SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI BADRUDDIN MUHAMMAD

Sabtu, 01 Agustus 2009

MANUSIA DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN

Oleh: Badruddin Muhammad

1. Pengantar

وَلَدَتـْكَ أُمُّكَ يـَابْنَ آدَمَ بَاكِـياً * وَالنّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُونَ سُرُوراً
فَاجْهَدْ لِنَفْسِكَ أنْ تَكُونَ إذا بَكَوْ ا * في يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكاً مَسْـرُوراً

Manusia dalam perspektif al-Qur’an adalah salah satu dari tiga mahluk cerdas ciptaan Allah, dimana dua yang lain adalah malaikat dan jin. Teori biologi mengatakan bahwa semakin sederhana bentuk anatomi dan organ tubuh mahluk hidup maka semakin pendek umur atau kesempatan hidupnya. Manusia adalah mahluk hidup yang paling sempurna – baik Material Substantif (jasadiyah) maupun Immaterial Potentif (ru>ch}iyah) – dalam penciptaannya , karena Allah menghendaki akan kelangsungan hidup manusia dipermukaan bumi ini lebih lama sebagai khalifah fil-ard, bahkan pada manusia ada oknom psikis yang eternal -- yaitu ruh itu sendiri – dan kehidupannya akan berlangsung sampai di akhirat nanti.
Dalam konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus, animus, dan spiritus . Animus berasal dari bahasa Yunani anemos yang bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus). Maka corpus adalah body (raga/jasad); dan spiritus adalah spirit (ru>h}); dan animus identik dengan psyche yang bermakna soul (jiwa/nafs). Bila pernyataan ini disederhanakan lagi, maka dapat dimengerti bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki dua dimensi, yaitu jasadiyah (biologis) dan ruchiyah (oknom-oknom psikis). Pernyataan-pernyataan al-Qur’an dalam kaitannya dengan hal ini menarik untuk dicermati guna memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang hakikat manusia.

2. Manusia dalam Urutan Terakhir Penciptaan
Beberapa ayat al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah mahluk yang berada dalam urutan terakhir dari seluruh yang diciptakan Allah dari mahluk-mahluk cerdas lainnya, tak terkecuali dengan alam (planet bumi) yang memang disinilah tempat hidup bagi manusia . Dalam filsafat tasawwuf, maka hal inilah yang menjadi epistemologi bagi Ibnu Arabi untuk melahirkan sebuah teori as-saariyah atau al-faydh (emanasi) dalam konsep wihdatul-wujud, dalam rangka menuntaskan persoalan ta‘alluq (relasi) antara al-Qadi>m (Tuhan) dan al-Haadi>ts (mahluk dan manusia) yang telah lama menjadi diskursus para teolog sebelumnya. Manusia sebagai mahluk yang terakhir diciptakan Allah, maka sudah selayaknya kalau manusia itu menjadi yang paling sempurna dan terindah, baik dalam struktur anatominya (biologis) maupun mental yang memungkinkan manusia itu menjadi mahluk yang paling kreatif dan arif.
3. Manusia Pertama
Teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin begitu sangat terkenal dalam dunia science. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah suatu generasi kera yang telah mengalami evolusi. Teori ini sesungguhnya hanya merupakan suatu hipotesa yang sampai saat ini tidak terbukti sama sekali. Misalnya jika diajukan satu pertanyaan, mengapa sejak setalah dikemukakannya teori evolusi sampai sekarang tidak pernah ada kera yang berevolusi menjadi manusia?. Mengapa bangun atau struktur anatomi tangan kera tidak mengalami perubahan seperti tangan manusia?, dimana tangan manusia antara ibu jari dan empat jari yang lain saling beroposisi, sedangkan semua jari kera menghadap pada posisi yang sama. Kenapa tangan kera tidak bisa berubah strukturnya menjadi seperti tangan manusia?. Sungguh aneh, walaupun demikian banyak orang yang mempercayainya, karena Darwin telah berbaju science. Padahal, science sendiri memiliki kebenaran yang relatif, kuantitatif dan nisbi yang dulunya bisa dipercaya benar ternyata kemudian terbukti salah.
Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia pertama diciptakan dari lumpur (t}i>n) yang diubah menjadi tanah liat kering . Dalam hadits Nabi manusia pertama ini konon diberi nama Adam dan kemudian Allah menciptakan pasangan baginya dari dirinya , pasangan Adam itu bernama Hawwa’. Dari keduanya inilah spesis manusia berkembang biak, melalui perkawinan (hubungan badan) yang mengakibatkan kehamilan dan kelahiran. Kalau lah al-Qur’an mengungkapkan dengan berbagai gaya bahasa tentang kejadian manusia setelah Adam dan Hawwa’, maka itu sesungguhnya tidak lebih agar manusia selalu menyadari akan eksistensi dirinya bahwa ia semula tercipta dari substansi yang – paling tidak menurut ukuran manusia adalah – tidak berharga, menjijikkan dan hina .
4. Manusia adalah Material Substantif dan Immaterial Potentif
a. Material Substantif
Di atas telah penulis paparkan bagaimana proses kejadian manusia dalam bentuk material substantif, sekalipun penulis tidak menyertakan paparkan tentang rahasia penciptaan dari fase ke fase yang sesungguhnya sangat menarik bila dikaji lebih mendalam (misalnya kenapa posisi jari jempol janin ketika ia mencapai usia enam bulan keatas sudah berada pada posisi menempel pada bibir?), tapi dirasa cukup untuk mengantarkan pemahaman kita bahwa manusia secara apriori adalah mahluk yang memiliki fisik seperti mahluk hidup yang lain memerlukan alam sebagai sarana untuk kelangsungan hidupnya, namun secara aposteori material substantif manusia juga memiliki potensi yang disebut dengan potensi fisik sebagai psycomotorik, melakukan aktifitas khtiar, Jihad, mebuahkan amal shaleh.
Dari sinilah kita dapat melihatlah bahwa jasad atau material substantif manusia – adalah sisi lain yang dapat digerakkan oleh kemauan immaterial potentif, berfungsi sebagai kendaraan baginya selama hidup di alam dunia -- jauh lebih sempurna dibandingkan makhluk-makhluk (binatang) lainnya. Hal inilah yang menyebabkan manusia mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk melakukan hal-hal apapun dibandingkan makhluk lain.
b. Immaterial Potentif
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan sisi immaterial manusia, yang sesungguhnya secara esensial manusia itu dapat dibedakan dengan mahluh hidup lainnya dan karena ini pula manusia menjadi mahluk yang bermartabat tinggi sebagai karena kepadanya alam (langit, bumi dan seisinya) ditundukkan .
b.1. Potensi Ruh dan Nafs
Dalam terminologi al-Qur'an, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran disebut nafs menjadi target pendidikan Ilahi . Istilah nafs ini, sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam konteks al-Qur'an memiliki substansi (wujud) dan esensi (hakekat) tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia senantiasa berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan an-nafs amarah bissu' dalam al-Qur’an adalah nafs (jiwa) yang belum mendapatkan pendidikan (belum dirahmati) Allah.
Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds. Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi dan mengikuti hukum-hukum alam Jabarut . Aspek ruh ini tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahadah ini. Maka dari itu tidak ada istilah tazkiyatur-ruh, yang ada adalah tazkiyatun-nafs.
Jadi nafslah yang harus menjadikan jasad atau raga insan – selama hidup di dunia -- sebagai kendaraan untuk menemukan al-haq sebagai pelajaran pertamanya dan harus terus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.
b.2. Potensi Akal
Secara etimologi, menurut Ra>ghib Ashfaha>niy, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-riba>th (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan al-man'u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini yang disebut akal secara umum adalah potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Akal memiliki dua makna: Pertama, Akal jasmani, salah satu organ tubuh yang terletak di kepala, akal ini lazimnya disebut dengan otak (al-dimagh); Kedua, Akal Ruhani, yaitu cahaya nurani yang dipersiapkan oleh Allah dan berpotensi untuk memperoleh pengetahuan dan kognisi, melalui proses membaca dan berfikir.
Sehingga akal merupakan daya berpikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia. Dalam al-Qur’an akal tidak pernah salah apalagi disalahkan, melainkan seseorang akan disalahkan bilamana ia tidak menggunakan akalnya. Kita sering kali menganggap akal berpotensi salah, karena dalam bahasa Indonesia ada istilah akal-akalan. Dalam aktivitasnya akal memiliki berbagai potensi yang luar biasa diantaranya:
1. Dapat memahami hukum kausalitas. Bahwa Allah lah Yang menghidupkan dan mematikan .
2. Dapat memahami adanya sistem jagad raya.
3. Berfikit distinktif, kemampuan memilah-milah permasalahan dan menyusun sistematika dari fenomena yang diketahui .
4. Dapat memahami ayat kauniyah untuk mengantarkan dirinya menjadi khalifah dan memahami ayat qauliyah untuk menjadi abd
b.3. Potensi Qalb
Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan makna qalb. Sebagian ada yang mengasumsikan sebagai materi organik, sedang sebagian yang lain menyebutnya sebagai sistem kognisi (kemauan) yang berbeda dengan emosi.
Al-Ghazali secara tegas melihat qalb dari dua aspek. Pertama, qalb jasmani dan Kedua, qalb ruhani. Qalb jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Sedangkan qalb ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus, ruhaniah dan ketuhanan, memiliki potensi afektif, iman, dzikir, taqwa. Sehingga ketika qalb itu tidak memiliki potensi seperti itu, maka derajat manusia dari kemuliaannya turun menjadi binatang, bahkan lebih sesat darinya
Dalam konteks potensi manusia, qalb atau hati bukanlah asper pertama yaitu sepotong organ tubuh, melainkan aspek kedua yaitu sebuah elemen atau sistem nurani atau ruhani manusia. Secara bahasa qalb, artinya bolak-balik, dan ini menjadi karakteristik dari qalb itu sendiri, yaitu memiliki sifat tidak konsisten, yang butuh suatu pengelolaan tersendiri, dengan panduan nur ilahi.
Fungsi utama dari qalb adalah sebagai alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai kehidupan seperti yang tersebut dalam al-Qur’an, surat al-Hajj [22]:46, .
Al-Qur'an menggunakan term qalb dan fu'a>d untuk menyebut hati manusia,ketika suasana hati itu berada dalam ketenteraman dan keyakinan. Al-Qur'an juga menggunakan kata shadr yang berarti dada atau depan untuk menyebutkan suasana hati dan jiwa sebagai satu kesatuan psikologis dalam kondisi yang lapang dan tak terbebani maupun sempit dan sedih. Tetapi Al-Qur'an juga menggunakan term qalb untuk menyebutkan akal, ketika qalb fish-shadr dalam keadaan buta tidak dapat memahami realitas dan nilai kehidupan .
Al-Ghazali berpendapat bahwa qalb memiliki potensi yang disebut an-Nur al-Ilahiy (cahaya ketuhanan) dan al-Bashirah al-Bathinah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Demikian juga al-Zamakhsyariy menegaskan bahwa qalbitu diciptakan Allah sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan menerima kebenaran dari-Nya. Dari sisi ini qalb berperan sebagai pemandu, pengontrol, dan pengendali semua tingkah laku manusia. Dengan potensi qalb inilah manusia tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan sosialnya, melainkan juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan dan nilai kehidupan keagamaannya.
5. Beberapa Kosa Kata Al-Qur’an Yang bermakna Manusia
Beberapa kosa kata -- yang digunakan al-Qur’an untuk menyebutkan manusia secara utuh (material substantif dan immaterial potentif) – sebagai berikut:

a. Al-Insaan, al-Ins, an-Na>s
Dalam al-Qur'an, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepada makna pokok manusia: al-basyar, al-insa>n, dan al-nas.
Pertama, kata al-insa>n, dalam al-Qur’an selalu dihubungkan dengan khilqah (penciptaan), artinya manusia selalu diingatkan oleh Allah, bagaimana Allah menciptakan dan dari apa ia diciptakan, sehingga ia menyadari dan tetap berada pada posisinya sebagai al-'abd (hamba). Dalam surat at-Ti>n , Allah menyatakan bahwa: “Sungguh Kami telah menciptakan (kata aktif) al-insa>n dengan sebaik-baik bentuk." Artinya bentuk fisik yang dilengkapi dengan modus-modus kejiwaan yang masing-masing memiliki mekanisme untuk saling berinteraksi. Kemudia Allah mengilhamkan al-Fuju>r dan at-Taqwa>, yang sesungguhnya dengan qalb nurani (hati yang bercahaya) antara keduanya dapat dibedakan, apalagi masih dibekali tuntunan (al-Qur’an) untuk mencapai hakikat. Ternyata ada al-insa>n dengan pilihannya mengutamakan al-fuju>r, tentunya yang sedemikian ini kembali pada dirinya. Karena itu pada surat al-Ma’arij: 19 -21 dinyatakan: “Sesunggunya manusia itu setelah tercipta (kata pasif) menjadi suka menyimpang, apabila ditimpa kerugian ia suka berkeluh kesah dan apabila ia ditimpa kebaikan menjadi kikir.
Begitu pula kata al-ins selalu dihubungkan dengan penciptaan dan tujuan penciptaan.
Sedangkan an-na>s (bentuk plural) juga dalam kontek yang sama, selalu diikuti seruan ibadah dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Pencipta . Kesimpulannya bahwa manusia (an-na>s) guna mempertahankan potensi-potensi positif dari dirinya memerlukan hidup berkelompok, berkoloni, berkomunitas yang untuk meencirikan keberadaannya sebagai mahluk sosial. Karenanya pepatah Arab Mengatakan Wa Ma> Summiya al-Insa>n illa> li Unsihi> (Tidaklah manusia itu dikatakan manusia (insa>>n) melainkan karena sosialnya)
Kedua, kata al-Insa>n dalam al-Qur'an dihubungkan dengan ilmu dan pengetahuan. Manusia adalah makhluk yang diberi ilmu, (Rabb) Yang telah mengajar dengan pena, mengajar insa>n apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-'Alaq (96): 4, 5), "Ia mengajarkan (insan) al-bayan" (QS. ar-Rahman (55): 3). Manusia diberi kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalarnya. Karena itu juga, kata insan berkali-kali dihubungkan dengan kata nazhar.
b. Al-Basyar
Al-basyar kosa kata al-Qur’an yang juga berarti manusia. Namun dalam hal ini al-Qur’an lebih menekankan pada manusia yang menyukai hal-hal yang menggembirakan dan sekaligus memiliki kecendrungan untuk berbagi kebahagiaan . Karena kata al-basyar ( begitu pula kata al-basyir, al-mubasysyir dan al-busyra) merupakan turunan dari kata ba-sya-ra yang berarti membahagiakan.
c. Al-Ana>m
Kata al-ana>m ini, muncul dalam al-Qur’an pada saat Allah menyebut manusia bergabung dengan mahluk lainnya sebagai pengguna fasilitas bumi dan kekayaan alamnya. Allah menyetakan dalam al-Qur'an: "Dan Allah telah meletakkan (meratakan) bumi untuk makhluk (Nya) (QS. Ar-Rahman (55): 10). Wallaahu A‘alam.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008