SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI BADRUDDIN MUHAMMAD

Rabu, 17 Juni 2009

MAULANA MALIK IBRAHIM: PERSPEKTIF KALANGAN HABAIB

oleh: Badruddin Muhammad
I.Pendahuluan
Melacak sejarah para Wali Songo di Jawa, utamanya Maulana> Malik Ibra>hi>m, memerlukan kehati-hatian yang serius dan bukan merupakan suatu hal yang mudah dilakukan. Ini dikarenakan data-data deskriptif dalam bentuk tulisan atau daftar pustaka yang dapat dipertanggung-jawabkan jumlahnya sangat sedikit dan tidak lengkap. Sementara data verbal teramat sulit dipilah-pilah antara realitas sejarah dan yang berbau legenda.Sekalipun demikian, masih ada situs-situs yang terdapat di kota Gresik, sekitar makam dan museum benda purbakala dapat dijadikan petunjuk untuk menguak tentang hal ihwal penyiar Islam ini, disamping dari kalangan haba>ib ada juga yang dapat dijadikan informan dalam tulisan ini. Pemilihan kalangan ‘Alawiyyin sebagai informan cukup beralasan dikarenakan antara mereka masih ada yang secara kuat memegangi tradisi alu al-Bait, yang dalam hal ini memiliki alur keturunan yang sama dengan Maulana> Malik Ibra>hi>m.
Haba>ib, jama’ dari Habi>b, sebutan akrab atau gelar dalam status social bagi kalangan ‘a>lawiyyin. Mereka adalah keturunan Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW,. Identifikasi ‘Alawiyyin, ditemukan dari jalur Ahmad al-Muha>jir bin Isa> bin Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far al-Sha>diq bin Muhammad al-Ba>qir bin Ali bin al-Husain al-Syahi>d fi Karbala. Al-Imam Al-Muhajir meninggalkan Basrah tahun 317 H., menuju Madinah dan tinggal di sana selama satu tahun. Bersamaan dengan musim haji, kemudian melanjutkan perjalanannya ke selatan dan tiba di Yaman pada tahun 319 H. Keturunannya tersebar ke seluruh penjuru dunia termasuk juga ke Indonesia.
Sunan Maulana> Malik Ibra>hi>m adalah seorang wali Allah, merupakan pendahulu para wali lainnya yang tergabung dalam gerakan penyiaran Islam secara terorganisir dan disebut dengan Wali Songo. Silsilah Maulana> Malik Ibra>hi>m menggambarkan bahwa dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW., Ia adalah Maulana> Malik Ibra>hi>m bin al-Husain Jama>luddin bin Abd al-Malik al-Alawi al-Masyhu>r bi al-Faqi>h bin Ahmad al-Muha>jir bin Isa bin Zain al-‘ATulisan di bawah ini ingin memberikan gambaran tentang perjuangan dakwa, pendidikan dan kewalian Maulana> Malik Ibra>hi>m dalam pandangan beberapa Haba>ib di Jawa Timur.

II. Malik Ibrahi>m: Al-Da>’i ila> Allah; Perdagangan Media Dakwah Penuh Berkah
Menurut Ketua Yayasan Maulana> Malik Ibra>hi>m Gresik, Habib Hasan Shiha>b, Maulana> Malik Ibra>hi>m sebagai waliyullah tampak sekali dari cara-cara mengisi kehidupannya dengan berdakwah. Ia singgah di beberapa daerah atau tempat di mana antara yang satu dan lainnya saling berjauhan dan bahkan harus mengarungi beberapa pulau dengan armada perahu yang mengkin pada waktu itu dapat dikatakan cukup canggih. Namun bila melihat beberapa situs peninggalan masyarakat maritim pada tahun yang sama dan dibandingkan dengan kendaraan laut sekarang sesungguhnya perahu Kanjeng Sunan cukup sederhana, karena rintangan ombak, dan angin, badai beratnya sama dari dulu sampai sekarang, bahkan rintangan navigasi jaman dulu tentunya lebih sulit karena hanya mengandalkan petunjuk bintang dan buruj (rasi)nya, lebih sulit dari itu adalah rintangan prompak laut. Menurut beberapa cerita dan dibuktikan dengan situs-situs sejarah, sesungguhnya Maulana> Malik Ibra>hi>m bukan hanya berdakwah di pulau Jawa saja, akan tetapi ia juga telah mengunjungi beberapa pulau lainnya di Nusantara ini, antara lain Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sedangkan Sumatera dan semenanjung Malaka sudah barang tentu disinggahi karena itu merupakan rute perjalanan laut menuju pulau Jawa.
Tidak benar, bila menurut sementara orang bahwa Islam datang ke Indonesia ini hanyalah agama yang disebarluaskan dan diajarkan secara sambil lalu oleh para pedagang yang tadang dari Gujarat dengan niat murni berdagang. Mengapa demikian? Karena kalau kita memperhatikan kelas sosial orang seperti Maulana> Malik Ibra>hi>m, beliau adalah termasuk keturunan bangsawan. Dimana kaum bangsawan dari dulu sampai sekarang tidak lazim memjalankan perniagaannya sendiri, tetapi ia memiliki para pekerja atau pegawai dan karyawan yang piawai menjalankan usaha perekonomian, termasuk perniagaan antar pulau. Oleh sebab itu menurut hemat saya (Habib Hasan. Red), kesediaan Maulana> Malik Ibra>hi>m meninggalkan tanah kelahirannya, menyeberangi lautan, kemudian menetap di desa Leran Gresik merupakan suatu bukti bahwa hidupnya hanya untuk berdakwah, mengajak orang lain kepada kebenaran Islam, memperkenalkan sistem ketuahan yang benar, yaitu meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah SWT., Allah Tuhan yang Esa, meyakini kerasulan Muhammad SAW., dengan segala Wahyu yang disampaikannya. Tugas dakwah inilah yang sesungguhnya mengisi kehidupan Maulana dalam kesehariannya. Atau dengan kata lain bahwa segala tindakan, perbuatan dan ucapan Maulana> Malik Ibra>hi>m sebagai waliyullah hanyalah; tindakan, perbuatan dan ucapan dakwah, tidak untuk kepentingan lainnya. Dengan demikian maka berdagang bagi Maulana merupakan bentuk kamuflase atas dakwah yang merupakan misi utama dalam hidupnya.
Diperkuat dengan pernyataan Prof. Dr. Habib Muhammad Baharun, SH., MA., Mengapa berdagang digunakan sebagai kamoflase dakwah? Karena di perniagaan itu terdapat berkah yang banyak, antara lain berdagang merupakan media interaksi sosial yang sangat efektif. Melalui perdagangan komunikasi sosial lebih mudah bila dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Setidaknya pada saat yang bersamaan kedua belah pihak – antara penjual dan pembeli – kelihatan harmonis karena saling membutuhkan. Ada kemesraan di antara keduanya pada saat terjadi tawar menawar dan transaksi. Inilah yang disebut berkah karena berdagang bagi Maulana> Malik Ibra>hi>m merupakan media yang paling efektif untuk misi dakwahnya. Di samping itu, Rasulullah SAW., menyatakan bahwa pertolongan Allah SWT., dapat diperoleh seseorang melalui perniagaan. Sebagaimana sabda Beliau SAW.,:
وَابْتَغِ عَلَى نَفْسِكَ وَعِيَالِكَ حَلالا، فَإِنَّ ذَلِكَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ عَوْنَ اللَّهِ فِي صَالِحِ التِّجَارَةِ". الحديث
Artinya: Carilah rizki yang halal untuk dirimu dan keluargamu, karena itu merupaka jihad di jalan Allah SWT,. Dan ketahuilah bahwa pertolongan Allah itu terdapat pada perdagangan yang baik (benar). (al-Hadits)
Jadi, statemen yang menyatakan bahwa Maulana malik Ibrahim berprofesi sebagai pedagang dan sambil lalu berdakwah adalah jauh dari kebenaran. Beliau adalah keluarga ‘Alawi yang kakeknya adalah al-faqi>h al-Muqaddam, Sha>hib al-Mirba>th di kota Tarim Yaman, meninggal di sana dan sampai sekarang makamnya banyak di ziyarahi orang. Melihat cara berdagang keturunannya atau Haba>ib yang ada di Yaman umumnya, sampai sekarang, mereka tidak serius dalam berdagang. Toko-toko yang ada di kota Tarim, jam bukanya tidak pernah pasti, sebentar buka sebentar tutup, bahkan lebih banyak tutup dari pada bukanya. Jadi berdagang bagi mereka bukan tujuan utama dalam hidup, mereka tidak mempersepsikan harta sebagai mata>’ (sarana memperoleh kesenangan) hidup, tapi sarana hidup sebagai balagh (bekal) ibadah kepada Allah SWT.

III. Ikhlas Mudal Utama dalam Berdakwah
Habib Zaenal Abidin bin Hasan Baharun, Pengasuh Pesantren Darul Lughah wad Da’wah Bangil mengatakan, kalau Maulana> Malik Ibra>hi>m, menjalankan dakwahnya mudah diterima oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, baik dari kalangan penguasa Majapahit maupun rakyatnya, hal itu dikarenakan keikhlasannya dalam berdakwah. Keikhlasan inilah merupakan kunci utama bagi terbukanya pertolongan- pertolongan Allah. Pertolongan Allah bermacam-macam bentuknya, antara lain; pertama, kesabaran. Sabar itu separuh dari iman. Banyak orang yang diangkat derajatnya oleh Allah sampai pada kedudukan Waliyullah, dikarenakan kesabarannya yang tercermin dalam kemuliaan ahlak, santun tehadap sesama manusia. Begitu juga semulia apapun rencana dan pekerjaan itu, kalau tidak disertai dengan kesabaran pasti akan berujung dengan kegagalan. Kalau dinyatakan berhasil, maka hasilnya tidak akan maksimal atau mengecewakan. Kedua, ikhlas menjalankan perintah Allah – sebagaimana hal itu sudah menjadi kehasan para kekasihNya, seperti Maulana> Malik Ibra>hi>m – akan menghadirkan ulum (kecerdasan) ilahiyah. Ilmu itu ada dua macam, ilmu kasbi yaitu ilmu yang diperoleh melalui proses belajar) dan ilmu wahbi atau ilmu ladunni yaitu ilmu yang diajarkan Allah secara langsung kepada hamba pilihanNya. Dengan ilmu kasbi, seseorang dapat mengetahui syariat Islam. Kerena ia telah menggunakan kemampuan daya pikirnya secara maksimal, sehingga ia dapat membedakan antara yang halal dan yang haram, antara perintah dan larangan. Sementara ilmu wahbi, ada kalanya berupa wahyu dan ini hanya khusus untuk para Nabi, juga ada kalaanya berupa ilham yang diberikan pada para Nabi dan Para waliyullah. Mengenai kebenaran dari keberadaan ilmu yang kedua ini, dinyatakan Allah dalam Q.S.: al-Baqarah: 31, Yusuf: 6 dan Yusuf: 37 dan masih banya ayat-ayat lain dalam al-Qur’an yang menunjukkan keberadaan ilmu ladunni ini. Maulana> Malik Ibra>hi>m, tentu memiliki dua ilmu ini.

IV. Kesadaran Hiterogenitas Kunci Keberhasilan Dakwah
Muhammad Baharun lebih jauh menjelaskan, bahwa kearifan Maulana> Malik Ibra>hi>m, dalam menyiarkan Islam di Nusantara (Indonesia) pada waktu itu adalah dilandaskan pada pemahaman bahwa manusia di muka bumi ini diciptakan Allah dalam berbangsa-bangsa, bersuku-suku, waja‘alna>kum syu‘u>ban wa qaba>ila lita‘a>rafu>, yang kemudian saling mengenal dan berbagi kebahagiaan dan keselamatan. Orang Jawa sudah merupakan takdir Allah bahwa dirinya lahir sebagai orang Jawa, dari rahim seorang ibu Jawa, dengan munakh al-balad (iklim dan letak giografis) yang berbeda dengan tempat lainnya. Karena itu Maulana> Malik Ibra>hi>m dan para wali songo lainnya, dalam mengajak masyarakat Jawa ke dalam Islam senantiasa mempertimbangkan kultur, adat istiadat dan tradisi orang Jawa. Kemudian secara perlahan mereka merubah masyarakat sendiri tradisi itu setelah mengetahui mana yang sesuai dengan akidah dan syariat Islam dan mana yang tidak sejalan dan yang harus ditinggalkan. Jadi tidak ada pemaksaan atau keterpaksaan dalam roses islamisasi ini. Sehingga dengan cara seperti itu dan pada saat yang bersamaan terjadi konversi (masuk Islam) secara besar-besaran, “wa raaita al-nasa jadkhuluna fi dinillahi afwaja”, Engkau telah menyaksikan orang-orang itu masuk Islam secara berbondong-bondong. Sesungguhnya sebelum – kedatangan Maulana> Malik Ibra>hi>m – itu, masyarakat Jawa sudah mengenal Islam, utamanya masyarakat yang berada di daerah-daerah atau sekitar bandar tempat singgahnya kapal dan perahu dagang yang datang dari seberang. Karena menurut catatan bahwa Islam jauh lebih dahulu telah dikenal masyarakat Jawa dari pada Islamnya mereka secara besar-besaran. Mereka mengenal Islam dari para pedagang muslim yang kesehariannya memperlihatkan bagaimana mereka memperaktikkan ajaran Islam secara kaffah, baik ketika berhubungan langsung dengan Allah atau berhubungan dengan sesama.

V. Akulturasi: Ahlak Menghargai Sasaran Dakwah
Habib Zen, panggilan akrab Habib Zaenal Abidin bin Hasan Baharun, yang setiap hari Ahad berkantor di Dar as-Shafwah Malang, sebuah kontor bagi para alumni ribath (pesantren) Syeikh Maliki di Malang menyatakan, bahwa keberhasilan Maulana> Malik Ibra>hi>m dalam menjalankan dakwahnya baik di kalangan rakyat biasa maupun bangsawan Majapahit, pada waktu itu, dikarenakan ahlaknya. Maulana> Malik Ibra>hi>m adalah dzurriyah (keturunan) Rasulullah, pada dirinya ada dam (darah) Rasulullah. Sebagaimana para dzurriyah yang ada sampai sekarang, dalam menjalankan dakwahnya masih tetap menggunakan cara-cara kakeknya, Rasulullah SAW., yaitu dengan ahlak. Ahlak adalah mudal utama dalam berdakwah. Ahlak adalah sikap dan prilaku seseorang yang tercermin ketika ia berinteraksi dengan dengan sesama dan dari status sosial yang berbeda, ketika memperlakukan alam sekitar, termasuk juga ketika berhubungan dengan Allah SWT., membutuhkan ahlak yang santun dan mulia.
Akulturasi adalah pencapaiian ahlak yang terdapat dalam metode interaksi dan dakwah para wali. Di kalangan ahl al-bait ada dua mutiara hikmah Arab yang cukup efektif dijadikan pijakan dakwah. Pertama, Ardhihim ma> kunta fi> ardhihim, artinya “Jadikanlah mereka ridha selama engkau berada di tanah air mereka.” Kata mutiara ini cukup efektif menghasilkan simpati orang lain ketika dijalankan dengan baik oleh seorang da’i. Apapun yang disampaikan seorang da’i akan diterima dengan baik karena dalam menyampaikan materi dakwahnya senantiasa mengikuti kelok-keloh liku kehidupan masayarakat sasaran dakwah tersebut tanpa harus hanyut dalam arus, akan tetapi mengukuti dan memehami arus kehidupan mereka dengan tetap memperlihatkan yang lebih baik, lebih mulia, dan tetap menunjukkan kepada kebenaran, tanpa harus memaksakan kebenaran pada saat mereka belum siap menerimanya. Artinya tidak ada paksaan dalam dakwah walisongo yang dipelopori oleh Maulana> Malik Ibra>hi>m di negeri ini. Dan, karena itu masyarakat Jawa ini, khususnya masyarakat pesisir utara pada waktu itu, setelah menimbang-nimbang apa yang dilihatnya dan diperhatikannya, dari segala yang diucapkan dan diperbuat Maulana> Malik Ibra>hi>m, mereka mau menerimanya dengan penuh kesadara dan kerelaan tanpa adanya keterpaksaan.
Kedua, Da>rihim ma> kunta fi> da>rihim. Artinya “perankanlah mereka selama engkau berada di kampung halaman mereka.” Mutiara ini merupakan paradigma meng-orang-kan orang dalam berdakwah. Sasaran dakwah juaga diberi peran dan terlibat langsung dalam aktifitas dakwah sehingga tidak ada kesan pemaksaan. Karena hakikat dakwah adalah mempengaruhi orang lain, jika yang dipengaruhi tersebut tidak terlibat dalam memainkan peran dari substansi dakwah, maka dakwah itu tidak akan efektif, bahkan bisa jadi bermuara pada kegagalan.
VI. Pesantren: Sistem Pendidikan Peninggalan Para Wali
Habib Hasan menjelaskan, bahwa berkumpul dalam suatu tempat dan kegiatan merupakan kebiasaan bagi masyarakat Jawa sebelum kehadiran Islam, baik dalam kegiatan ritual maupun lainnya seperti pendidikan ruhani dan keagamaan. Masyarakat Jawa yang masih beragama Hindu-Budha pada waktu itu sudah mengenal linkungan pendidikan yang disebut dengan wiyata mandala untuk lingkungan pendidikan dan padepokan untuk tempat para cantrik yang sedang mengembangkan kemampuan olah batin dan spiritual. Tradis seperti ini, sebagai wadah tetap dilestarikan para wali, namun pada tataran substansi dilakukan islamisasi secara bertahap. Ini namanya akulturasi, yang kemudian lahirlah apa yang sekarang disebut dengan pondok pesantren. Jadi pesantren sangat erat hubungannya dengan Wali Songo, ialah dalam perintisan berdirinya pesantren yang kemudian diklasifikasikan sebagai lembaga pendidikan tradisional di Nusantara.
Karena itu, menurut Habib Segaf bin Hasan Baharun yang juga pengasuh pesantren Darul Lughah Wad Dakwah, ciri utama dari pendidikan pesantren adalah pendekatan pembelajaran yang senantiasa menggunakan pendekatan ustawh hasanah atau pendekatan keteladanan yang baik. Rasulullah adalah uswah hasanah, yang keteladanannya diwarisi oleh dzurriyahnya, termasuk juga Maulana Malik Ibrahim, para Wali Songo, dan kiai-kiai pengasuh pesantren yang memiliki kesinambungan jalur (sanad) guru-murid dengan Wali Songo. Setiaknya, menurut Habib Muhammad Baharun, kalau sanad guru-murid sekarang tidak begitu tampak, bukan dikarenakan para dzurriyah tidak peduli dengan perjuangan Wali Songo, termasuk juga perjuangan Maulana Malik Ibrahim, akan tetapi para santri sekarang iktifa’ (mencukupkan) pada guru yang terdekat sebagai figur yang mudah diingat wejangan-wejangannya.

VII. Tanda Kewalian Maulana Malik Ibrahim
Habib Hasan Shihab mengatakan, bahwa tanda-tanda kewalian Maulana> Malik Ibra>hi>m, antara lain adalah keberadaan makammya yang sampai sekarang banyak diziarahi orang. Ziarah atau mendatangi makam para wali Allah banyak sekali manfaatnya. Antara lain; satu, mendoakan al-marhum, sambil memanfaatkan situasi spiritual religius, mereka memohon kepada Allah dengan penuh harap dan optimis Allah memberikan keberkahan sebagaimana berkah yang telah diberkanNya kepada para kekasihNya. Banyak orang yang semasa hidupnya dikira sebagai orang suci atau waliyullah, tapi begitu ia meninggal, Allah tidak menunjukkan kekaramahannya.
Hal senada juga dikatakan Prof. Dr. Muhammad Baharun, SH., MA. Gurubesar Sosiologi Agama ini menjelaskan bahwa, keberadaan Maulana Malik Ibrahin sebagai kewaliyullah tak perlu diragukan lagi. Setiap orang suci atau dalam terminologi Islam disebut waliyullah, pasti ada atsar (bekas) dari kewaliannya. Jika ada orang yang semasa hidupnya disebut-sebut sebagai wali, tapi setelah meninggal tidak ada dari karamah-karamahnya yang tampak dan bahkan sebaliknya, ia telah dilupakan orang dengan mudah, maka kewaliannya tentu disangsikan. Sementara Maulana> Malik Ibra>hi>m banyak meninggalkan hal-hal yang dapat disebut sebagai karamah, misalnya; pertama, karamah al-faath wa al-da’wah. Sebagaimana diketahui bahwa Gresik sejak zaman dahulu sudah dikenal sebagai kota pelabuhan. Di mana-mana yang namanya kota pelabuhan itu adalah kawasan yang sangat rawan dengan kekerasan, kejahatan, perjudian dan jauh dari nilai-nilai agama. Kalau kemudian Gresik sampai sekarang dapat dikatakan sebagai kota dengan masyarakatnya yang agamis, ini tentu merupakan bagian dari karamah al-fath (karamah perjuangan beliau membuka suatu kawasan non agamis mengantarkan kesadaran masyarakatnya kepada kebenaran Islam sebagai agama yang diridhoi Allah, SWT.).
Kedua, karamah al-ta’lim wa al-irsyad. Yaitu karamah perjuangannya dalam aspek pendidikan dan memberikan bimbingan bagi pengikutnya untuk merambah di jalan Allah. Di samping karamah perjuangan mengislamkan masyarakat Jawa secara besar-besaran melalui kawasan pesisir kota Gresik yang sampai sekarang masih tetap menjadi kota yang di huni oleh mayoritas kaum muslimin, karamah lainnya adalah pendidikan dan suluk, seligga beberapa muridnya juga ada yang guru besar dan mencapai derajat kewalian. Sebut saja Maulana Sunan Ampel, yang makamnya berada di kawasan Ampel Delta Surabaya. Raden Rahmat Sunan Ampel itu juga salah seorang murid Maulana> Malik Ibra>hi>m, yang kemudian juga dikenal sebagai salah seorang dari Walisembilan atau Walisogo.
Ketiga, karamah al-wilayah. Yaitu karamah yang berhubungan dengan bukti-bukti bahwa beliau adalah seorang kekasih Allah. Seseorang tidak akan meninggal sebelum Allah memperlihatkan kebaikan dan keburukannya kepada yang masih hidup. Artinya Allah tidak akan menutupi kebaikan dan kejahatan yang pernah dilakukan seseorang selama hidupnya lalu ia meninggal begitu saja. Allah akan membongkar kebaikan dan kejahatan itu, sebelum ia meninggal atau setelah meninggalnya karena hal itu merupakan ibrah (pelajaran) bagi yang lain. Semakin kuat atau semakin banyak kebaikan yang dilakukan seseorang maka semakin abadi kebaikan itu dijaga Allah untuk diperlihatkan kepada generasi berikutnya.
Kalau kemudian banyak orang yang melakukan ziarah ke makam Maulana> Malik Ibra>hi>m, ini tidak lain adalah cara Allah dalam menginformasikan kepada generasi sesudahnya – sampai sekarang – bahwa beliau adalah mujahid (seorang pejuang) di jalan Allah, orang saleh, abid (ahli ibadah), penerus perjuangan Nabi, yang seluruh hidupnya hanya diperuntukkan kepada keagungan Islam dan kejayaan kaum muslimin. Jadi ziayah kubur awliya’ dan shalihin sangat dianjurkan, karena Rasulullah sendiri melakukan hal itu semasa hidupnya. Rasulullah sering keluar rumah di malam hari mendatangi kuburan para sahabatnya di Baqi’ dan di uhud. Ziarah kubur yang dilakukan Rasulullah dapat dipahami sebagai bagian dari wasilah li al-taqqarub ila al-Allah (sarana mendekatkan diri kepada Allah). Ziarah kubur dapat membantu seseorang lebih mudah mengingat kematian. Sedangkan banyak mengingat akan kematian adalah anjuran sunnah Rasul, karena ini dapat menjadikan orang lebih waspada, hati-hati dan maksimal dalam menggunakan umur, kesehatan dan anugrah lain yang diberikan Allah kepadanya.
Sekali lagi, bukti dari sebagian karamah, pesarean (makam) Maulana> Malik Ibra>hi>m yang terletak di kota Gresik, sampai sekarang banyak di ziarahi orang. Secara umum orang-orang yang mengerti tujuan dan tatacara ziarah kubur, ketika mereka ziarah ke makam para wali, termasuk juga Maulana> Malik Ibra>hi>m, tentu mereka datang ke tempat itu (makam wali) dengan tujuan untuk mengingat akan kematian. Dalam benak peziarah pada saat berada di lokasi makam, yang ada adalah bagaimana ia pada saat meninggalkan dunia fana ini meninggal dalam keadaan husnul khatimah seperti para waliyullah yang di kunjungi makamnya. Di samping mendoakan orang yang telah meninggal sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW., mereka juga memiliki optimisme (tafa>ul) dalam doanya semoga Allah berkenan dianugrahinya, baik berupa kesalehan atas dirinya, keturunan yang saleh pula sebagamana kesalehan para kekasih Allah atau bentuk-bentu kebaikan lainnya. Suasana religious di kawasan makam para wali dapat membantu seseorang untuk lebih khusyu’ bermunajat (berbisik) kepada Allah SWT. Hal ini tidak dapat diingkari, juga tidak bisa dipaksakan kepada orang yang tidak sepaham dalam hal ini, karena ini merupakan bagian dari pengalaman spiritual seseorang ketika memilih tempat untuk bermunajat kepada Allah SWT., dengan sambil mengingat kematian di depan atau di atas kuburan orang saleh yang sudah meninggal lebuh dulu.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008