SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI BADRUDDIN MUHAMMAD

Kamis, 11 Juni 2009

THE PROBLEM OF RELIGIOUS LANGUAGE

Oleh:
Badruddin Muhammad

A. Pendahuluan
Barangkali bukan hanya penulis ketika di masa kecilnya, tapi hampir setiap anak yang mulai memasuki usia sekolah Taman Kanak-kanak (TK), selalu menanyakan adanya Sang Pencipta. Terlebih ketika berada dalam pangkuan ayah atau ibunya di saat di malam hari, pada saat bulan purnama, pertanyaan yang sering muncul dari seorang anak adalah: "Siapakah yang menciptakan bula?" Ketika dijawab: "Tuhan!", lalu pertanyaan berlanjut: "Siapa yang menciptakan aku?"; "Siapa yang menciptakan ayah?" terlepas anak itu mendapatkan jawaban yang memuaskan atau tidak, yang jelas pertanyaan tentang bukti-bukti adanya Tuhan sudah menjadi problem sejak masa kanak-kanak, menjadi sebuah prilaku dan cukup merisaukan hati. Pertanaan-pertanyaan semacam itu sering kali dijawab dengan logika kausalitas, dengan melogikakan Tuhan dan alam, meja dan tukang kayu dan seterusnya. Ternyata hal ini tidak dapat menyingkirkan kerisauan hati, karena kalau segala yang ada harus ada yang mengadakan maka Tuhan, yang juga ada, harus ada yang mengadakan.Ungkapan tentang "Tuhan itu ada", "Tuhan mencintai manusia", bukan hanya merupakan sebuah problem filsafat, tapi juga spikologis dan bahkan sains. Yang terakhir ini, menyatakan bahwa kognisi manusia sudah mengalamai perkembangan sedemikian pesat. Menurut August Comte (1798-1857), perkembangan pengetahuan dan pengertian (cognition) manusia semenjak – Yunani Kuno sampai abad Renaissance – bergerak secara linier mulai dari mitis, teologis, metafisik dan terakhir positif. Positivisme yang bertumpu pada akal dan pengalaman (experience), maka kebenarannya bersifat konkrit, eksak, akurat dan bermanfaat, memberikan perhatian yang tinggi terhadap dunia riil. Positivisme ini kemudian melahirkan apa yang kita sebut dewasa ini (sekarang) dengan sains modern, dimana masyarakat modrn (masyarakat industri) talah sampai pada puncak perkembangannya dengan ciri-ciri berfikir positif. Sains modern mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pengetahuan yang dapat dipercaya, dapat diuji, diverifikasi dan dibuktikan dengan eksperimen. Karena itu, sains bersifat universal. Tuhan merupakan ranah keagamaan yang bersifat subyektif dan hanya diyakini oleh orang-orang yang mempercayai akan keberadaan-Nya.
Permasalahannya sekarang, dapatkah Tuhan ditarik ke dalam perbincangan filsafat dan ilmu pengetahuan positif? Inilah sebuah tantangan baru bagi kaum beriman, sebuah pertanyaan yang diarahkan kepada ketiadaan makna beriman kepada Tuhan. Klaim seperti: Tuhan itu ada, atau Tuhan mencintai manusia, dianggap tidak ada artinya secara kognitif, karena tidak ada penjelasan yang meyakinkan.
Tulisan ini mencoba menjelaskan problem bahasa agama, setidaknya yang dialamai oleh penganut logika positivisme dengan segala penolakannya terhadap keberadaan Tuhan.
B. What is Logical positivism?
Sebelum memasuki permasalahan pokok mengenai problematika bahasa agama, di sini perlu diajukan sebuah pertanyaan mengenai sesuatu yang dapat mengusik keberadaan Tuhan yang telah diyakini adanya oleh penganut keyakinan. Sesuatu yang dimaksud adalah logika positivisme, apakah itu? Logical positivism, merupakan salah satu aliran filsafat yang dimulai oleh suatu kelompok ahli filsafat di Vienna, setelah Perang dunia I. Mereka membentuk forum kajian Vienna (Vienna Circle). Kemudian karya mereka menjadi terkenal setelah melalui karya berbahasa Inggris tulisan A. J. Ayer: Language, Truth and Logic (Bahasa, Kebenaran dan Logika) yang diterbitkan pertama kali pada 1936. Inti dari logika positivisme adalah teori verifikasi makna (The heart of logical positivism was the verifiability theory of meaning). Ada dua tipe mengenai makna pernyataan: Pertama, Preposisi analitik (Analytic propositions), yaitu sebuah kebenaran atau kesalahan sangat ditentukan oleh kalimat atau bahasa yang digunakan dalam suatu pernyataan.
Jika penulis mencontohkan tentang keberadaan Tuhan dengan preposisi analitik, di mana Allah itu berada? Mengacu pada al-Qur'an, Surat T}aha>: 5 yang berbunyi: الرحمن على العرش استوى (Tuhan Yang Maha Pengasih di atas 'arasy-Nya bersemayam). Menurut pemahaman penganut faham Wahabi yang selalu mengkalim sebagai pengikut al-Salaf al-Sa>lih}, bahwa mengetahui di mana Allah itu berada adalah wajib hukumnya, karena hal itu merupakan bagian dari akidah. Orang yang tidak mengetahui di mana Allah itu berada, maka ia akan tinggal sia-sia, tidak mengetahui posisi Tuhan yang disembahnya, dan kerena itu ia tidak dapat melaksanakan ibadah (pengabdian) kepada-Nya dengan pasti. Kalimat Istawa> menurut pengertian faham Wahabi adalah 'Ala> wa Irtafa'a (atas dan tinggi). Artinya ketika ditanya: Di mana Allah berada?, maka jawabnya adalah: Allah itu ada di atas (langit) sana. Pemaknaan ini diperkuat oleh ayat-ayat al-Qura'an yang lain maupun hadis-hadis Nabi.
Sementara menurut faham al-Asy'a>riyyah, Allah itu tidak menempati ruang dan waktu. Bagitu juga Su>fiyah, salah satunya adalah Al-Hallaj, mengatakan
Kedua, Preposisi sintetik (Synthetic propositions), yaitu kebenaran atau kesalahan ditentukan oleh pengalaman (sebelumnya). Sebagai sebauah ilustrasi, penulis ceritakan kisah nyata yang pernah dialami.
Di masa kecil, pada saat masih duduk di bangku SD kelas tiga, saya memiliki teman baru yang datang dari luar daerah. Mandi di sungai bersama-sama merupakan kegemaran anak-anak desa. Di suatu siang, sepulang dari sekolah saya diajak teman-temanku mandi bersama di sungai, begitu juga teman baruku. Di tengah asiknya mandi, tiba-tiba teman baruku berteriak, meneriakkan dua, dua, dua, si Mamat punya dua, Mamat punya dua! Semua pada tercengan tidak memahami apa yang dimaksud. Ternyata teman baruku itu pada saat asik menyelam, tanpa sengaja menyentuh testis (buah pelir) si Mamat yang jumlahnya dua. Teman baruku itu merasa bahwa Mamat memiliki buah pelir yang tidak normal, lebih dari satu. Namun setelah dilakukan verifikasi ternyata semua memiliki dua buah testis, hanya dirinya yang mempunyai satu.
Jadi dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa pengalaman di masa lalu sangat menentukan persepsi sistem pengetahuan seseorang, dan mungkin juga kelompok, terhadap benar dan salah atau keliru. Begitu juga dalam bahasa agama, banyak keyakinan tentang adanya Tuhan dan bagaimana penganutnya memformulasi tentang Tuhan tersebut berdasarkan pengalaman – orang-orang – sebelumnya.
Menurut pandangan Evans, pernyataan atau bahasa agama yang bersifat analytic statements tidak memberikan banyak informasi, kecuali hanya tetang bahasa. Unt memperoleh informasi tetang realitas sebuah preposisi harus syntetic sehingga dapat diverifikasi secara empirik. Sebagaimana ia menyatakan:
"Analytic statements do not give us any information but about language. To give information about reality, a proposition must be synthetic and therefore must be empirically verifiable."
C. Are Religious Beliefs Falsifiable?
Mengenai pernyataan agama seperti Tuhan itu ada, maka logika positivisme telah melakukan penolakan terhadap pernyataan tersebut dan pernyataan yang semisal dengannya. Ketika sebuah pernyataan tidak dapat diverifikasi, maka hal itu tidak lebih dari sebuah pernyataan imajinier atau pernyataan yang memberikan peluang untuk ditiadakan secara substansial. Dalam hal ini menurut Antony Flew, banyak orang yang terkecoh dalam meyakini ajaran agama, dan ini benar-benar terjadi, sekalipun pada kenyataan (implikasi)nya tidak dapat disalahkan. Keyakinan agama tidak selalu pernyataan kognitif, sebab keyakinan tersebut tidak dapat disalahkan, karena keyakinan semacam itu tetap memiliki makna. Berikut ini pernyataan Antony flew:
Basically right about the falsifiability of religious beliefs. But wrong about the implications of this. Religious beliefs are not really cognitive assertions because they are not falsifiable, but meaningful. (Keterkecohan keyakinan agama pada dasarnya adalah benar, tetapi salah tetang implikasinya. Keyakinan agama tidak selalu pernyataan kognitif, sebab keyakinan tersebut tidak dapat disalahkan. Namun – keyakinan semacam itu – memiliki makna.)
Jadi, Apakah keyakinan agama dapat dipersalahkan? (Are Religious Beliefs Falsifiable?). Sekali lagi, menurut Flew, Pernyataan agama tidak bermakna secara kognitif (Religious assertions were not cognitivcly meaningful). Dalam hal ini ia menyampaikan ilustrasi berikut ini:
Once upon a time two explorers came upon a clearing in the jungle. In the clearing were growing many flowers and many weeds. One explorer says, “Some gardener must tend this plot.” The other disagrees, “There is no gardener.” So they pitch their tents and set a watch. No gardener is ever seen. “But perhaps he is an invisible gardener.” So they set up a barbed-wire fence. They electrify it. They patrol with blood¬hounds... But no shrieks ever suggest that some intruder has received a shock. No movements of the wire ever betray an invisible climber. The bloodhounds never give cry. Yet still the Believer is not convinced. “But there is a gardener, invisible, intangible, insensible to electric shocks, a gardener who has no scent and makes no sound, a gardener who comes secretly to look after the garden which he loves.” At last the Skeptic despairs, “But what remains of your original asser-tion? Just how does what you call an invisible, intangible, eternally elusive gardener differ from an imaginary gardener or even from no gardener at all?”
Jadi bagi yang percaya (believer), mengatakan bahwa Tukang Kebun (gardener) itu ada, dan – Dialah Tuhan Yang – tidak dapat dilihat (invisible) yang datang secara rahasia untuk memelihara kebunnya yang ia cintai (a gardener is invisible who comes secretly to look after the garden which he loves). Sedangkan bagi yang tidak percaya atau setidaknya bagi yang ragu (skeptic), termasuk Flew, maka Tukang Kebun yang tidak dapat dilihat sama dengan Tukang Kebun imajiner atau bahkan tidak ada Tukang Kebun (Invisible Gardener is similar to an imaginary gardener or no gardener at all).
Dari keteraturan kebun yang menakjubkan itu menunjukkan bahwa alam ini tidaklah independen, akan tetapi tergantung dan dikendalikan oleh sebuah sistem terpadu yang transenden, yang bertanggung jawab atas kelangsungan alam, yang beroprasi melalui prisip ketidakpastian pada komponennya yang paling dasar. Sistem terpadu inilah yang dalam bahasa agama disebut hukum alam (sunnatullah) yang dikendalikan oleh Tuhan, atau bahkan menurut Hines, God-in-creation (Tuhan-dalam-ciptaan). Sementara kaum skeptis, sperti Flew, beranggapan bahwa alam ini beroperasi menurut hukum alam yang diterministik, pasti dan tidak berubah-ubah. Dengan hukum alam yang begitu mantap dan tidak mengenal perubahan ini, alam dipandang otonom dan berjalan dengan sendirinya, tanpa membutuhkan agen apa pun yang ada di luar dirinya. Alam telah ada sejak kejadiannya dan akan terus berlangsung tanpa campur tangan Tuhan. Jadi, keteraturan atau determinasi inilah yang telah mendorong kaum naturalis mendukung otonomi alam, dan dengan demikian melepaskan ketergantungannya kepada Tuhan.
Dalam pandangan dunia yang deterministik seperti in i, yakni hukum yang mengoperasikan alam tidak akan mengalami perubahan dan tidak ada yang bisa mengubahnya, kekuatan-kekuatan adikodrati, seperti malaikat dan Tuhan, boleh saja ditinggalkan karena daya-daya super¬natural mereka, seandainya ada, tidak akan dapat mengubah apa pun. Demikian juga doa dan ritual apa pun tidak akan efektif dan tidak berguna. Oleh karena itu, agama pun boleh ditinggal karena tidak akan bisa mengubah apa-apa.
Flew yang skeptis ini mengatakan: Penganut agama menyatakan, bahwa Tuhan mencintai kita, namun mengapa Tuhan mengizinkan terjadinya bencana yg mengerikan? Jika melihat apa yang dikatakan Flew, sesungguhnya; Pertama, ia cenderung menyalahan, bukan verifikasi (he speaks of falsification rather than verification). Kedua, ia tidak mendasarkan permbicaraannya itu pada teori verifikasi, tetapi pada pernyataan bahwa mengakui sesuatu berarti mengabaikan atau menyalahkan yang lain (he roots his challenge not in the verifiability theory, but asserting something is to deny something else). Pernyataan Flew banyak mendapatkan tanggapan, dari para pemerhati filsafat agama, salah satunya adalah Basil Mitchell. Mitchell mengatakan: (Memang) keyakinan agama itu adalah sebuah pernyataan, sehingga pada dasarnya dapat saja dipersalahkan, namun dalam kenyataan dan praktiknya tidak bisa (religious beliefs are assertions and that they are faisifiable in principle, but not in practice), karena masalah ini bukan masalah natural dan material, akan tetapi masalah immaterial. Sedangkan positivisme dengan segala ketentuannya hanya dapat diterapkan pada hal yang bersifat materi, dan karenya ia tidak mampu menerobos suatu alam, yang oleh Ibnu Arabi disebut alam imajinal. Artinya, positivisme yang kemudian melahirkan metode ilmiah modern, hanya memfokuskan perbincangannya pada data dan fakta dan tidak pernah memasuki dunia makna, menolak membicarakan hal-hal yang bersifat metafisis atau spirirtual. Alam pun dijauhkan dari Tuhan, dan dipandang semakin otonom, bahkan akhirnya diyakini sebagai self-generating (tercipta dengan sendirinya).
Menurut Mulyadhi, kita bisa membayangkan bagaimana keguncangan yang bakal terjadi pada pandangan dunia deterministik ketika fondasinya yang paling dalam, yaitu kepercayaan pada determinisme mekanik dijungkirbalikkan oleh penemuan Heisenberg dan kawan-kawan, yang sangat meyakinkan, dalam apa yang disebut sebagai prinsip ketidakpastian. Pertanyaan yang dahulu bisa dengan gampang dijawab, yaitu: Bagaimana alam bisa berjalan sendiri dengan sempurna tanpa ada yang mengendalikan, kini tidak akan mudah lagi dijawab karena bagaimana bisa bahwa alam yang diatur oleh prinsip ketidakpastian pada komponennya yang paling dasar bisa berjalan dengan begitu teratur, harmonis, tanpa campur tangan sebuah agen yang mengaturnya?
Begitu juga menurut John Hick – dengan mengajukan dua teori verifikasi, (1) eschatological venfication, dan (2) historical verification – bahwa, keyakinan agama pada prinsipnya tidak dapat disalahkan atau dapat diverifikasi begitu saja menurit ukuran positivisme. Tapi bagi mereka yang meyakininya, cukup punya bukti atau alas an yang meyakinkan secara subyektif. Jika seseorang mempertimbangkan kemungkinan mengalami kehidupan setelah mati, (maka) keyakinan agama, pada prinsipnya, tidak dapat disalahkan begitu saja (religious beliefs are not only falsifiable or verifiable in principle, but that they are conclusively so, if one takes account of the possibility of experience after death). Demikian ini menurut Hick dapat diverifikasi secara ilmu akhirat (eschatological venfication).
Dengan historical verification, menurut Hick, Kebenaran dengan jelas ada dalam pendangan klaim kebenaran tetang agama aktual ketika dibawa ke dalam konteks yang lebih menyeluruh. Hubungan antara keyakinan agama dapat memungkinkan beberapa keyakinan dapat diuji secara tidak langsung (clearly right in seeing the truth claims of actual religions as embedded in more comprehensive contexts. The connection between various religious beliefs may then allow some beliefs to be tested indirectly). Sebagai contoh, kebangkitan Yesus yang kedua secara tidak langsung dapat diuji melalui verifikasi sejarah dan keakhiratan. Ini setiaknya di dalam agama, terdapat keyakinan messiah – yang di dalam tasawuf Islam oleh mistikus kristiani, peristiwa kematian al-Hallaj dianggap sebagai peristiwa messiah. begitu juga dalam Syi>'ah Itsna> 'Asyariyah, bahwa mereka sedang menunggu kehadiran al-Mahdi al-Muntadhar, imam yang keduabelas yang sedang ditunggu kehadirannya.

D. Wittgensteinian Appreoaches: Religion and "Form of Life"
Menurut Wittgenstein, bahwa bahasa telah berperan atau berfungsi sebagai "fakta yang berbicara" (stating facts), dan bahasa telah mengenali "makna" (meaning) dengan "makna yang berdasarkan fakta" (factual meaning). Jumlah kalimat tidak terbatas karena adanya permainan (penggunaan) bahasa (language games) untuk mengungkap fakta. Jangan lihat makna ‘kata’, lihatlah penggunaannya (“Don’t look for the meaning, look for the use.”). Menurut Wittgenstein, bahwa untuk memahami penggunaan kata, seseorang harus memahami (1) kontek (context)nya. Permainan bahasa dalam matematika berbada dengan baseball (The language-game of mathematics differs greatly from that of baseball.) Untuk memahami penggunaan kata, selain kontek bahasa, kita juga harus memahami (2) situasi (situations) atau kontek pragmatis (pragmatic context). Jadi, untuk Wittgenstein, membayangkan bahasa (to imagine a language) adalah, utamanya, membayangkan sebuah bentuk kehidupan (to imagine a form of life).
Analisa bahasa agama setidaknya harus dimulai dari perspektif oramg dalam (insider’s perspective), yaitu pemeluk agama itu sendiri. Penganut Wittgenstein menganggap, bahasa agama masuk wilayah otonom (autonomous sphere) atau pribadi, dengan kriteria makna dan kebenaran yang unik (unique criteria of meaning and truth).
Jika seseorang bertanya tentng eksistensi Tuhan, jawabannya adalah Tuhan benar-benar eksis. Sebab, kata ‘Tuhan’ digunakan oleh komunitas umat beragama untuk sesuatu yang nyata. (the term “God” is used by the religious community as a name for a reality). Jika seseorang bertanya apakah Tuhan benar-benar nyata, pertanyaan semacam ini mempelihatkan ketidakpahaman yang bertanya, bahwa ada konsep realita yang dapat diambil dari permainan bahasa secara husus yang memberikan makna terhadap pernyataan tersebut.
E. The Thomistic Doctrine of Analogy
Menurut Thomas Aquinas, ketika kita bicara tentang Tuhan, kita pasti menggunakan bahasa yang aslinya dikembangkan untuk mahluk yang terbatas. Misalnya seperti kata tangan, untuk menjelaskan kekuasaan Tuhan, maka didalam kitab suci terdapat pernyataan Tangan Tuhan. Misalnya dalam al-qur'an terdapat ayat yang menyatakan: "Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka" (يد الله فوق أيديهم). Jadi, menurut Aquinas, bahasa tersebut tidak dapat digunakan secara tepat untuk Tuhan dalam makna aslinya (that language cannot be used to apply to God precisely in its original sense). Karena itu Aquinas menawarkan dua analog, (1) the analogy of attribution (analogi atribut), yaitu menggunakan sebuah kata untuk satu benda bagi benda lain karena ada hubungan sebab akibat antara keduanya. Misalnya, sesorag mengatakan bahwa suatu lingkungan itu sehat sebab lingkungan tersebut menyebabkan warganya sehat, orang mengatakan bahwa kulit yang halus dan cerah itu sehat karena disebabkan oleh tubuhnya yang sehat. (2) the analogy of proportionality (analogi proporsional). Analogi ini digunakan untuk mengembalikan sesuatu secara proporsional kepada jenis realitas yang dimiliki benda tersebut. Misalnya, . Seekor anjing adalah berani dengan caranya bagaimana anjing dapat berani, dalam proporsi (sebanding) dengan kenyataannya sebagai anjing. Arinya keberanian yang dimiliki anjing berbeda dengan keberanian yang dimiliki binatang lain sesuai dengan porsinya.
F. The Multiple Function of Religious language: a Conclusions
Tidak ada teori bahasa agama yg pernah muncul berhasil mendapatkan penerimaan umum dan tampaknya tidak akan pernah ada. Penganut Wittgenstein mungkin di jalan yang benar dalam mendorong kita untuk mempertimbangkan penggunaan bahasa agama. Seperti Mata Tuhan di atas kita (God’s eye is upon us), Tuhan punya Bulumata (God has eyebrows). Pernyataan teologis semacam ini membentuk jaring yang saling berkaitan dan makna dari sebuah pernyataan dibentuk secara kontektual.
Lebih penting lagi, adalah “penggunaan kehidupan nyata” (real-life use) dalam pembicaraan agama. Seorang yang mengatakan Tuhan menciptakan bumi, tetapi dia tidak memiliki pemahaman bahwa hal tersebut menyiratkan bahwa sesorang harus menyembah Tuhan dan memiliki kerendahan hati yang cukup dalam mengenal bahwa kemampuannya adalah pemberian Tuhan, akan secara pasti tidak memiliki pemahaman agama yang asli tetang keyakinan tersebut. Ini adalah ciri-ciri esensial dari kebanyakan klaim agama bahwa mereka memiliki implikasi tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup.
Bagi orang-orang kristen ortodok (orthodox Christians), dalam segala aspek, pemahaman bahasa agama bagi orang beriman sangat dipengaruhi oleh ssuatu yang diambil dari wahyu yang otoritatif (authoritative revelation). Penganut kristen tidak memiliki pemahaman tentang Tuhan dalam – bentuk yang – abstrak (God in the abstract). Tapi, Tuhan yang telah diwahyukan dalam diri Yesus (God as revealed in the person of Jesus). Penganut kristen tidak memahami Tuhan sebagai pencipta (Creator) tetapi sebagai Bapa dari Yesus (the Father of the Jesus) yang telah diterima sebagai Tuan sebagai bentuk atau potret (picture) dari Tuhan yang diterima sebagai suatu kebenaran. Sebab, kebenaran mengambil tempat dalam diri Yesus (the trust one has placed in Jesus).

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an al-Karim
Al-Bagda>dy, Abu> Mansu>r (tt.). al-Farq bain al-firaq, Iskandaria: Da>r al-Ma'rifah.
Corbin, Henry (1967). The Creative Imagination in the Sufism of Ibnu ARabi (terjemah Ralp Manheim), Princeton: Princeton University Press.
Evans, C. Stephen (1985). Philosophy of Religion: Thinking about Faith, Downers Grove, Illiois:: Inter Versity Press.
Flew, Antony (1979). The Dictionary of Philosophy, Revised Second Edition, New York: St. Martin's Press.
Hadiwijono, Harun (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat, Seri 2, Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Kartanegara, Mulyadhi (2002). Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
Hines, Brian (1996). God's Whisper, Creation's Thunder, Brattleboro: Threshold Books.
Lois, Katsof, O. (1986). Pengantar Filsafat, alihbahasa Sujono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nasr, Seyyed Hosein (1997). "Knowledge and the Secred", terjemah Suharsono (et. Al.), Pengetahuan dan Kesucian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, kerjasama CIIS.
Peursen, van, C.A. (19800. Susunan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia.
Rakhmat, Jalaluddin (2005). Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan.
Wibisono, Koento (1986). Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August Comte, Yogyakarta: Gajahmada Press.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008