarakat Jawa ini, khususnya masyarakat pesisir utara pada waktu itu, setelah menimbang-nimbang apa yang dilihatnya dan diperhatikannya, dari segala yang diucapkan dan diperbuat Maulana> Malik Ibra>hi>m, mereka mau menerimanya dengan penuh kesadara dan kerelaan tanpa adanya keterpaksaan.
Kedua, Da>rihim ma> kunta fi> da>rihim. Artinya “perankanlah mereka selama engkau berada di kampung halaman mereka.” Mutiara ini merupakan paradigma meng-orang-kan orang dalam berdakwah. Sasaran dakwah juaga diberi peran dan terlibat langsung dalam aktifitas dakwah sehingga tidak ada kesan pemaksaan. Karena hakikat dakwah adalah mempengaruhi orang lain, jika yang dipengaruhi tersebut tidak terlibat dalam memainkan peran dari substansi dakwah, maka dakwah itu tidak akan efektif, bahkan bisa jadi bermuara pada kegagalan.
VI. Pesantren: Sistem Pendidikan Peninggalan Para Wali
Habib Hasan menjelaskan, bahwa berkumpul dalam suatu tempat dan kegiatan merupakan kebiasaan bagi masyarakat Jawa sebelum kehadiran Islam, baik dalam kegiatan ritual maupun lainnya seperti pendidikan ruhani dan keagamaan. Masyarakat Jawa yang masih beragama Hindu-Budha pada waktu itu sudah mengenal linkungan pendidikan yang disebut dengan wiyata mandala untuk lingkungan pendidikan dan padepokan untuk tempat para cantrik yang sedang mengembangkan kemampuan olah batin dan spiritual. Tradis seperti ini, sebagai wadah tetap dilestarikan para wali, namun pada tataran substansi dilakukan islamisasi secara bertahap. Ini namanya akulturasi, yang kemudian lahirlah apa yang sekarang disebut dengan pondok pesantren. Jadi pesantren sangat erat hubungannya dengan Wali Songo, ialah dalam perintisan berdirinya pesantren yang kemudian diklasifikasikan sebagai lembaga pendidikan tradisional di Nusantara.
Karena itu, menurut Habib Segaf bin Hasan Baharun yang juga pengasuh pesantren Darul Lughah Wad Dakwah, ciri utama dari pendidikan pesantren adalah pendekatan pembelajaran yang senantiasa menggunakan pendekatan ustawh hasanah atau pendekatan keteladanan yang baik. Rasulullah adalah uswah hasanah, yang keteladanannya diwarisi oleh dzurriyahnya, termasuk juga Maulana Malik Ibrahim, para Wali Songo, dan kiai-kiai pengasuh pesantren yang memiliki kesinambungan jalur (sanad) guru-murid dengan Wali Songo. Setiaknya, menurut Habib Muhammad Baharun, kalau sanad guru-murid sekarang tidak begitu tampak, bukan dikarenakan para dzurriyah tidak peduli dengan perjuangan Wali Songo, termasuk juga perjuangan Maulana Malik Ibrahim, akan tetapi para santri sekarang iktifa’ (mencukupkan) pada guru yang terdekat sebagai figur yang mudah diingat wejangan-wejangannya.

VII. Tanda Kewalian Maulana Malik Ibrahim
Habib Hasan Shihab mengatakan, bahwa tanda-tanda kewalian Maulana> Malik Ibra>hi>m, antara lain adalah keberadaan makammya yang sampai sekarang banyak diziarahi orang. Ziarah atau mendatangi makam para wali Allah banyak sekali manfaatnya. Antara lain; satu, mendoakan al-marhum, sambil memanfaatkan situasi spiritual religius, mereka memohon kepada Allah dengan penuh harap dan optimis Allah memberikan keberkahan sebagaimana berkah yang telah diberkanNya kepada para kekasihNya. Banyak orang yang semasa hidupnya dikira sebagai orang suci atau waliyullah, tapi begitu ia meninggal, Allah tidak menunjukkan kekaramahannya.
Hal senada juga dikatakan Prof. Dr. Muhammad Baharun, SH., MA. Gurubesar Sosiologi Agama ini menjelaskan bahwa, keberadaan Maulana Malik Ibrahin sebagai kewaliyullah tak perlu diragukan lagi. Setiap orang suci atau dalam terminologi Islam disebut waliyullah, pasti ada atsar (bekas) dari kewaliannya. Jika ada orang yang semasa hidupnya disebut-sebut sebagai wali, tapi setelah meninggal tidak ada dari karamah-karamahnya yang tampak dan bahkan sebaliknya, ia telah dilupakan orang dengan mudah, maka kewaliannya tentu disangsikan. Sementara Maulana> Malik Ibra>hi>m banyak meninggalkan hal-hal yang dapat disebut sebagai karamah, misalnya; pertama, karamah al-faath wa al-da’wah. Sebagaimana diketahui bahwa Gresik sejak zaman dahulu sudah dikenal sebagai kota pelabuhan. Di mana-mana yang namanya kota pelabuhan itu adalah kawasan yang sangat rawan dengan kekerasan, kejahatan, perjudian dan jauh dari nilai-nilai agama. Kalau kemudian Gresik sampai sekarang dapat dikatakan sebagai kota dengan masyarakatnya yang agamis, ini tentu merupakan bagian dari karamah al-fath (karamah perjuangan beliau membuka suatu kawasan non agamis mengantarkan kesadaran masyarakatnya kepada kebenaran Islam sebagai agama yang diridhoi Allah, SWT.).
Kedua, karamah al-ta’lim wa al-irsyad. Yaitu karamah perjuangannya dalam aspek pendidikan dan memberikan bimbingan bagi pengikutnya untuk merambah di jalan Allah. Di samping karamah perjuangan mengislamkan masyarakat Jawa secara besar-besaran melalui kawasan pesisir kota Gresik yang sampai sekarang masih tetap menjadi kota yang di huni oleh mayoritas kaum muslimin, karamah lainnya adalah pendidikan dan suluk, seligga beberapa muridnya juga ada yang guru besar dan mencapai derajat kewalian. Sebut saja Maulana Sunan Ampel, yang makamnya berada di kawasan Ampel Delta Surabaya. Raden Rahmat Sunan Ampel itu juga salah seorang murid Maulana> Malik Ibra>hi>m, yang kemudian juga dikenal sebagai salah seorang dari Walisembilan atau Walisogo.
Ketiga, karamah al-wilayah. Yaitu karamah yang berhubungan dengan bukti-bukti bahwa beliau adalah seorang kekasih Allah. Seseorang tidak akan meninggal sebelum Allah memperlihatkan kebaikan dan keburukannya kepada yang masih hidup. Artinya Allah tidak akan menutupi kebaikan dan kejahatan yang pernah dilakukan seseorang selama hidupnya lalu ia meninggal begitu saja. Allah akan membongkar kebaikan dan kejahatan itu, sebelum ia meninggal atau setelah meninggalnya karena hal itu merupakan ibrah (pelajaran) bagi yang lain. Semakin kuat atau semakin banyak kebaikan yang dilakukan seseorang maka semakin abadi kebaikan itu dijaga Allah untuk diperlihatkan kepada generasi berikutnya.
Kalau kemudian banyak orang yang melakukan ziarah ke makam Maulana> Malik Ibra>hi>m, ini tidak lain adalah cara Allah dalam menginformasikan kepada generasi sesudahnya – sampai sekarang – bahwa beliau adalah mujahid (seorang pejuang) di jalan Allah, orang saleh, abid (ahli ibadah), penerus perjuangan Nabi, yang seluruh hidupnya hanya diperuntukkan kepada keagungan Islam dan kejayaan kaum muslimin. Jadi ziayah kubur awliya’ dan shalihin sangat dianjurkan, karena Rasulullah sendiri melakukan hal itu semasa hidupnya. Rasulullah sering keluar rumah di malam hari mendatangi kuburan para sahabatnya di Baqi’ dan di uhud. Ziarah kubur yang dilakukan Rasulullah dapat dipahami sebagai bagian dari wasilah li al-taqqarub ila al-Allah (sarana mendekatkan diri kepada Allah). Ziarah kubur dapat membantu seseorang lebih mudah mengingat kematian. Sedangkan banyak mengingat akan kematian adalah anjuran sunnah Rasul, karena ini dapat menjadikan orang lebih waspada, hati-hati dan maksimal dalam menggunakan umur, kesehatan dan anugrah lain yang diberikan Allah kepadanya.
Sekali lagi, bukti dari sebagian karamah, pesarean (makam) Maulana> Malik Ibra>hi>m yang terletak di kota Gresik, sampai sekarang banyak di ziarahi orang. Secara umum orang-orang yang mengerti tujuan dan tatacara ziarah kubur, ketika mereka ziarah ke makam para wali, termasuk juga Maulana> Malik Ibra>hi>m, tentu mereka datang ke tempat itu (makam wali) dengan tujuan untuk mengingat akan kematian. Dalam benak peziarah pada saat berada di lokasi makam, yang ada adalah bagaimana ia pada saat meninggalkan dunia fana ini meninggal dalam keadaan husnul khatimah seperti para waliyullah yang di kunjungi makamnya. Di samping mendoakan orang yang telah meninggal sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW., mereka juga memiliki optimisme (tafa>ul) dalam doanya semoga Allah berkenan dianugrahinya, baik berupa kesalehan atas dirinya, keturunan yang saleh pula sebagamana kesalehan para kekasih Allah atau bentuk-bentu kebaikan lainnya. Suasana religious di kawasan makam para wali dapat membantu seseorang untuk lebih khusyu’ bermunajat (berbisik) kepada Allah SWT. Hal ini tidak dapat diingkari, juga tidak bisa dipaksakan kepada orang yang tidak sepaham dalam hal ini, karena ini merupakan bagian dari pengalaman spiritual seseorang ketika memilih tempat untuk bermunajat kepada Allah SWT., dengan sambil mengingat kematian di depan atau di atas kuburan orang saleh yang sudah meninggal lebuh dulu.

Baca Selengkapnya..

Kamis, 11 Juni 2009

THE PROBLEM OF RELIGIOUS LANGUAGE

Oleh:
Badruddin Muhammad

A. Pendahuluan
Barangkali bukan hanya penulis ketika di masa kecilnya, tapi hampir setiap anak yang mulai memasuki usia sekolah Taman Kanak-kanak (TK), selalu menanyakan adanya Sang Pencipta. Terlebih ketika berada dalam pangkuan ayah atau ibunya di saat di malam hari, pada saat bulan purnama, pertanyaan yang sering muncul dari seorang anak adalah: "Siapakah yang menciptakan bula?" Ketika dijawab: "Tuhan!", lalu pertanyaan berlanjut: "Siapa yang menciptakan aku?"; "Siapa yang menciptakan ayah?" terlepas anak itu mendapatkan jawaban yang memuaskan atau tidak, yang jelas pertanyaan tentang bukti-bukti adanya Tuhan sudah menjadi problem sejak masa kanak-kanak, menjadi sebuah prilaku dan cukup merisaukan hati. Pertanaan-pertanyaan semacam itu sering kali dijawab dengan logika kausalitas, dengan melogikakan Tuhan dan alam, meja dan tukang kayu dan seterusnya. Ternyata hal ini tidak dapat menyingkirkan kerisauan hati, karena kalau segala yang ada harus ada yang mengadakan maka Tuhan, yang juga ada, harus ada yang mengadakan.Ungkapan tentang "Tuhan itu ada", "Tuhan mencintai manusia", bukan hanya merupakan sebuah problem filsafat, tapi juga spikologis dan bahkan sains. Yang terakhir ini, menyatakan bahwa kognisi manusia sudah mengalamai perkembangan sedemikian pesat. Menurut August Comte (1798-1857), perkembangan pengetahuan dan pengertian (cognition) manusia semenjak – Yunani Kuno sampai abad Renaissance – bergerak secara linier mulai dari mitis, teologis, metafisik dan terakhir positif. Positivisme yang bertumpu pada akal dan pengalaman (experience), maka kebenarannya bersifat konkrit, eksak, akurat dan bermanfaat, memberikan perhatian yang tinggi terhadap dunia riil. Positivisme ini kemudian melahirkan apa yang kita sebut dewasa ini (sekarang) dengan sains modern, dimana masyarakat modrn (masyarakat industri) talah sampai pada puncak perkembangannya dengan ciri-ciri berfikir positif. Sains modern mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pengetahuan yang dapat dipercaya, dapat diuji, diverifikasi dan dibuktikan dengan eksperimen. Karena itu, sains bersifat universal. Tuhan merupakan ranah keagamaan yang bersifat subyektif dan hanya diyakini oleh orang-orang yang mempercayai akan keberadaan-Nya.
Permasalahannya sekarang, dapatkah Tuhan ditarik ke dalam perbincangan filsafat dan ilmu pengetahuan positif? Inilah sebuah tantangan baru bagi kaum beriman, sebuah pertanyaan yang diarahkan kepada ketiadaan makna beriman kepada Tuhan. Klaim seperti: Tuhan itu ada, atau Tuhan mencintai manusia, dianggap tidak ada artinya secara kognitif, karena tidak ada penjelasan yang meyakinkan.
Tulisan ini mencoba menjelaskan problem bahasa agama, setidaknya yang dialamai oleh penganut logika positivisme dengan segala penolakannya terhadap keberadaan Tuhan.
B. What is Logical positivism?
Sebelum memasuki permasalahan pokok mengenai problematika bahasa agama, di sini perlu diajukan sebuah pertanyaan mengenai sesuatu yang dapat mengusik keberadaan Tuhan yang telah diyakini adanya oleh penganut keyakinan. Sesuatu yang dimaksud adalah logika positivisme, apakah itu? Logical positivism, merupakan salah satu aliran filsafat yang dimulai oleh suatu kelompok ahli filsafat di Vienna, setelah Perang dunia I. Mereka membentuk forum kajian Vienna (Vienna Circle). Kemudian karya mereka menjadi terkenal setelah melalui karya berbahasa Inggris tulisan A. J. Ayer: Language, Truth and Logic (Bahasa, Kebenaran dan Logika) yang diterbitkan pertama kali pada 1936. Inti dari logika positivisme adalah teori verifikasi makna (The heart of logical positivism was the verifiability theory of meaning). Ada dua tipe mengenai makna pernyataan: Pertama, Preposisi analitik (Analytic propositions), yaitu sebuah kebenaran atau kesalahan sangat ditentukan oleh kalimat atau bahasa yang digunakan dalam suatu pernyataan.
Jika penulis mencontohkan tentang keberadaan Tuhan dengan preposisi analitik, di mana Allah itu berada? Mengacu pada al-Qur'an, Surat T}aha>: 5 yang berbunyi: الرحمن على العرش استوى (Tuhan Yang Maha Pengasih di atas 'arasy-Nya bersemayam). Menurut pemahaman penganut faham Wahabi yang selalu mengkalim sebagai pengikut al-Salaf al-Sa>lih}, bahwa mengetahui di mana Allah itu berada adalah wajib hukumnya, karena hal itu merupakan bagian dari akidah. Orang yang tidak mengetahui di mana Allah itu berada, maka ia akan tinggal sia-sia, tidak mengetahui posisi Tuhan yang disembahnya, dan kerena itu ia tidak dapat melaksanakan ibadah (pengabdian) kepada-Nya dengan pasti. Kalimat Istawa> menurut pengertian faham Wahabi adalah 'Ala> wa Irtafa'a (atas dan tinggi). Artinya ketika ditanya: Di mana Allah berada?, maka jawabnya adalah: Allah itu ada di atas (langit) sana. Pemaknaan ini diperkuat oleh ayat-ayat al-Qura'an yang lain maupun hadis-hadis Nabi.
Sementara menurut faham al-Asy'a>riyyah, Allah itu tidak menempati ruang dan waktu. Bagitu juga Su>fiyah, salah satunya adalah Al-Hallaj, mengatakan
Kedua, Preposisi sintetik (Synthetic propositions), yaitu kebenaran atau kesalahan ditentukan oleh pengalaman (sebelumnya). Sebagai sebauah ilustrasi, penulis ceritakan kisah nyata yang pernah dialami.
Di masa kecil, pada saat masih duduk di bangku SD kelas tiga, saya memiliki teman baru yang datang dari luar daerah. Mandi di sungai bersama-sama merupakan kegemaran anak-anak desa. Di suatu siang, sepulang dari sekolah saya diajak teman-temanku mandi bersama di sungai, begitu juga teman baruku. Di tengah asiknya mandi, tiba-tiba teman baruku berteriak, meneriakkan dua, dua, dua, si Mamat punya dua, Mamat punya dua! Semua pada tercengan tidak memahami apa yang dimaksud. Ternyata teman baruku itu pada saat asik menyelam, tanpa sengaja menyentuh testis (buah pelir) si Mamat yang jumlahnya dua. Teman baruku itu merasa bahwa Mamat memiliki buah pelir yang tidak normal, lebih dari satu. Namun setelah dilakukan verifikasi ternyata semua memiliki dua buah testis, hanya dirinya yang mempunyai satu.
Jadi dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa pengalaman di masa lalu sangat menentukan persepsi sistem pengetahuan seseorang, dan mungkin juga kelompok, terhadap benar dan salah atau keliru. Begitu juga dalam bahasa agama, banyak keyakinan tentang adanya Tuhan dan bagaimana penganutnya memformulasi tentang Tuhan tersebut berdasarkan pengalaman – orang-orang – sebelumnya.
Menurut pandangan Evans, pernyataan atau bahasa agama yang bersifat analytic statements tidak memberikan banyak informasi, kecuali hanya tetang bahasa. Unt memperoleh informasi tetang realitas sebuah preposisi harus syntetic sehingga dapat diverifikasi secara empirik. Sebagaimana ia menyatakan:
"Analytic statements do not give us any information but about language. To give information about reality, a proposition must be synthetic and therefore must be empirically verifiable."
C. Are Religious Beliefs Falsifiable?
Mengenai pernyataan agama seperti Tuhan itu ada, maka logika positivisme telah melakukan penolakan terhadap pernyataan tersebut dan pernyataan yang semisal dengannya. Ketika sebuah pernyataan tidak dapat diverifikasi, maka hal itu tidak lebih dari sebuah pernyataan imajinier atau pernyataan yang memberikan peluang untuk ditiadakan secara substansial. Dalam hal ini menurut Antony Flew, banyak orang yang terkecoh dalam meyakini ajaran agama, dan ini benar-benar terjadi, sekalipun pada kenyataan (implikasi)nya tidak dapat disalahkan. Keyakinan agama tidak selalu pernyataan kognitif, sebab keyakinan tersebut tidak dapat disalahkan, karena keyakinan semacam itu tetap memiliki makna. Berikut ini pernyataan Antony flew:
Basically right about the falsifiability of religious beliefs. But wrong about the implications of this. Religious beliefs are not really cognitive assertions because they are not falsifiable, but meaningful. (Keterkecohan keyakinan agama pada dasarnya adalah benar, tetapi salah tetang implikasinya. Keyakinan agama tidak selalu pernyataan kognitif, sebab keyakinan tersebut tidak dapat disalahkan. Namun – keyakinan semacam itu – memiliki makna.)
Jadi, Apakah keyakinan agama dapat dipersalahkan? (Are Religious Beliefs Falsifiable?). Sekali lagi, menurut Flew, Pernyataan agama tidak bermakna secara kognitif (Religious assertions were not cognitivcly meaningful). Dalam hal ini ia menyampaikan ilustrasi berikut ini:
Once upon a time two explorers came upon a clearing in the jungle. In the clearing were growing many flowers and many weeds. One explorer says, “Some gardener must tend this plot.” The other disagrees, “There is no gardener.” So they pitch their tents and set a watch. No gardener is ever seen. “But perhaps he is an invisible gardener.” So they set up a barbed-wire fence. They electrify it. They patrol with blood¬hounds... But no shrieks ever suggest that some intruder has received a shock. No movements of the wire ever betray an invisible climber. The bloodhounds never give cry. Yet still the Believer is not convinced. “But there is a gardener, invisible, intangible, insensible to electric shocks, a gardener who has no scent and makes no sound, a gardener who comes secretly to look after the garden which he loves.” At last the Skeptic despairs, “But what remains of your original asser-tion? Just how does what you call an invisible, intangible, eternally elusive gardener differ from an imaginary gardener or even from no gardener at all?”
Jadi bagi yang percaya (believer), mengatakan bahwa Tukang Kebun (gardener) itu ada, dan – Dialah Tuhan Yang – tidak dapat dilihat (invisible) yang datang secara rahasia untuk memelihara kebunnya yang ia cintai (a gardener is invisible who comes secretly to look after the garden which he loves). Sedangkan bagi yang tidak percaya atau setidaknya bagi yang ragu (skeptic), termasuk Flew, maka Tukang Kebun yang tidak dapat dilihat sama dengan Tukang Kebun imajiner atau bahkan tidak ada Tukang Kebun (Invisible Gardener is similar to an imaginary gardener or no gardener at all).
Dari keteraturan kebun yang menakjubkan itu menunjukkan bahwa alam ini tidaklah independen, akan tetapi tergantung dan dikendalikan oleh sebuah sistem terpadu yang transenden, yang bertanggung jawab atas kelangsungan alam, yang beroprasi melalui prisip ketidakpastian pada komponennya yang paling dasar. Sistem terpadu inilah yang dalam bahasa agama disebut hukum alam (sunnatullah) yang dikendalikan oleh Tuhan, atau bahkan menurut Hines, God-in-creation (Tuhan-dalam-ciptaan). Sementara kaum skeptis, sperti Flew, beranggapan bahwa alam ini beroperasi menurut hukum alam yang diterministik, pasti dan tidak berubah-ubah. Dengan hukum alam yang begitu mantap dan tidak mengenal perubahan ini, alam dipandang otonom dan berjalan dengan sendirinya, tanpa membutuhkan agen apa pun yang ada di luar dirinya. Alam telah ada sejak kejadiannya dan akan terus berlangsung tanpa campur tangan Tuhan. Jadi, keteraturan atau determinasi inilah yang telah mendorong kaum naturalis mendukung otonomi alam, dan dengan demikian melepaskan ketergantungannya kepada Tuhan.
Dalam pandangan dunia yang deterministik seperti in i, yakni hukum yang mengoperasikan alam tidak akan mengalami perubahan dan tidak ada yang bisa mengubahnya, kekuatan-kekuatan adikodrati, seperti malaikat dan Tuhan, boleh saja ditinggalkan karena daya-daya super¬natural mereka, seandainya ada, tidak akan dapat mengubah apa pun. Demikian juga doa dan ritual apa pun tidak akan efektif dan tidak berguna. Oleh karena itu, agama pun boleh ditinggal karena tidak akan bisa mengubah apa-apa.
Flew yang skeptis ini mengatakan: Penganut agama menyatakan, bahwa Tuhan mencintai kita, namun mengapa Tuhan mengizinkan terjadinya bencana yg mengerikan? Jika melihat apa yang dikatakan Flew, sesungguhnya; Pertama, ia cenderung menyalahan, bukan verifikasi (he speaks of falsification rather than verification). Kedua, ia tidak mendasarkan permbicaraannya itu pada teori verifikasi, tetapi pada pernyataan bahwa mengakui sesuatu berarti mengabaikan atau menyalahkan yang lain (he roots his challenge not in the verifiability theory, but asserting something is to deny something else). Pernyataan Flew banyak mendapatkan tanggapan, dari para pemerhati filsafat agama, salah satunya adalah Basil Mitchell. Mitchell mengatakan: (Memang) keyakinan agama itu adalah sebuah pernyataan, sehingga pada dasarnya dapat saja dipersalahkan, namun dalam kenyataan dan praktiknya tidak bisa (religious beliefs are assertions and that they are faisifiable in principle, but not in practice), karena masalah ini bukan masalah natural dan material, akan tetapi masalah immaterial. Sedangkan positivisme dengan segala ketentuannya hanya dapat diterapkan pada hal yang bersifat materi, dan karenya ia tidak mampu menerobos suatu alam, yang oleh Ibnu Arabi disebut alam imajinal. Artinya, positivisme yang kemudian melahirkan metode ilmiah modern, hanya memfokuskan perbincangannya pada data dan fakta dan tidak pernah memasuki dunia makna, menolak membicarakan hal-hal yang bersifat metafisis atau spirirtual. Alam pun dijauhkan dari Tuhan, dan dipandang semakin otonom, bahkan akhirnya diyakini sebagai self-generating (tercipta dengan sendirinya).
Menurut Mulyadhi, kita bisa membayangkan bagaimana keguncangan yang bakal terjadi pada pandangan dunia deterministik ketika fondasinya yang paling dalam, yaitu kepercayaan pada determinisme mekanik dijungkirbalikkan oleh penemuan Heisenberg dan kawan-kawan, yang sangat meyakinkan, dalam apa yang disebut sebagai prinsip ketidakpastian. Pertanyaan yang dahulu bisa dengan gampang dijawab, yaitu: Bagaimana alam bisa berjalan sendiri dengan sempurna tanpa ada yang mengendalikan, kini tidak akan mudah lagi dijawab karena bagaimana bisa bahwa alam yang diatur oleh prinsip ketidakpastian pada komponennya yang paling dasar bisa berjalan dengan begitu teratur, harmonis, tanpa campur tangan sebuah agen yang mengaturnya?
Begitu juga menurut John Hick – dengan mengajukan dua teori verifikasi, (1) eschatological venfication, dan (2) historical verification – bahwa, keyakinan agama pada prinsipnya tidak dapat disalahkan atau dapat diverifikasi begitu saja menurit ukuran positivisme. Tapi bagi mereka yang meyakininya, cukup punya bukti atau alas an yang meyakinkan secara subyektif. Jika seseorang mempertimbangkan kemungkinan mengalami kehidupan setelah mati, (maka) keyakinan agama, pada prinsipnya, tidak dapat disalahkan begitu saja (religious beliefs are not only falsifiable or verifiable in principle, but that they are conclusively so, if one takes account of the possibility of experience after death). Demikian ini menurut Hick dapat diverifikasi secara ilmu akhirat (eschatological venfication).
Dengan historical verification, menurut Hick, Kebenaran dengan jelas ada dalam pendangan klaim kebenaran tetang agama aktual ketika dibawa ke dalam konteks yang lebih menyeluruh. Hubungan antara keyakinan agama dapat memungkinkan beberapa keyakinan dapat diuji secara tidak langsung (clearly right in seeing the truth claims of actual religions as embedded in more comprehensive contexts. The connection between various religious beliefs may then allow some beliefs to be tested indirectly). Sebagai contoh, kebangkitan Yesus yang kedua secara tidak langsung dapat diuji melalui verifikasi sejarah dan keakhiratan. Ini setiaknya di dalam agama, terdapat keyakinan messiah – yang di dalam tasawuf Islam oleh mistikus kristiani, peristiwa kematian al-Hallaj dianggap sebagai peristiwa messiah. begitu juga dalam Syi>'ah Itsna> 'Asyariyah, bahwa mereka sedang menunggu kehadiran al-Mahdi al-Muntadhar, imam yang keduabelas yang sedang ditunggu kehadirannya.

D. Wittgensteinian Appreoaches: Religion and "Form of Life"
Menurut Wittgenstein, bahwa bahasa telah berperan atau berfungsi sebagai "fakta yang berbicara" (stating facts), dan bahasa telah mengenali "makna" (meaning) dengan "makna yang berdasarkan fakta" (factual meaning). Jumlah kalimat tidak terbatas karena adanya permainan (penggunaan) bahasa (language games) untuk mengungkap fakta. Jangan lihat makna ‘kata’, lihatlah penggunaannya (“Don’t look for the meaning, look for the use.”). Menurut Wittgenstein, bahwa untuk memahami penggunaan kata, seseorang harus memahami (1) kontek (context)nya. Permainan bahasa dalam matematika berbada dengan baseball (The language-game of mathematics differs greatly from that of baseball.) Untuk memahami penggunaan kata, selain kontek bahasa, kita juga harus memahami (2) situasi (situations) atau kontek pragmatis (pragmatic context). Jadi, untuk Wittgenstein, membayangkan bahasa (to imagine a language) adalah, utamanya, membayangkan sebuah bentuk kehidupan (to imagine a form of life).
Analisa bahasa agama setidaknya harus dimulai dari perspektif oramg dalam (insider’s perspective), yaitu pemeluk agama itu sendiri. Penganut Wittgenstein menganggap, bahasa agama masuk wilayah otonom (autonomous sphere) atau pribadi, dengan kriteria makna dan kebenaran yang unik (unique criteria of meaning and truth).
Jika seseorang bertanya tentng eksistensi Tuhan, jawabannya adalah Tuhan benar-benar eksis. Sebab, kata ‘Tuhan’ digunakan oleh komunitas umat beragama untuk sesuatu yang nyata. (the term “God” is used by the religious community as a name for a reality). Jika seseorang bertanya apakah Tuhan benar-benar nyata, pertanyaan semacam ini mempelihatkan ketidakpahaman yang bertanya, bahwa ada konsep realita yang dapat diambil dari permainan bahasa secara husus yang memberikan makna terhadap pernyataan tersebut.
E. The Thomistic Doctrine of Analogy
Menurut Thomas Aquinas, ketika kita bicara tentang Tuhan, kita pasti menggunakan bahasa yang aslinya dikembangkan untuk mahluk yang terbatas. Misalnya seperti kata tangan, untuk menjelaskan kekuasaan Tuhan, maka didalam kitab suci terdapat pernyataan Tangan Tuhan. Misalnya dalam al-qur'an terdapat ayat yang menyatakan: "Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka" (يد الله فوق أيديهم). Jadi, menurut Aquinas, bahasa tersebut tidak dapat digunakan secara tepat untuk Tuhan dalam makna aslinya (that language cannot be used to apply to God precisely in its original sense). Karena itu Aquinas menawarkan dua analog, (1) the analogy of attribution (analogi atribut), yaitu menggunakan sebuah kata untuk satu benda bagi benda lain karena ada hubungan sebab akibat antara keduanya. Misalnya, sesorag mengatakan bahwa suatu lingkungan itu sehat sebab lingkungan tersebut menyebabkan warganya sehat, orang mengatakan bahwa kulit yang halus dan cerah itu sehat karena disebabkan oleh tubuhnya yang sehat. (2) the analogy of proportionality (analogi proporsional). Analogi ini digunakan untuk mengembalikan sesuatu secara proporsional kepada jenis realitas yang dimiliki benda tersebut. Misalnya, . Seekor anjing adalah berani dengan caranya bagaimana anjing dapat berani, dalam proporsi (sebanding) dengan kenyataannya sebagai anjing. Arinya keberanian yang dimiliki anjing berbeda dengan keberanian yang dimiliki binatang lain sesuai dengan porsinya.
F. The Multiple Function of Religious language: a Conclusions
Tidak ada teori bahasa agama yg pernah muncul berhasil mendapatkan penerimaan umum dan tampaknya tidak akan pernah ada. Penganut Wittgenstein mungkin di jalan yang benar dalam mendorong kita untuk mempertimbangkan penggunaan bahasa agama. Seperti Mata Tuhan di atas kita (God’s eye is upon us), Tuhan punya Bulumata (God has eyebrows). Pernyataan teologis semacam ini membentuk jaring yang saling berkaitan dan makna dari sebuah pernyataan dibentuk secara kontektual.
Lebih penting lagi, adalah “penggunaan kehidupan nyata” (real-life use) dalam pembicaraan agama. Seorang yang mengatakan Tuhan menciptakan bumi, tetapi dia tidak memiliki pemahaman bahwa hal tersebut menyiratkan bahwa sesorang harus menyembah Tuhan dan memiliki kerendahan hati yang cukup dalam mengenal bahwa kemampuannya adalah pemberian Tuhan, akan secara pasti tidak memiliki pemahaman agama yang asli tetang keyakinan tersebut. Ini adalah ciri-ciri esensial dari kebanyakan klaim agama bahwa mereka memiliki implikasi tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup.
Bagi orang-orang kristen ortodok (orthodox Christians), dalam segala aspek, pemahaman bahasa agama bagi orang beriman sangat dipengaruhi oleh ssuatu yang diambil dari wahyu yang otoritatif (authoritative revelation). Penganut kristen tidak memiliki pemahaman tentang Tuhan dalam – bentuk yang – abstrak (God in the abstract). Tapi, Tuhan yang telah diwahyukan dalam diri Yesus (God as revealed in the person of Jesus). Penganut kristen tidak memahami Tuhan sebagai pencipta (Creator) tetapi sebagai Bapa dari Yesus (the Father of the Jesus) yang telah diterima sebagai Tuan sebagai bentuk atau potret (picture) dari Tuhan yang diterima sebagai suatu kebenaran. Sebab, kebenaran mengambil tempat dalam diri Yesus (the trust one has placed in Jesus).

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an al-Karim
Al-Bagda>dy, Abu> Mansu>r (tt.). al-Farq bain al-firaq, Iskandaria: Da>r al-Ma'rifah.
Corbin, Henry (1967). The Creative Imagination in the Sufism of Ibnu ARabi (terjemah Ralp Manheim), Princeton: Princeton University Press.
Evans, C. Stephen (1985). Philosophy of Religion: Thinking about Faith, Downers Grove, Illiois:: Inter Versity Press.
Flew, Antony (1979). The Dictionary of Philosophy, Revised Second Edition, New York: St. Martin's Press.
Hadiwijono, Harun (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat, Seri 2, Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Kartanegara, Mulyadhi (2002). Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
Hines, Brian (1996). God's Whisper, Creation's Thunder, Brattleboro: Threshold Books.
Lois, Katsof, O. (1986). Pengantar Filsafat, alihbahasa Sujono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nasr, Seyyed Hosein (1997). "Knowledge and the Secred", terjemah Suharsono (et. Al.), Pengetahuan dan Kesucian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, kerjasama CIIS.
Peursen, van, C.A. (19800. Susunan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia.
Rakhmat, Jalaluddin (2005). Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan.
Wibisono, Koento (1986). Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August Comte, Yogyakarta: Gajahmada Press.

Baca Selengkapnya..
Template by - Abdul Munir - 2008