SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI BADRUDDIN MUHAMMAD

Jumat, 26 Juni 2009

HASIL DARI RUMAH KONTRAKAN: PERSPEKTIF FIKIH ZAKAT KONVENSIONAL DAN FIKIH ZAKAT KONTEMPORER

Oleh: Badruddin Muhammad
Firman Allah swt.:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ: الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (المؤمنون: 1- 4)
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat". (QS. Al-Mu'minun: 1-4)
A. Mukadimah

Firman Allah SWT di atas, sekalipun berbentuk kalimat berita namun hakikatnya mengandung arti perintah. Bahwa siapa saja dari setiap orang yang beriman yang ingin mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya, maka disamping ia harus menjaga hubungan vertikal antara dirinya dengan Allah shalat yang khusyu', meninggalkan hal-hal yang tidak bernilai ibadah, juga ia harus menperhatikan relasi horisontal antara dirinya dengan sesama melalui zakat. Jadi, zakat merupakan salah satu bentuk ajaran Islam yang memberikan atensi dan empati terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Zakat dan segala derivasinya, dapat menciptakan harmoni sosial, menekan terjadinya kesenjangan ekonomi dan bahkan menjadikan orang miskin merasa kaya, tidak merasa sendirian menanggung beban hidup dari himpitan ekonomi karena di sisinya masih ada orang yang mau mengulurkan tangannya, memberi sedekah, menyerahkan zakat dan berinfaq.
Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam – dengan segala hikmah yang dikandungnya – menjadi perhatian para ulama baik di masa silam (salaf) maupun di masa sekarang (khalaf), utamanya mengenai ketentuan jenis kekayaan yang harus dikeluarkan zakatnya, kuantitas dan waktu pembayarannya. Mengingat semakin berkembangnya sektor perekonomian, tentu wacana tentang zakat ini mengalami perkembangan pula di kalangan ulama.
Dalam sistem ekonomi klasik, pendapatan yang dianggap bisa mendatangkan kekayaan hanya terdiri dari beberapa sektor atau sumber kekayaan dan perekonomian saja, meliputi sebagian pertanian (zira'ah), peternakan (Masyiah), perdagangan (tijarah), barang temuan/terpendam dari peninggalan purba (rikaz) dan pertambangan (ma'dan). Selain dari aspek-aspek ini tidak dianggap sebagai sumber kekayaan jelas dan tetap. Namun dengan berjalannya waktu, sekarang ini semakin disadari bahwa semakin banyak manusia yang menjadi penghuni di permukaan bumi ini maka semakin banyak pula lapangan pekerjaan yang menuntuk kerja profesional, utamanya di bidang jasa. Dahulu misalnya, pangkas rambut bukanlah profesi kerena ini dapat dikerjakan secara bergantian, pijat di kampung-kampung cukup dibayar dengan satu kilogram beras, dan seterusnya. Namun sekarang bukan hanya itu, memungut sampah dan mendaur ulang bias jadi profesi yang juga menjanjikan kekayaan, karena itu hal-hal yang dulunya tidak tersentuh oleh fikih zakat, sekarang ini menjadi bagian yang diperbincangkan. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran dan fikih zakat dari klasik konvensional menuju kentemporer kiranya paparan di bawah ini sedikit dapat memberikan gambaran bagi peserta diskusi yang berbahagia siang ini.

B. Jenis-jenis Zakat dalam Wacana Fikih Klasik
Zakat al-Masyiyah (zakat peternakan), yang dimaksud dengan binatang ternak di sini adalah al-na'am (jawa: rojokoyo) dan hanya meliputi unta, sapi dan kambing. Sehingga untuk bianatang yang lain, seperti kuda, ayam dan binatang air tidak termasuk harus dikeluarkan zakatnya sebagai keberadaannya binatang ternak. Karena yang menjadi illat hukum zakat di sini adalat wujudnya sebagai binatang ternak, maka zakat yang dikeluarkan bila sudah mencapai ketentuan (nisab) adalah juga wujud dari jenis binatang ternak itu sendiri dan tidak boleh diganti dengan binatang atau barang lain, juga tidak boleh dikeluarkan berupa harga (dirupakan uang tunai) karena hal ini bukan zakat mal atau dzahab.
Zakat al-Zira'ah ( zakat pertanian) dikenakan pada hasil pertanian yang dapat digolongkan sebagai qutul-balad atau ma yuqtatu bihi ahlul-balad (makanan pokok atau hasil pertanian/makan yang dijadikan sebagai sumber energi penduduk setempat). Karena yang menjadi illat dari Zakat al-Zira'ah ini adalah qutul-balad, maka zakat yang harus dikeluarkan juga berupa jenis dari yang dizakati, tidak diganti dengan harganya atau dikeluarkan zakatnya berupa uang tunai. Manakala hasil pertanian itu adalah padi (beras) maka harus dikeluarkan berupa padi (beras), tidak diganti dengan krus nominal mata uang. Inilah yang menjadi penghalang bagi jenis-jenis hasil pertanian lainnya, seperti buah kelapa, semangka, ikan dan lain sebagainya.
Sedangkan rupa zakat yang harus dikeluarkan dari rikaz, ma'dan dan tijarah adalah berupa harga atau uang tunai (naqdan) dengan besaran prosentase tertentu. Dalam perekonomian klasik emas (dzahab) dan perak (fidhdhah), seperti yang disebut-sebiut di dalam al-Qur'an, hadits Nabi maupun fikih tidak lain adalah uang tunai (naqd).
Sekarang, mengapa zakat yang harus dikeluarkan dari rikaz, ma'dan dan tijarah adalah berupa harga atau uang tunai (naqdan)?, karena harta ini untuk pengeluaran zakatnya tidak memiliki illat sebagaimana illat yang dimiliki oleh hasil pertanian dan peternakan. Kerenanya besaran zakat yang harus dikeluarkan harus dikruskan dengan mata uang baik yang berbentuk kertas (waraq) karena nilai nominalnya atau berupa emas dan perak (dzahab wa fidhdhah) karena nilai intrinsiknya.

C. Zakat Rumah Kontrakan atau Rumah Kos
Mengenai zakat yang harus dikeluarkan dari hasil rumah kontrakan atau rumah kos, hal ini merupakan permasalahan baru yang diwacanakan ke dalam fikih zakat. Sebagian orang melihat bahwa jumlah nominal yang didapat dari rumah kontrakan cukup besar dan bahkan ada beberapa orang yang menggantungkan perekonomiannya kepada sektor ini, sekalipun sebagian yang lain tidak demikian halnya. Ada yang mengontrakkan rumahnya karena tidak punya pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, sehingga ia rela tidur berdesakan dengan anak dan istrinya dalam satu kamar, sementara kamar untuk anaknya dekontrakkan untuk tambahan opendapatan.
Karena hasilnya yang lebih dari cukup ini, maka seharusnya zakat dari rumah kontrakan ini juga harus dibayarkan. Namun kemanakah hasil rumah kontrakan ini diidentifikasikan zakatnya? Bila disamakan atau diilhaqkan dengan zira'ah atau dengan masyiyah, maka rumah kontrakan tidak memiliki kesamaan illat dengan keduanya. Zira'ah, dikeluarkan zakatnya karena sebagai qutul-balad dan zakat yang dikeluarkan juga berupa hasil pertanian atau hasil panin. Begitu juga masyiyah, dikeluarkan zakatnya karena sebagai al-na'am (binatang ternak) dan zakat yang dikeluarkan juga berupa binatang ternak bukan harga dari binatang ternak.
Pendapat Yusuf al-Qardhawi, masih ambigu dalam ketentuan zakat atas harta yang diperoleh dari kontrakan, ia lebih cenderung mengilhaqkan kepada zira'ah. Artinya begitu harta itu didapat, maka saat itu pula harus dikeluarkan zakatnya. Ini berdasarkan firman Allah: "Fa'tu haqqahu yauma hashadih" (Keluarkanlah hak (zakat)nya pada hari di mana harta itu dituai). Tapi dalam besaran zakat yang harus dikreluarkan dari hasil kontrakan itu, al-Qardhawi menggunakan ketentuan 2.5 %. Padahal ketentuan 2.5 % selama ini diberlakukan pada harta yang telah mencapai minimal satu nisab (ukuran tertentu dalam besaran) dan haul (siklus, satu tahun perputaaran waktu). Ketika, oleh al-Qardhawi, hasil kontrakan disamakan dengan zira'ah berarti ia mengabaikan haul dan nisab harta, ia hanya mengambil besarnya zakat 2.5 % yang harus dikeluarkan.
Penghasilan dari rumah kontrakan yang tidak sama dengan zira'ah dan masyiyah ini, harus mendapatkan penyelesaian guna mendapatkan kepastian hukum dalam hal zakat. Menurut penulis, ada dua alternatif dalam memberikan kepastian hukum zakat atas harta yang dihasilkan dari rumah kontrakan. Pertama: diilhaqkan kepada zakat mal (dzahab dan tijarah). Yang dimaksud dengan dzahab di sini adalah emas lantak sebagai cadangan devisa atau emas sebagai standar nilai nominal mata uang logam atau uang kertas yang diaktifkan atau diinvestasikan. Jika zakat hasil rumah kontrakan diilhaqkan kepada emas (dzahab)dan hasil perdagangan (tijarah), maka ketentuan nisab dan haul yang melekat pada keduanya juga diberlakukan pada kekayaan yang diperoleh dari hasil kontralkan.
Kedua: Menyadari bahwa fikih merupakan produk pemikiran hukum Islam. Artinya fikih bisa saja berubah dari waktu ke waktu, karena wataknya sebagai produk pemikiran yang bersifat mutaghayyirah (berubah) dan ghair tsabitah (tidak tetap). Berangkat dari sinilah, menurut penulis, bahwa ada semacam konvergensi antara zakat zira'ah dan tijarah/dzahab yang dapat diberlakukan pada harta yang dihasilkan dari kontrakan. Kalau al-Qardhawi mengilhaqkan dengan zira'ah dan mengambil besarnya zakat yang harus dikeluarkan 2.5%, tapi ia tidak berani menentukan besarnya nisab. Maka, menurut penulis, tetap memperhatikan nisab dan mengabaikan haul. Artinya setiap harta yang dihasilkan dari rumah kontrakan atau rumah kosan, harus dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan: (1) Bila mencapai minimal satu nisab yang besarnya sama dengan 20 mitsqal atau 93.60 gram emas. (2) Zakat dikeluarkan pada saat terima uang seperti pertanian pada saat selesai panen, bukan setelah satu tahun dari pembayaran. (3) Pendapatan itu dipotong biaya rehab atau perbaikan rumah karena hal ini sama dengan biaya produksi dan (4) Besarnya zakat yang harus dikeluarkan adalah 2.5%.
Wallahu A'lam bishshawab.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008