SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI BADRUDDIN MUHAMMAD

Minggu, 02 Agustus 2009

تكوين العقل العربي عند محمد عابد الجابري

TAKWIN AL-‘AQL AL-‘ARABI
‘INDA MUHAMMAD ‘ABED AL-JABIRI
(TINJAUAN HISTORIS TERBENTUKNYA FORMASI NALAR ARAB)

oleh: Badruddin

FENOMENA
Teritorial bangsa Arab, terlebih dewasa ini, tidak hanya terbatas pada sebuah kawasan yang dulunya disebaut tanah hijaz atau sedikit lebih luas, yaitu semenanjung Arab (شبه الجزيرة). Melainkan bangsa yang mendiami – sekalipun dibatasi oleh beberapa nation state – kawasan dari ujung barat Maroko sampai ujung timur Afganistan, dari ujung utara Iran sampai ujung selatan Yaman dan Sudan. Bangsa yang besar seperti itu dengan bahasa yang sama, setidaknya bahasa yang digunakan dalam forum resmi kenegaraan dan forum ilmiyah, sedang tidur pulas. Yang menyebabkan mereka tidak segera bangkit tidurnya, menurut al-Jabiri, adalah tradisi yang tidak tepat dan persepsi yang keliru terhadap apa yang dimaksud dengan sebuah kemapanan pola pikir. Akhinya bangsa ini tidak begitu banyak memberikan kontribusi dalam membentuk peradaban modern, melainkan harus menerima peradaban luar baik dengan senang hati maupun terpaksa (thau’an au karhan). Karena itu, disadari atau tidak, bangsa Arab sesungguhnya merindukan kebangkitan itu. Namun, dari mana kebangkitan itu harus dimulai? Pertanyaan besar ini telah menggangu dan menggugah kecerdasan para intelektual Arab guna menawarkan konsep-konsep kebangkitan. Salah satunya adalah Muhammad Abed al-Jabiri.
Isu kebangkitan (النهضه) inilah, khususnya kebangkitan Arab Islam, telah mengambil posisi penting dalam kegelisahan akademik Muhammad Abed al-Jabiri. Menurutnya kebangkitan dunia Arab dewasa ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena kritik nalar (نقد العقل) yang menjadi sebuah keharusan bagi setiap kebangkitan tidak pernah dilakukan dan terabaikan. Tidak mungkin membangun kebangkitan dengan nalar yang tidak bangkit (tertidur), yaitu nalar yang tidak mampu melakukan evaluasi komprehensif terhadap mikanisme, konsep, ide-ide, unsur-unsur, proses pembentukan nalar Arab (التحليل التكويني للعقل العربي), dan tidak mampu melakukan analisis struktural terhadap nalar Arab (التحليل البنيوي للعقل العربي).
RUMUSAN MASALAH
1. Dalam At-Tahlil at-Takwini, al-Jabiri, memulai dari sebuah pendekatan Awal (مقاربات أولية), sebagai pendahuluan, yang mencakup apa yang dimaksud dengan nalar Arab? Apa hubungannya dengan kebudayaan Arab? Apa karakteristik gerakan dalam kebudayaan Arab dan bagaimana cara membatasi eranya? Bagaimana menguraikan problimatika titik permulaan pembentuk nalar dan kebudayaan Arab dan yang terkait? Berdasarkan kerangka apa keduanya dibangun?
2. Sedangkan dalam at-Tahlil al-Binyawi, ia mengulas tentang Epistemologi. Sistem epistemologi apakah yang mendasari terbentuknya kebudayaan Arab? Dan bagaimana sistem itu mengalami ketumpangtindihan di dalamnya?
PEDEKATAN DAN SISTEMATIKA
Untuk membedah sejarah kebudayaan Arab di satu sisi, dan melihat struktur berikut mikanismenya si sisi lain. Al-Jabiri memilih pendekatan historis, yang menurutnya sangat relevan dijadikan sebagai paradigma.
Agar kajian yang dilakukan al-Jabiri cukup memberikan informasi ilmiyah, maka secara garis besar ia membagi proyeknya kajiannya – yang kemudian ia sajikan dalam bentuk buku yang berjudul Takwin al-‘Aql al-‘Arabi – ke dalam dua bagian secara terpisah namun keduanya saling berkaitan. Pertama menganalisa unsur-unsur pembentuk kebudayaan Arab dan proses pembentukan(التحليل التكويني) nalar Arab pada bagian pertama dan terdiri dari tiga bab. Kedua, melakukan analisis struktural terhadap sistem dan bangun nalar Arab (التحليل البنيوي) pada bagian kedua (sistem pengetahuan bayani), ketiga(sistem pengetahuan ‘irfani) dan keempat (sistem pengetahuan burhani) yang masing-masing terdiri dari tiga bab juga.

REPUTASI AKADEMIK AL-JABIRI
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, lahir di kota Fije Maroko pada tahun 1936. Ia meraih gelar doktor dari dari Universitas Muhammad V Rabat Maroko, lantas menjadi dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra pada kampus yang sama.
Al-Jabiri merupakan intelektual muslim terkemuka yang sangat disegani dan cukup berpengaruh bagi alam pemikiran generasinya, terutama bagi para peminat studi-studi keislaman (Islamic Studies). Ini disebabkan kehadirannya sebagai pemikir yang sangat produktif dalam melahirkan kajian-kajian kritis yang dituangkan dalam bentuk makalah-makalah seminar, artikel dan belasan buku yang sangat serius, diantaranya, tiga buku yang kemudian dikenal dengan sebutan trilogi Naqd al-‘Aql al-‘Arabi. Tiga buku tersebut, masing-masing adalah Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (1982), Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (1986), Al-‘Aql as- Siyasi al-‘Arabi: Muhaddidah wa Tajalliyatuh (1990).
PENGERTIAN NALAR ARAB DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBUDAYAAN ARAB
Apa yang dimaksud dengan nalar Arab? Sebelum melangkah lebih jauh dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-‘aql al-‘arabi (nalar Arab), Al-Jabiri mengajak setiap penbaca untuk menyepakati bahwa al-‘aql yang dimaksud merupakan ungkapan lain dari al-fikr (pemikiran) sebagai adat (perangkat), bukan sebagai intaj (produk). Karena ketika hal ini tidak dipertegas sedemikian rupa, maka setiap orang yang berminat untuk bergabung dengan pikirannya menjadi terjebak dengan masalah-masalah ideologis yang lahir dari pemaknaan al-fikr (pemikiran) sebagai intaj (produk). Dan ini akan mengaburkan karena tidak adanya batasan konsep yang jelas. Karena concernnya pada wilayah epistemologis, maka ia mengajukan konsep al-fikr sebagai adat (perangkat) yang dapat menghasilkan produk-produk teoritis dari kebudayaan Arab, khususnnya kebudayaan Arab Islam. Dengan demikian, content produk pemikiran Arab dan sesuatu yang bersifat ideologis seperti pandangan, teori, isme, berada di luar perhatiannya.
Kata al-‘aql al-‘arabi (العقل العربي) atau dengan ungkapan lain al-fikr ka adat (الفكر بوصفه أداة للتفكير) yang dimaksud, adalah akal terbentuk (al-aql al-mukawwan, العقل المكوَّن), yaitu seperangkat asas dan kaidah berfikir yang dimiliki kebudayaan Arab untuk memperoleh pengetahuan. Akal ini bersifat aposteriori, partikuler dan space time. Bukan akal pembentuk (al-‘aql al-mukawwin, العقل المكوِّن), yang bersifat apriori dan universal, menjadi ciri khusus bagi manusia sehingga keberadaannya berbeda dengan binatang.
Fakta sejarah yang tidak terbantahkan, bahwa peradaban dunia saat ini telah terbelah menjadi dua, yaitu peradaban barat dan timur. Peradaban barat bertumpu pada peradaban Eropa (Yunani kuno) dan Kristen. Sedangkan peradaban timur mengacu pada peradaban Arab dan Islam. Kalau ada peradaban-peradaban lain selain dari keduanya, maka hampir tidak ada yang mengoposisikannya dengan keduanya. Menurut teori biologi, bahwa pembelahan sel dari satu menjadi dua, dua menjadi empat, empat menjadi delapan dan seterusnya, semua itu berasal dari satu sel. Misalnya Islam dan Kristen berasal dari satu tradisi, yaitu tradisi Ibrahimi. Kegelisahan akademik al-Jabiri, menggugahnya keinginannya untuk mengetahui secara lebih detil terhadap nalar Arab. Karena itu, ia berasumsi bahwa ada relevansi antara nalar Arab, ketika ia harus membandingkan, dengan nalar Yunani dan nalar Eropa Modern , karena antara keduanya saling menjustifikasi di satu sisi, dan di sisi lain kekhasan masing-masing menampakkan perbedaan dalam kaitannya dengan terbentuknya sebuah peradaban modern. Karena itu ia ingin memaparkan nalar dan kebudayaan Arab dengan melihat kemajuan yang dicapai oleh Eropa Modern. Menurutnya manusia (akal) dan alam merupakan faktor permanen dalam nalar yang dipahami oleh Barat (Greek, Eropa). Yang kedua faktor itu diyakini: (a) dapat hubungan secara langsung, dan (b) dikeyakini pula bahwa akal memiliki kemampuan dalam menjelaskan dan menyingkap rahasia alam.
Lalu bagaimana dengan nalar Arab? Kita tidak akan pernah memahami nalar Arab jika kita tidak memahami apa yang mencirikan nalar Arab, terlebih dalam keberadaannya sebagai nalar kebudayaan Arab. Dalam nalar Arab, ada tiga kutub yang menjadi pusat relasi secara langsung, yaitu Allah, manusia dan alam. Jika ini harus dipadatkan sehingga menjadi dua kutub sebagaimana nalar Yunani kuno-Eropa, maka satu kutub yang harus ditetapkan adalah Allah dan kutub yang lain adalah manusia. Sedangkan alam mengalami tingkat kesirnaan relatif setara dengan sirnanya Allah dalam struktur nalar Yunani-Eropa.
Bagaimana hubungan antara nalar Arab dan kebudayaannya? Untuk menjawab pertanyaan semacam ini, terlebih dahulu yang harus dipahami adalah apa yang dimaksud dengan struktur (bunyah,بنية) dalam nalar Arab; adalah faktor-faktor permanen dan faktor-faktor yang dapat merubah kebudayaan Arab yang membentuk nalar. Dalam lintasan sejarah, bangsa Arab sebagai bangsa yang bernenek moyang, keberadaannya tidak hanya diakui setelah era Islam saja, melainkan diakui sejak era sebelumnya, yaitu era Jahiliyah. Artinya ketika kita berbicara tentang nalar Arab, yang paling tepat dipertanyakan adalah: Apa yang sudah berubah dalam kebudayaan arab sejak era Jahiliyah? Pertanyaan ini sesungguhnya menguatkan pernyataan, bahwa banyak sekali hal-hal yang tidak berubah dalam kebudayaan Arab sejak era Jahiliyah hingga sekarang yang keseluruhannya membentuk faktor-faktor permanen kebudayaan ini dan menjadi dasar bagi struktur nalar Arab. Jadi kebudayaan Arab yang posisinya sebagai kerangka referensial nalar Arab sejak terbntuknya hingga sekarang hanya memiliki satu era, yaitu era statis. Kebudayaan Arab, dan konsekwensinya nalar Arab, dalam pengertian ini terbentuk sebagai entitas dimana bagian-bagian, batasan-batasan dan orientasinya ditetapkan selama era kodifikasi. Dengan demikian era kodifikasi merupakan ruang lingkup referensial yang sesungguhnya bagi nalar Arab, bukan era jahiliyah dan juga bukan era Islam pertama. Seharusnya pemikiran Arab berpusat pada tiga titik permulaan, yaitu era Jahiliyah, era Islam dan era kebangkitan.
TRADISI IBRAHIMI DAN BAHASA BADUI SEBAGAI MEDIA BAGI TERBENTUKNYA SISTEM EPISTEMOLOGI
Pemberian lebel Jahiliyah terhadap masyarakat Arab sebelum Islam telah memberikan kesan mendalam, yang sekan di era itu mereka berada dalam kegelapan total. Dan tidak banyak ilmuwan yang mampu mengungkap dan menjelaskan bahwa tradisi Ibrahimi merupaka fakta yang terus bergerak dalam lintasan era itu. Kesan seperti itu menjelma menjadi pisau jatam yang mampu memutus kesinambungan sejarah masa lalu, Islam dan dunia Arab modern.
Seperti halnya tradisi Ibrahimi, bahasa Arab adalah warisan berharga – yang juga melintasi era Jahiliyah – merupakan evolusi dari bahasa Smit yang dari masa ke masa mengalami penyempurnaan sampai menjadi bahasa Arab yang selaras bagi diturunkannya wahyu. Menurut al-Jabiri, bahasa bukan hanya memberikan kontribusinya, melainkan menentukan corak budaya dan nalar. Bahasa memiliki peran ganda. Di satu sisi bahasa sebagai pembentuk nalar Arab, dan di sisi lain bahasa sebagai media yang paling dominan dalam menentukan terjadinya hubungan antara keduanya. Dengan demikian, disamping tradisi Ibrahim yang terlupakan akibat generalisai Jahiliyah, struktur nalar Arab sudah terbentuk sejak era Jahiliyah atau paling tidak dasar-dasarnya mulai dibangun pada era itu.
Unsur-unsur pembentuk nalar Arab antara lain kecintaan orang Arab sangat luar bisa terhadap bahasa mereka, bahkan sampai pada tingkat mesakralkan (درجة التقديس). Bangsa Arab sejak zama Jahiliyah sampai era permulaan Islam tidak begitu apresiatif terhadap ilmu pengetahuan yang datang dari luar semenanjung jazirah Arab (شبه الجزيرة العربية). Mereka hanya membanggakan bahasa dan kesusastraan lokal, memegangi bahasa sebagai ketentuan tradisi secara turun temurun. Demikian itu dikarenakan hanya orang Arab lah yang mampu menguasai dan mengangkatnya sampai pada tataran ekspresi bayani yang sangat tinggi sehingga menjadi berbeda dengan bahasa lain. Artinya hukum berfikir (logika) dan rasionalime Arab dalam memperoleh pengetahuan bermula dari bahasa, bukan berangkat dari logika kausalitas sebagaimana dasar logika berfikir orang Yunani dan Eropa. Dengan demikian identitas orang Arab bukan hanya akal, tapi juga kefashihan dalam berbahasa. Bahasa dan unsur kefashihan inilah yang sesungguhnya lebih dekat pada etika dan estetika dibanding dengan logika.
ERA KODIFIKASI SEBAGAI AWAL PROSES TERBENTUKNYA SISTEM EPISTEMOLOGI
Sejarah menunjukkan bahwa kegiatan ilmiah sistemik pertama kali yang dilakukan nalar Arab terjadi di era Islam, yaitu adanya kegiatan pengumpulan bahasa dan kaidah-kaidahnya. Era ini disebut sebagai era kodifikasi. Dengan demikian tidak salah bila dikatakan bahwa Islam (al-Qur’an) bercorak arabic, karena nalar Arab Islam juga dibatasi bahasa yang mereka pakai. Jelasnya, bahasa memiliki peran mendasar dalam membatasi pandangan dan konsepsi bangsa Arab terhadap alam baik secara general maupun partikular. Sementara bahasa Arab merupakan bahasa yang tidak mengalami perubahan paling tidak sejak empat belas abad yang lalu.
Al-Jabiri mengatakan bahwa bahasa bukan sekedar alat berfikir, tapi juga model yang di dalamnya pemikiran terbentuk. Pernyataan ini sesungguhnya ia pinjam dari pikiran Herder (1733-1803) yang menyatakan bahwa bahasa memiliki peran mendasar dalam membentuk cara pandang manusia terhadap alam. Jika demikian halnya, ketika karakteristik bahasa berhubungan erat dengan karakteristik masayarakt penuturnya, maka masyarakat akan mendapatkan pengalaman tentang benar dan salah di dalam bahasa dan mereka meneruskannya pada generasi-generasi berikutnya. Artinya kesalahan yang menjadi bagian dari masa lalu yang ditransmisikan melalui bahasa pada generasi berikutnya ikut membatasi cara pandang masyarakat penuturnya terhadap alam, kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Materi-materi yang termuat dalam kamus bahasa Arab saat ini, baik klasik maupun modern, dikumpulkan di era kodifikasi dari ucapan-ucapan orang Badui(128). Peskembangan berikutnya, mengenai istilah-istilah dan kata-kata baru yang dipandang sebagai bahasa serapan bagi bahasa Badui harus diabaikan agar bahasa yang dihimpun benar-benar Arabic, dan karena alasan ini pula penghimpunannya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang Arab saja. Upaya kodifikasi ini dilakukan dengan sangat ketat berdasarkan kefashihan dan originalitas asal usul kata dan ujaran yang dimiliki masing-masing lahjah (penuturan) dari kabilah-kabilah Arab Badui melahirkan istilah al-lughah al-‘Arabiyyah al-fushha (bahasa Arab resmi) yang dilatarbelakangi oleh kepentingan memahamkan bahasa al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama (‘ulum ad-din).

RELASI ANTARA STRUKTUR EPISTEMOLOGI DAN TERBENTUKNYA KEBUDAYAAN ARAB.
Struktur epistemologi (النظم المعرفية) Arab islam terdiri dari tiga macan, yaitu bayani, burhani dan irfani. Epistemologi bayani, merupakan metode pemikiran yang menekankan otoritas teks (nash) dan dijustifikasi oleh naluri penarikan kesimpulan. Metode bayani ini dalam nalar Arab Islam digunakan untuk memahami al-Qur’an, baik secara langsung dengan memahami teks maupun tidak langsung dimana teks dipahami sebagai pengetahuan (bahan) mentah yang perlu ditafsirkan dan melalui penalaran. Hanya saja dalam praktiknya, tekstual lughawiyah (nushush lughawiyah) lebih diutamakan dari pada kontekstual bahtsiyah (maudhu’ah bahtsiyah) sehingga epistemologi bayani ini selalu mencurigai oleh akal pikiran atau epitemologi burhani karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Dengan demikian dalam tradisi epistemologi Islam, bayani ini tidak banyak mengalami perkembangan apalagi digunakan untuk memproduksi pengetahuan baru atau kontemporer guna menjawab permasalahan umat yang lebih luas dan komplek. Melainkan sejak era kodifikasi sampai sekarang, metode bayani lebih diaplikasikan pada kajian fikih dan ushul fikih setelah ilmu kalam yang lebih dahulu mengalami kemandekan. Sementara ilmu-ilmu humaniora dan sosial lainnya hampir tidak tersentuh oleh metode ini, dikarenakan fikih Islam dianggap sebagai disiplin ilmu yang relatif paling banyak berurusan dengan masalah sosial. Bahkan ilmu fikih ini dianggap satu-satunya yang memiliki posisi sebagai penghubung antara teks wahyu dan teks sosial.
Epistemologi irfani adalah pengetahuan yang bertumpu pada hati yang mendapatkan ilham (intuisi). Dalam epistemologi ini, untuk memahami realitas atau hakikat maka hati memegang peranan kunci. Irfani diperlukan mengingat betapapun besarnya sumbangan akal dan indera dalam memberikan pemahaman terhadap realitas, belum juga memadai untuk bisa menembus jantung realitas di mana hakikat berada. Epistemologi Irfani ini, sesungguhnya hadir sebagai penyeimbang antara bayani dan burhani untuk menghindari kekakuan dan rigiditas dalam berfikir. Memang benar demikian kehadiran irfani dibutuhkan, namun pada perjalanan berikutnya irfani mengalahkan posisi bayani dan burhani sehingga rasionalitas yang menjadi dasar keduanya guna menjelaskan: kebenaran akan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad tersingkirkan. Dan pada berikutnya dari wacana keilmuan yang bersifat futuristik beralih pada keilmuan sufistik yang lebih akrab dengan metode ta’wil yang dalam ilmu modern dikenal dengan sebutan hermeunetika. Jadi sejauh mana pemikiran Arab mengalami kemajuan, maka sejauh itu pula ketersingkiran akal yang dibawa oleh faham hermeunetik model ketimuran yang mendominasi alam pikiran tokoh-tokoh teologi tasawuf.
Epistemologi Burhani adalah aktifitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi (qadhiyyah) melalui pendekatan penarikan kesimpulan (istintaj). Atau dengan kata lain, burhani adalah penalaran akal dengan memanfaatkan kaidah-kaidah logika. Pada perjalanan berikutnya, epistemologi ini hanya merujuk pada silogisme (al-Qiyas) atau lebih menonjolkan qiyas. Sehingga dalam tradisi nalar Arab Islam, sebagaimana yang dikritik oleh Ibnu Tumart, epistemologi ini lebih akrab dengan masalah-masalah hukum Islam (masail fiqhiyah) dari pada problematika-problematika kemanusiaan yang perlu ditangkal sejak dari penyebabnya.
KESIMPULAN
Epistemologi Arab (Islam) ditetapkan dan dirumuskan oleh bahasa (fushha) dan ilmu-ilmu agama (‘ulum ad-din). Maka yang terjadi berikutnya adalah bahasa Arab Fushha menjadi membeku, terbatas dan miskin, Ini merupakan problem kekayaan suatu bahasa, sementara kehidupan sosial terus berkembang dengan ungkapan-ungkapan baru yang relevan untuk mengekspresikannya. Bahasa Arab yang berpegang pada pakem kefasihan (al-lughah al-‘Arabiyyah al-fushha), dalam perjalannya, seakan didera oleh keniscayaan-keniscayaan dialek Arab ‘Amiyah yang jauh lebih kaya dibanding dengan bahasa Fushha karena lebih toleran dalam mengadopsi bahasa-bahasa lain yang kehadirannya merupakan sebuah keniscayaan sebagai akibat dari interaksi global. Dengan demikian kondisi seperti di atas masih menyisakan problem yang sedang dihadapi bangsa Arab sampai sekarang, yaitu setidaknya mereka hidup dengan dua (atau lebih) bahasa yang sama-sama memiliki keterbatasan. Mereka harus berfikir dengan bahasa lain, menulis dengan bahasa fushha, dan berbicara – di rumah, di jalan, bahkan di kampus – dengan bahasa Arab ‘amiyah.
Epistemologi bayani yang berfungsi untuk menjelaskan al-Qur’an sebagai bukti akan kebenaran kersulan Muhammad, tidak banyak digunakan untuk menjelalskan al-Qur’an bagaimana al-qur’an itu menyapa fenomena alam sebagai ayat Allah yang dari sapaannya akan memunculkan berbagai disiplin ilmu. Begitu juga burhani, dalam tataran praksis lebih menonjolkan qiyas guna menyelesaikan masalah-masalah fikih saja. Sedangkan irfani, lebih banayak dikuasai oleh kaum sufi yang dengan metode ta’wilnya dapat menyingkirkan rasionalitas bayani dan logika burhani.
Inilah sisa-sisa permasalahan yang terdapat dalam nalar yang pembentuk kebudayaan Arab dan perlu dicermati untuk meraih peradaban yang tinggi dan diakui dunia internasional. Wallahu A‘alam bish-Shawab.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008